"Hahaha ... Mba ngomong apa, sih? Jangan ngawur deh, Mba!" Tania tergelak.
Apakah saat ini Tania sedang menutupi kebohongannya, tidak mungkin mereka tidak mengetahui Naya. Tidak mungkin juga Mas Arya hanya menikahi secara siri, dia istri pertama. Ada apa ini sebenarnya?
"Kenapa sih, Mbak?" tanyanya kembali ketika aku hanya diam saat mendengar gelak tawanya.
"Tidak, Tan. Mba hanya nanya saja. Tadi habis lihat f*******: dan baca-baca cerita di sana."
"Aduh ... Mba! Sudah deh jangan baca yang begituan. Bikin kita negatif thinking saja."
"Hehe, iya. Ya sudah Mba tutup dulu, ya. Ngantuk."
"Iya, Mbakku Sayang."
Mungkinkah dengan cara Tania yang ku pikir menyayangiku sedalam ini ia menyembunyikan sesuatu yang sangat besar? Ah ... mengapa beberapa waktu terakhir ini hidupku diselimuti penuh tanda tanya, aku lelah Gusti.
[Sayang ... Mas pulang telat, ya! Anak temen di kantor masuk rumah sakit, Mas bantu-bantu sebentar. Dia kawan baik. Jangan tidur malam-malam, love you.]
Aku tersenyum sinis, kamu mulai berbohong, Mas. Eh, tidak! lebih tepatnya kamu terus berbohong, karena sejak awal pernikahan kita kamu rajut semuanya dengan kebohongan dan saat ini aku sedang mereguk pahit dan sakitnya.
Aku kembali membenamkan wajah di balik selimut, memejamkan mata meski kantuk tak kunjung datang. Ku putuskan akan mencari tahu tentang Naya dan anaknya yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit, biar saja bila harus ku dapati Mas Arya di sana. Aku tak sanggup menahan semua ini lebih lama lagi.
Ku matikan lampu utama, berharap segera terpejam, meski begitu sulit, bimbang pikiranku tak bisa menyeimbangkan diri ini. Detak detik jam terdengar seperti sedang mengejek, waktu berjalan cepat namun terasa begitu melambat, ku lirik sekilas jam di hape, waktu menunjukkan pukul satu malam. Aku tak menunggu Mas Arya sama sekali, hanya saja mata ini sulit terpejam, padahal aku ingin terlelap sejenak, meredamkan segala lelah.
Tak berapa lama terdengar suara pintu kamar terbuka, Mas Arya pulang. Derap langkahnya terdengar mendekat, ia membuka selimut, aku terpejam. Kecupan lembutnya mendarat di kening, tak lagi hangat, dingin, pilu. Aku masih terpejam, sebisa mungkin terlihat lelap.
Dia berlalu ke kamar mandi beberapa saat, kemudian berbaring di sebelahku dan merengkuh tubuh ini, aku masih diam.
****
.
.
Pagi tadi berlalu begitu saja, ia lahap dengan sarapan yang ku buat seperti biasanya. Bahkan ia sama sekali tak menanyakan sikap dingin yang sedang ku tunjukkan, aku tak mengerti.
Berbekal informasi dari Dea yang sebisa mungkin ku gali dengan halus, akhirnya ku dapat dimana anak Naya saat ini sedang dirawat, tanpa berpikir panjang aku bergegas pergi ke sana. Menerobos macetnya kota ini, akhirnya aku tiba di rumah sakit setelah satu jam setengah perjalanan.
Tidak tahu pasti dimana ruangan tempat anak Naya dirawat, aku hanya mencari ke tempat rawat inap anak. Ia tidak ada di sana, lalu ku susuri kembali bangsal lainnya, masih belum ku temukan.
Hingga ... aku melihatnya terpekur di sudut kursi dekat mushola. Wajahnya kelabu, di sampingnya terlihat si bungsu yang sedang terpejam.
Aku melangkah pelan menghampirinya.
"Mba Naya?" Aku pura-pura menyapa.
Mata sembap dengan kantung mata yang menghitam menatapku dengan hangat, senyum bibirnya tersungging.
"Eh, Ranisa. Sedang apa di sini?"
"Aku habis tengok teman, Mba sedang apa di sini?" jawabku kembali berbohong.
"Anakku sakit." Ia masih tersenyum namun wajah mendungnya tak bisa disembunyikan.
"Sendirian? Ayahnya belum pulang ya?"
"Ayahnya sudah datang, tapi harus pergi lagi. Ya ... beginilah resiko punya suami yang kerjanya membuat dia tidak bisa pulang tiap hari." Dia tersenyum lagi.
Aku teriris, apa arti senyummu itu, Mba?
"Selama tujuh tahun ini aku terbiasa melakukan banyak hal sendirian, tapi kemarin, untuk pertama kalinya aku merasa takut, karena si sulung sampai kejang."
"Astaghfirullah. Sekarang bagaimana kondisinya?"
"Sudah jauh membaik." Ia kembali tersenyum.
Aku mengajaknya makan siang, berharap bisa menyelami Naya lebih dalam. Beruntung ia tak menolak.
Sesampainya di kantin, kami memesan dua mangkuk soto, baik aku dan dia, tidak ada satu pun yang lahap menyantap makanannya, seperti hanya syarat saja sebagai mengisi perut.
"Mba Naya wanita hebat," ucapku tulus. Itu yang terlihat di mataku.
Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak ... aku jauh dari kata itu, aku bukan istri yang baik, aku ibu yang ceroboh."
"Aku tidak melihat itu padamu, Mba."
"Terkadang aku melihat diriku sendiri seperti sayap patah yang memaksa terbang, tidak tahu kenapa. Pada beberapa fase aku nyaris jatuh karena sulit untuk seimbang. Namun, ego dalam diri memaksa untuk tetap terbang."
"Kenapa memaksa, Mba?"
Aku kembali melihat senyumnya, kali ini sedikit menunduk.
"Aku hanya ingin sakinah bersama rumah yang saat ini sedang ku singgahi, anak-anak dan suamiku, Ran."
Sendok yang ku pegang bergetar, kali ini aku benar-benar merasa bagai raga yang ditinggalkan nyawa. Gusti ... apa ini?
Akankah datang hari dimana aku benar-benar melepaskan, tak peduli sebesar apa aku mengasihinya, aku akan menyerah saat itu, sehingga tidak ada lagi luka tanpa jeda.
"Maaf ya, aku jadi curhat, hehe," ucapnya sambil menyuapi si bungsu yang matanya terlihat polos.
Ah ... aku merasa menjadi manusia paling jahat di dunia ini.