5 ; Versus

2441 Words
Yena membanting pintu dengan keras. Benar-benar kesal pada lelaki tidak tahu malu yang tiba-tiba muncul itu. Coba pikirkan, sebenarnya ada di mana letak otak Arjun? Bisa-bisanya berlagak tidak sopan pada seorang perempuan di hari pertama bertemu. Ya, walaupun mereka sudah mengenal sebelumnya. Bahkan lebih dari sekadar mengenal. Tapi saat ini kondisi keduanya berbeda, ‘kan? Bagaimana jika tadi yang membuka pintu Ayyara? Apa yang akan dipikirkan perempuan itu tentang tunangannya dan desainer gaun pengantinnya dengan jarak sedekat itu? Benar-benar sialan. Laki-laki di dunia ini sama saja. Entah itu Arjun atau ayahnya Ivy, dan mungkin laki-laki lainnya. Apa di otak mereka hanya ada sesuatu berbau hal-hal dewasa yang begitulah? Yena malas menjelaskan lebih lanjut. “Hey kenapa?” Vigo mengusap rambut Yena saat perempuan itu tiba-tiba memeluknya. Menenggelamkan wajahnya di d**a bidang Vigo dengan kedua tangan yang melingkar erat di punggungnya. Vigo bisa merasakan napas memburu Yena, seperti baru saja marah-marah. Vigo sering mendapati ekspresi Yena yang seperti ini saat baru saja melampiaskan kekesalannya pada Ayah Ivy. Wajah memerah dengan napas memburu, dan tidak lama perempuan itu akan menangis. Persis seperti saat ini. “Kamu kecapean?” Yena menggeleng. Lebih mengeratkan pelukannya pada Vigo. Yena hanya butuh sandaran saat ini. Insting dalam dirinya memperingatkan bahaya di sekitarnya. Dan bersama Vigo membuatnya merasa aman. “Ayeesha bikin kamu kesel?” “Nggak!” Vigo mengerutkan keningnya. Sedikit tersentak dengan suara setengah membentak itu. Tapi selanjutnya hanya menampilkan senyumannya. Perempuan memang begitu, ‘kan? Mereka membutuhkan pertanyaan ketiga untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata. “Terus kenapa, Sayang? Kok jadi lebih manja dari Ivy sih.” Yena mendongakkan wajahnya. Menatap Vigo yang masih menampilkan senyumannya. Sebelah tangan dengan telaten menghapus air mata Yena. Merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik itu. “Besok ubah penataan butiknya ya,” pintanya dengan wajah memohon. Vigo semakin tidak mengerti. Permintaan macam apa ini? “Loh, bukannya penataan yang sekarang juga hasil permintaan kamu?” “Ih aku mau ubah.” “Iya, iya, besok di ubah lagi.” Lebih baik begitu. Vigo cenderung menuruti kemauan Yena dan Ivy. Asal itu masih dalam tahap wajar. Daripada berdebat terlalu lama dan berakhir marah-marah. Karena pada dasarnya kaum perempuan selalu merasa dirinya benar. Mereka tidak perlu diberi hal yang muluk-muluk. Cukup dengarkan dan iyakan permintaannya. Yena tersenyum lebar. Kembali memeluk Vigo lebih erat. Boleh ‘kan bermanja-manja pada Vigo? Sebelum Ivy datang dan merusak momen keduanya. Ivy selalu memonopoli Vigo membuat Yena tidak bisa leluasa seperti ini. Om Vigo itu punya Ivy, Mama! Mama nggak boleh rebut Om Vigo dari Ivy! “Mama!” Nah, ‘kan. Baru saja Yena bersandar nyaman di d**a bidang itu, tapi Ivy sudah merusaknya. Yena terpaksa melepaskan pelukannya, menampilkan wajah cemberut yang menimbulkan kekehan pelan dari Vigo. Gadis kecil itu berlari mendekat. Langsung merengek meminta gendong. Vigo langsung mengangkatnya dan dihadiahi ciuman manis di sebelah pipi. Menimbulkan suara kekehan Vigo dan wajah Yena yang semakin cemberut. “Ivy ‘kan udah bilang, Mama nggak boleh rebut Papa dari Ivy!” Yena dan Vigo saling pandang. Mereka tidak salah dengar, ‘kan? Ivy memanggil Vigo dengan sebutan ‘Papa’? Bukan ‘Om Vigo’ seperti biasanya. Sepertinya Yena tahu siapa yang berhasil menghasut Ivy. Ayeesha. Ya, siapa lagi yang memiliki mulut berbisa selain Ayeesha. Tidak heran, Ayeesha pernah bercerita jika dulunya adalah salah satu anggota tim radio yang sering mengeruk informasi semasa SMA. Kabar pacaran, selingkuh, sampai kabar burung bisa terbongkar semua oleh timnya dulu. Perempuan itu sedang tersenyum bodoh saat Yena menatapnya tajam. Tapi sepertinya Vigo tidak keberatan, karena lelaki itu langsung mengusap wajah Yena lembut. Membuat pelototan tajamnya menghilang. “Mama nggak rebut Pa ….?” Melirik Vigo yang hanya tersenyum menyetujui. "Mama nggak rebut Papa, Sayang. Papa ‘kan juga punya Mama.” Ivy mengibaskan telunjuknya beberapa kali. “Papa punya Ivy bukan punya Mama.” Memeluk Vigo semakin erat. “Papa sayang sama Ivy, ‘kan?” tanyanya dengan wajah menggemaskan. Vigo kembali terkekeh. “Iya dong, Papa sayang Ivy.” Ivy semakin menunjukkan wajah menyebalkan, meledek pada Yena seolah-olah Vigo adalah miliknya sendiri. Yena cemberut tapi dalam hati merasa benar-benar bahagia. Ivy memang membutuhkan kasih sayang seorang ayah, ‘kan? Dan tahu kenyataan jika Vigo tidak keberatan untuk itu, Yena merasa benar-benar lega. Lagi pula dari Ivy berusia satu tahun pun Vigo sudah berada di samping Ivy. Menggantikan sosok ayah yang semakin hari semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Dan melupakan putri kecilnya. “Tapi, Papa juga sayang Mama.” Merangkul Yena dengan sebelah tangannya. Yena langsung memeletkan lidahnya, menggoda Ivy yang cemberut. Berakhir sama-sama memeluk Vigo dengan kekehan sebagai pemanisnya. Oh ya jangan lupakan sepasang manusia yang entah sejak kapan berdiri di sana. Si perempuan yang sudah tersenyum lebar, menatap takjub pada sepasang manusia dengan putri kecil mereka. Ayyara sampai merangkul sebelah tangan Arjun dan bersandar nyaman. Mulai membayangkan kehidupan bahagianya setelah menikah nanti. Berharap bisa memiliki keluarga bahagia seperti Vigo dan Yena. Sedangkan Arjun hanya bisa menatap pemandangan itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Sudut hatinya tidak terima saat Yena berada di rangkulan lelaki lain dan tersenyum bahagia. Arjun bisa melihat bagaimana interaksi ketiganya yang menggambarkan figur keluarga idaman. Ayeesha? Jangan tanya. Hanya bisa menggigit jari dengan pandangan iri. “Ekheemm … udah kali.” Ayeesha menginterupsi kegiatan keluarga bahagia itu, membuat ketiganya terkekeh mendapati Ayeesha yang sudah menampilkan wajah tidak bersahabat. “Mbak Yena kebiasaan, suka lupa tempat kalau udah nempel sama Mas Vigo. Bukan apa-apa Mbak, aku yang ngenes.” Menatap kesal pada Yena dan Vigo yang terkekeh sembari meledeknya. Ivy kembali sibuk dengan dunianya. “Nih Mbak juga lupa sama pengunjung kita.” Oh iya. Yena meruntuki dirinya sendiri. Tidak sadar jika sudah melupakan sepasang kekasih yang sedang memilih pakaian untuk pernikahan mereka. Bahkan keduanya sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Sedang