Bagian 6

699 Words
Ku amati seluruh percakapan hari ini dengan Naya, ada luka di sana yang tertahan, dibalut dengan senyum keikhlasan. Apakah ia tahu selama pernikahan itu Mas Arya menghadirkan wanita lain dalam bahteranya? Selama pernikahanku bersama Mas Arya enam tahun ini, aku merasa sama sekali tak pernah diabaikan, ia menunjukkan cinta setiap waktu dengan begitu dalam dan menjadikan aku bertahta. Lalu apakah saat ini aku merasa menjadi wanita yang dimenangkan? Tidak! Sama sekali tidak. Aku merasa enam tahun ini ternyata hanya menabur dosa begitu banyak pada tiga nyawa. "Aku harus kembali ke kamar, Ran. Takut si sulung mencari karena kelamaan ditinggal." "Oh iya, Mba. Aku boleh nengok kan? "Tentu," jawabnya tersenyum. Aku beranjak untuk membayar makanan, kemudian kami pergi meninggalkan kantin dan menyusuri bangsal menuju ruang rawat inap. Sepanjang jalan ku lihat si bungsu begitu manja bergelayut pada ibunya. "Bunda nanti kalau Ayah pulang aku mau berenang, mau nunjukkin ke Ayah kalau sekarang aku sudah bisa berenang." Mulut kecilnya bersungut-sungut penuh semangat. "Iya, nanti tunjukkin Ayah, ya. Pintar sekali anak bunda ini." "Iya dong, aku kan anak Ayah!" "Iya anak kebanggaan Ayah." Ku lihat Naya beberapa kali mengelus kepala anak lelakinya. "Tapi Ayah tidak mau main bersamaku lama, dia selalu pergi!" Sekilas ku lihat wajah polosnya, ia sedikit menekuk wajah. "Ayah kan sibuk, Nak!" Naya berusaha membesarkan hati sang anak. "Aku punya tabungan, Bun. Aku ingin membayar Ayah sehari saja untuk bermain bersamaku satu hari siang dan malam." Naya melirik ke arahku dengan senyum kecil, seperti tak enak dengan ucapan si bungsu. Lalu bagaimana aku? Entah berapa kali ku jelaskan betapa hati ini pilu, ucapan si bungsu seperti perlahan menyileti bagian hati terdalam. Ya Allah ... Setega itu kamu, Mas? Bibir ini tak bisa berkata-kata, aku menapak tapi terasa seperti sedang melayang. Di dekat Naya seperti ini membuatku merasa menjadi wanita paling jahat sedunia. Kami tiba di ruang rawat si sulung, gadis kecil yang cantik itu menyambut dengan senyum walau pucat di wajahnya begitu terlihat. "Bunda lama ya, Sayang? Kakak butuh sesuatu?" Ia menggeleng pelan, kemudian menatapku. "Bunda sama siapa?" "Oh ini teman Bunda, kenalkan namanya Tante Ranisa." Aku mendekat, ia menyambutku dengan ramah. Setelah itu kami berbincang sejenak, gadis kecil itu berbagi tawa, sangat ramah dan santun. Aku yakin Naya adalah sosok yang luar biasa, itu ditunjukkan ketika aku melihat sikap anak-anaknya. Aku masih bertanya-tanya, apa alasan sesungguhnya Mas Arya melakukan semuanya, ini masih menjadi misteri terbesar dalam pikiranku. Tak berapa lama setelahnya aku pamit pulang, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, setelah dari sini aku berencana akan ke rumah ibu, membiarkan langkah ini pergi kemana saja, asal tidak pulang ke rumah, karena itu hanya membuat hati semakin teriris. "Makasih ya, Ran. Sudah mampir." "Sama-sama, Mbak." Aku membalasnya dengan senyum. Tak lupa aku pun pamit pada si sulung dan si bungsu, setelah itu melenggang pergi masih dengan perasaan yang campur aduk. Awan hitam menggelayut, langit semakin gelap, sepertinya sebentar lagi akan hujan. Aku mempercepat langkah menuju parkiran. Namun, belum sempat aku tiba di sana, dari kejauhan ku lihat Mas Arya keluar dari mobil dan sedikit berlari meninggalkan tempat parkir. Aku memilih untuk mengikutinya, entah untuk apa, tapi langkah ini terbawa ke sana. Mas Arya nampak begitu tenang menyusuri lorong, di tangan kanannya ada satu kantong keresek dibawa. Kemudian ia berdiri sejenak di depan ruang rawa inap, lalu membuka dengan perlahan pintunya. Aku masih membuntuti dari belakang dan melihat dari kejauhan. Mas Arya menepis sambutan tangan Naya yang hendak mencium tangan suaminya sendiri. Aku terkejut, kemudian ia menunjuk Naya dengan raut wajah yang terlihat begitu marah. Samar dari kejauhan aku lihat si bungsu memeluk ibunya dengan ketakutan. Sementara si sulung sedang terpejam. Sayang ... Aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang sedang Mas Arya ucapkan. Tapi sungguh itu keterlaluan, apalagi ketika ku lihat Naya hanya menunduk tanpa sedikitpun menyela. Mas tak sadarkah kamu, wajah yang sedang kau tunjuk dengan jarimu itu terlihat begitu lelah. Tubuhnya mulai ringkih, ia berdiri tak seimbang. Dia membutuhkanmu! Dimana nuranimu? Dimana kelembutan yang selalu kamu tunjukkan padaku. Apakah itu juga palsu? Kenapa kamu sama sekali tak menyela Mba Naya? Kamu jangan terus berpura-pura dan membalut luka dengan senyum. Tenang Mas tenang, saat ini diamku bukan karena kamu hebat, aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD