Sesampainya di asrama putri aku segera menuju dapur umum. Setelah mengambil minum dari galon, lalu beli camilan di mini market. Akhirnya kubawa segelas air dan jajanan itu ke ruang makan di sebelah dapur. Tidak ada orang, aku pun bebas menyalakan televisi yang tertempel di dinding.
Yes! Acara petualangan.
Lagi asyik-asyiknya nonton, suara gemerisik terdengar dari loudspeaker. Aku pun menajamkan telinga.
"Perhatian, panggilan ditujukan pada Nora kamar 36, ada paket. Sekali lagi, panggilan ditujukan pada Nora kamar 36, ada paket!" Panggilan petugas piket pun menggema ke seantero asrama putri.
Bergegas aku keluar dari ruang TV, setengah berlari melewati jalan setapak beton, membelah taman hingga sampai di pintu tengah. Tanganku menyibak tirai yang membatasi ruang dalam dan ruang tamu.
"Mana paketku?" tanyaku pada Yeni yang sedang berjaga.
"Tuh di meja," kata Yeni menunjuk sebuah tas kertas berwarna pink di atas meja.
Aku segera meraihnya.
"Tanda tangan dan nama terang," katanya sembari menyodorkan ballpoint.
"Siap!" Aku pun mengambil ballpoint itu dan segera menanda tangani buku besar. "Makasih ya, Yen!" kataku lagi.
"Masama."
Karena penasaran, segera kucari tahu isi tas kertas itu. Ternyata baju seragam SMA, dengan tag nama Ghania Shanum A. Di dalam sakunya ada selembar kertas yang ditekuk rapi, macam surat kaleng. Halah!
"Apa baju ini yang dimaksud Bang Ejik?" gumamku.
"Kenapa Ra?" tanya Yeni.
"Ah, nggak apa-apa. Aku masuk dulu ya, thanks," kataku sembari mengintip surat itu sambil berjalan masuk. Saat melewati pintu yang tertutup tirai mendadak ada seseorang menabrakku dari arah berlawanan.
"Aduh!" teriakknya.
"Maaf, aku nggak sengaja," kataku, cepat, langsung menyibak tirai tersebut.
Ternyata yang kutabrak adalah Eni, anak baru di asrama juga.
"Lihat-lihat dong kalau jalan," sergahnya kasar. "Mana buru-buru aku ini, mau latihan!"
"Maaf, En," kataku sambil melipir, memberinya jalan agar lewat duluan.
Alih-alih segera pergi, dia malah melirik tanganku yang menjinjing tas.
"Dapet paket ya? Apaan?" tanyanya kepo, padahal katanya tadi buru-buru.
"Oh ini, kostum buat penampilan kelompok tiga nanti malam," jawabku sopan.
"Emang mau nampilin apa? Pake kostum aneh-aneh segala?" cibirnya, sembari melirik seragam di tanganku, dan surat yang hampir saja jatuh.
"Cuma drama sama puisi kok. Aku ke sana dulu ya, katanya kamu buru-buru," tukasku. Makin lama makin nggak enak ngomong sama dia.
"Oh, iya, iya, aku udah telat nih!" katanya sembari buru-buru ngacir.
Dasar nggak jelas!
Baru saja aku berjalan menuju kamar, terlihat Nita yang baru keluar dari kamar. As ussual, dia pake celana gomrong, baju gombrong dan jilbab gombrong. Cuma sekarang ditambah jaket gombrong. Bukan boddy shamming sih, masalahnya Nita itu nggak segemuk itu menurut ku. Memang tubuhnya tidak terlalu proporsional, tapi dia itu sintal, bukan gendut.
Ngapaiiiin coba, dia pake baju oversize tiga ukuran di atasnya?
"Noraaaaak!" sapanya.
"Mau pengajian ke mana, Bu Haji?" tanyaku.
"Ish, kamu ini, sore-sore ngedoain temen yang baik-baik. Aamiin, moga-moga aku cepet naik haji ya," katanya, yang selalu positif setiap waktu.
Aku nyengir.
"Aku mau latihan gladi bersih, buat acara penutupan Orientasi nanti malam. Kamu nggak?" tanya Nita.
"Udah tadi, nih, baru aja balik dari dome. Nanti malem abis maghrib kata bang Ejik, kelompokku gladi bersih," jelasku.
"Oh, gitu. Eh, apaan tuh?" tanyanya melihat kantong tas yang kubawa. Gara-gara Eni, tadi, kumasukkan lagi seragam sama suratnya, takut dicibir orang juga.
"Kostum buat ntar malem."
"I see. Yaudah, aku cabut dulu ya. Bay bay Noraaakk," pamitnya dengan kenes.
"Gaje!" balasku, tapi dia malah tertawa.
Sepeninggal Nita, aku langsung masuk ke kamar, kepo sama pesan di kertas tadi. Namun sebelum itu, aku cek ponsel. Soalnya Bang Ejik kan bilang, kalau Kak Yo WA dulu sebelum aku ambil kiriman. Lha kok ini kiriman bajunya datang duluan, tapi nihil. Tidak ada WA sama sekali.
Akhirnya aku baca pesan di surat itu.
'Ini baju bekas adikku. Pakai saja, tidak perlu dikembalikan. Dia sudah tidak butuh baju ini lagi.
Ttd
Gavin YA.' tulisnya.
Owh, jadi baju ini punya adiknya Bang Yo beneran. Bagus juga nama adiknya: Ghania Shanum A. Baiklah sebaiknya segera kucoba saja, semoga cukup.
Kemeja atas, oke, jatuh pas di siku. Hmm, tapi ini agak sempit di bagian da da. Dua kancingnya agak maksa waktu dikancingkan. Maklum model kemejanya slim fit n pres body. Padahal kemeja seragam SMA-ku dulu, longgar-longgar. Iya sih, biar cukup dipakai dari kelas satu sampai kelas tiga. Hehehe. Maklumlah, pengiritan.
Nenek selalu bilang, aku mending merit aja, dari pada sekolah ngabisin duit. Kalau udah merit kan enak, semuanya ditanggung suami. Yah, maklumlah, kami berasal dari keluarga sederhana. Walau nenek punya toko di pasar, tapi hanya cukup untuk makan. Karena itulah, ibuku merantau ke luar negeri menjadi TKW, untuk membiayai sekolahku. Kemana ayahku? Beliau sudah meninggal, saat aku masih SD. Dia yatim piatu, perantauan juga, sama seperti ibu. Mungkin karena kesamaan nasib, mereka jatuh cinta dan menikah. Sejak kecil sampai masuk kelas 7 SMP, hidupku cukup terjamin, Namun, takdir berkata lain, Ayah meningal karena kecelakaan kerja di pertambangan.
Sejak saat itu, hanya ibu yang mencari nafkah. Otomatis, semuanya jadi harus serba ngirit. Saat itulah aku mulai berusaha sekuat tenaga tidak merepotkan ibu. Ikut lomba-lomba, belajar giat, sampai mendapatkan beasiswa. Hal itu terus berlangsung hingga aku SMA. Walau nennek sudah merong-rong diriku agar putus sekolah dan dikawinkan, tapi aku bertekad harus terus kuliah, entah bagaimana pun caranya.
Akhirnya datanglah tawaran dari Universitas Kartarajasa, yang menawarkan beasiswa penuh, dan juga jaminan kerja jika lulus dengan standard nilai tertentu. Ada juga fasilitas asrama, dan berbagai akses kemudahan studi lainnya. Syukurlah aku satu dari sepuluh mahasiswa yang beruntung. Karena itulah, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kupandangi pantulan diriku di cermin. Seragam ini benar-benar membuatku kelihatan berbeda. Mirip anak-anak kota di sinetron televisi. Roknya memang tidak pendek di atas lutut, malah panjang sampai mata kaki. Masalahnya, ukurannya ituloh, press banget, jadi agak risih. Mengingat insiden baju tidur buat senam tadi pagi, aku jadi ragu memakainya.
Aku memutar diri, mengamati. Maygat! Ini juga roknya ngepas banget, sampai bagian belakang kliatan menonjol. Haduuh, apa tidak menimbulkan komentar yang pedes lagi?
Tapi ... mereka ini kan orang kota ya? Mungkin sudah biasa juga sih, lihat yang beginian. Lagi pula, kalau mereka tidak berpikiran kotor, tidak akan macem-macem juga kan?
Yaudah cuek ajalah ya. Yang penting penampilan malam ini sukses.
*
Selepas salat Maghrib berjamaah, khusus warga baru dan penyelenggara Orientasi, diperbolehkan ngacir duluan, tanpa harus ikut kajian ilmiah. Yaitu kegiatan semacam cermah dan tausiyah gitu. Aku baru beberapa kali ikut sih, dan beneran kayak lagi pengajian. Untungnya acaranya pas habis magrib jadi aku dalam kondisi pakai mukenah.
Maklumlah aku dan beberapa orang penghuni baru belum mengenakan jilbab seperti kakak-kakak yang sudah senior. Jadi bakalan agak canggung kalau ikut pengajian tanpa pakai kerudung.
Lantas ngapain ga pake?
Simple, aku belom siap konsisten berjilbab. Yah, tingkah laku masih pethakilan, ngomong masih suka kebablasan, dan juga, masih sayang sama baju-baju yang modis dan sedikit 'seksi' hehehehe. Kan misal kalau berjilbab nanti, kudu jaga akhlak, perkataan, perbuatan, trus, gak bisa iseng flirting-flirting sana sini, ngecengin cowok-cowok cakep di kampus?
Ya ya, alasan klasiknya aku belum siap. Itu ajah!
"Nitaaa buruan!" kataku yang sudah menunggunya di depan teras kamar. Tas ransel berisi kostum dan baju ganti, sudah kusiapkan semua dan bertengger manis di punggung. Sementara ini aku masih pakai baju casual, dan celana jeans. "Ayook, bang Ejik tepat waktu nih! Ntar aku distrap kalo telaat!"
"Bentar dong Norak Norak kasih! Eh itu horas horas kasih, Ding! Lagi kesukaaan nenek aku, hehehhe," jawabnya sambil keluar kamar lalu menutup pintu.
Memang si Nita ini anak blasteran. Hampir semua suku mengalir di darahnya. Bisa dikatakan dia keturunan Indonesian lokal mixed, ada Jawa, Sunda, Batak, Kalimantan. Kakek dari emaknya Jawa, nenek dari emaknya Sunda, kakek dari Papanya Dayak, nenek dari Papanya Batak. Makanya dia bingung kalau ditanyain dari suku mana. Hahahaha.
"Ayolah, kau cepaaat!" sekarang dia yang berjalan menyalipku.
"Dasar kamu nitnoot!" ujarku sambil mengejar dia. Nita rupanya langsung memakai kostum, baju serba hitam, macam maling jemuran. Mulai dari celana hitam, baju hitam dan jilbab hitam. Etapi di pinggangnya ada sabuk emas, juga mahkota emas. Beuh, mau bikin drama sekte atau kerajaan kegelapan, atau gimana coba?
"Bajumu kece," aku bilang, saat kami sudah berjalan di luar asrama, menuju dome. Nita nyengir.
Acara penutupannya dilaksanakan di halaman depan dome, dengan panggung terbuka yang backgroundnya ada di teras Dome. Acara gladi bersihnya diselenggaran habis magrib, sementara acara dimulai lepas isya.
"Makasih. Kelompok kami mau bikin penampilan yang spektakuler yang pernah ada di seantero asrama," katanya.
"Wuaaah, mantabs! Apaan tuh?" tanyaku kepo.
"Tari Saman, hehehehe."
"Woooo, kece beneran itu beibeeeh!" pujiku.
"Ntar di sana pake rompi sama sarung tenun nuansa gold. Ada yang minjemin dari anak teater," imbuhnya.
"Betewe, bang Ejik anak teater juga loh. Aku jadi pengen gabung," kataku.
"Oh ya? Gabung aja Ra, Mayan kan buat ekstra, eh kok ekstra! Iya kalo anak SMA, apaan kalo istilahnya sekarang?" tanyanya gak penting.
"UKM, buk! Unit Kegiatan Mahasiswa," jelasku.
"Iya! Otakmu memang cepet kalo ngapalin yang begituan," ledeknya.
"Begituan apaan? Kamu kan sama aja, otakmu juga cepet kalo ngapalin nama cowok cakep," godaku.
"Yeee! Itu alamiah, Noraaa. Alami! Kamunya aja yang lemot," balasnya.
"Oke baiklah," jawabku santai.
Berhubung di depan Dome sudah berkumpul peserta orientasi dengan kelompoknya masing-masing, maka kami berpisah.
"Bye, duluan ya!" pamitku, sambil memberinya cium jauh.
"Yuhuu, see you later after the show," jawab Nita sambil dadah-dadah. Yang norak aku atau dia sih? Halah sama aja!
Pelan-pelan aku menghampiri bang Ejik, lalu menepuk punggungnya dari belakang. Kebetulan dia menghadap ke tempat lain.
"Nora!" Dia berbalik dan terkejut melihatku.
"Iya, kenapa Bang? Ada yang salah?" tanyaku innosen.
"Nggak, kamu ini, bikin kaget aja. Gimana kostumnya, pas?" tanyanya.
"Pas banget! Kayak lagi pakai bajuku sendiri," jawabku
"Bagus kalau begitu. Nanti setelah selesai, kamu londre dulu, baru balikin ke Bang Yo," katanya lagi.
"Tapi ...."
"Tes ... Tes ... Satu dua tiga, suara dicoba. Oke, udah kedengaran ya semua. Baiklah, mohon perhatiannya semua!" Suara bang Dion dari atas panggung bergema di perangkat sound system, membuat protesku tenggelam. "Bagi semua peserta orientasi, beserta pengurus, juga sie acara, dimohon segera berkumpul di belakang panggung untuk persiapan gladi bersih.
Sekali lagi, bagi semua peserta orientasi, beserta pengurus, juga sie acara, dimohon segera berkumpul di belakang panggung untuk persiapan gladi bersih. Terima kasih!"
"Oke, ayo kumpul ke sana," kata Bang Ejik. Dengan sabar dia menggiring anggota kelompok kami ke bagian belakang panggung untuk bersiap-siap. Beberapa kelompok lain pun juga berkumpul. Dalam acara ini, ada lima kelompok yang akan tampil, dan sudah diundi sesuai urutan. Kebetulan kelompok tiga, mendapat urutan ketiga.
"Jadi, kalian nanti punya cukup waktu untuk bersiap-siap. Aku pantau dari belakang layar sekaligus menata lampu dan sound. Santai aja, ini bukan ujian. Selama kalian sudah tampil, bisa dipastikan lolos orientasi tahun ini," kata Bang Ejik.
"Iya Bang!" jawab kami semua.
"Sip!"
Maka acara gladi bersih pun dimulai
... bersambung ...