Ku seka kembali air mata dan meletakkan ponsel Mas Arya di tempat semula. Ia keluar dari kamar mandi dan menatapku dengan senyum dari sana, kemudian ia duduk persis di hadapanku. Seperti biasa, ku ambilkan ia nasi dan lauknya, kemudian kami makan malam bersama tanpa sedikitpun ku nikmati meski Mas Arya terlihat begitu lahap.
"Makananmu selalu enak, itu mengapa aku selalu betah di rumah andai punya waktu lebih banyak," ucap Mas Arya sambil kembali mengambil satu centong nasi.
Pujiannya kini tak lagi membahagiakan, hambar dan membuat hati teriris. Sampai tak berapa lama ponselnya berdering, ku lihat sekilas di layar ponsel sebuah nomor tanpa nama.
"Angkat saja, Mas! Takut penting."
Mas Arya terlihat ragu namun kemudian mengangkatnya sambil berlalu dari tempat makan ini.
"Bentar, ya!" Ia pergi ke ruang tamu. Ku lihat ekspresi wajahnya yang aneh, ada rasa kesal di sana, kemudian berganti sebuah kecemasan, sudah bisa ku pastikan siapa penelpon itu, dia pasti Naya. Pantaskah ku rasakan sakit ini?
"Sayang, ada masalah di kantor, aku harus ke sana." Raut wajah cemas itu kini tak bisa disembunyikan. Ia kemudian berlalu sambil mengecup kening, ku lihat nasi yang baru saja diambilnya belum sedikitpun di makan. Mas Arya berlalu tanpa sempat aku berkata apa pun.
Aku beranjak membenahi meja makan ini. Ku ambil piring kotor dan menyimpannya di wastafel. Seketika, ingatanku kembali pada awal pernikahan.
Dulu, kita hanya memiliki lima buah piring, tiga buah gelas yang satunya kita pakai bersama. Untuk b******a kita pun hanya memiliki sebuah kasur usang, sungguh aku datang padamu bukan karena kamu seorang berada, Mas. Aku mencintaimu tanpa syarat, seperti kamu yang kupikir awalnya begitu. Namun ternyata aku salah, kamu korbankan hati wanita lain, bahkan ada dua nyawa di sana.
Kini ... Hidup kita sudah jauh lebih baik, Mas. Ada keringat dan air mata untuk kita sampai ke tahap ini. Sungguh aku bersamamu bukan karena harta sama sekali. Aku pun masih menghormati segala kebaikanmu dan cinta ini masih tetap sama. Karena kebersamaan kita selama ini ku rajut dengan kasih sayang, walau kini segenap perasaanku hancur karena sayap kita sudah patah. Atau mungkin aku yang sesungguhnya telah mematahkan sayap itu, Mas?
Demi Allah, aku tak ingin menangis, aku ingin sadar diri sebagai wanita yang ternyata kedua, tapi aku hanya wanita biasa, bisa runtuh juga, aku sakit, aku terluka, aku ingin bertahan, tapi bolehkah? Akankah bahagia setelah ku tahu semuanya? Aku rasa tidak, Mas! Semua tidak akan lagi sama.
Setelah dapur bersih, aku naik ke atas, kembali membenamkan diri di bawah selimut. Ku raih ponsel, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Ku mainkan ponsel itu, mencari nama adik dan ibu mertuaku, ingin menelpon untuk menanyakan hal ini. Apa dasar mereka menyembunyikan semua selama ini dengan begitu rapi, tanpa sedikitpun aku menaruh curiga. Atau memang aku yang terlalu bodoh tidak menyadari semuanya?
"Hallo, Mbak." Suara Tania adik ipar ku menjawab ramah di sana. Ia selalu begitu, menyambutku dengan ramah, bergelayut manja tanpa sedikitpun jarak bila aku seorang ipar. Aku pun menyayanginya segenap jiwa seperti adikku sendiri.
"Tan ... Mbak mau bertanya sesuatu."
"Iya, Mbak kenapa. Mbak baik-baik aja, kan?"
"Kamu harus jawab jujur, ya."
"Ada apa sih, Mba? Aku jadi deg-degan."
Aku menghela napas, memejamkan mata dan mengumpulkan kekuatan.
"Apa ada nama lain di keluarga kalian sebagai istri Mas Azzam?"
Hening tercipta sejenak, aku menunggu jawabannya. Aku biarkan semua kehancuran ini semakin remuk redam, sampai aku bisa kemana menentukan langkah kaki yang sudah pincang ini.