menatap drama keluarga Yena dan Vigo dengan senyuman lebar. Hm itu berlaku hanya untuk Ayyara. Karena lelaki di samping Ayyara justru terlihat keberatan dengan pemandangan ini. “Astaga, maaf Yara.” Ayyara tersenyum manis. Sesekali melirik Vigo yang masih merespon ocehan Ivy. Mengagumi sosok pendiri brand yang akhir-akhir ini sering muncul dalam iklan berdurasi pendek. Jika dilihat dari dekat ternyata jauh lebih tampan. “Nggak masalah Yena, kayaknya kita yang nggak tahu waktu.” Memberikan tatapan meminta maaf. Ini sudah pukul setengah dua belas. Pantas saja ‘kan Vigo ada di sini. Mungkin baru saja menjemput Ivy di sekolah dan menemui sang mama untuk makan siang bersama. “Jangan begitu. Oh iya kamu nggak mau kenalan sama Papa Ivy? Kayaknya tadi ada yang cerita soal model iklan yang bikin jejeritan.” Ayyara langsung tertawa renyah. Sedikit malu karena tingkah konyolnya. Ayyara juga tidak menyangka ternyata Yena akan mengatakan curhatan konyolnya di depan Vigo. Si oknum yang membuat para perempuan memekik heboh. “Vigo, ini Ayyara salah satu pelanggan kita dan tunangannya.” Vigo tersenyum pada sepasang kekasih itu. Ayyara terlihat sangat antusias sedangkan lelaki di sampingnya lebih bersikap tidak peduli. Gelagat tidak nyamannya terlihat jelas. Tapi Vigo mencoba tidak peduli. Mungkin tunangan Ayyara sedang lelah atau ada hal menyulitkan di pekerjaannya. “Sayang sama Mama dulu.” Ivy menurut, langsung masuk ke gendongan mamanya. Menatap orang-orang dewasa dengan tatapan polosnya. Ayyara sempat mencubit gemas pipi Ivy. “Vigo,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. Ayyara menyambutnya, masih dengan gelagat seorang fans yang bertemu dengan idolanya. “Ayyara. Vigo ya ampun, aku ngefans banget sama kamu.” Ayyara mulai lagi. Vigo hanya membalasnya dengan senyuman ramah. Sedangkan Arjun dibuat benar-benar kesal saat ini. Bagaimana mungkin tunangannya bersikap i***t seperti ini? “Oh iya kenalin, ini Arjun tunanganku.” Vigo tersentak mendengar nama itu. Arjun? Sempat melirik Yena yang tidak merespon lebih. Tapi Vigo bisa melihat mata Yena yang menyiratkan rasa takut. “Arjun.” Lelaki itu sudah mengulurkan tangannya. Menatap tajam pada Vigo. “Tunangan Ayyara,” lanjutnya. Vigo membalas uluran tangan itu. Tertawa dalam hati saat merasakan hawa permusuhan dari lelaki bernama Arjun. “Vigo, papanya Ivy.” Vigo semakin puas mendapati wajah Arjun yang mengeras, menahan amarah. Seolah mengiyakan hawa permusuhan yang dikibarkan oleh Arjun, Vigo dengan sengaja merangkul Yena lengkap dengan usapan lembut di bahu perempuan itu. *** “Cha, burger nih,” teriak Yena. Langsung duduk bersandar di sofa. Ayeesha muncul dari dalam. Mungkin baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Berjalan riang saat melihat beberapa bungkus burger di meja. Mengambilnya sebungkus dan duduk nyaman di depan Yena. “Nah Ivy sama Mama dulu ya, nanti Papa jemput.” Vigo baru saja masuk. Mendudukkan Ivy di samping Yena. Gadis kecil itu lagi-lagi sibuk dengan cup es krimnya. Makanan wajib supaya Ivy tidak banyak bertingkah. Walaupun sudah berdebat panjang lebar dengan sang mama. Tapi berakhir dituruti Vigo karena tidak tega melihat wajah memelas Ivy yang meminta es krim. “Udah berapa banyak gula yang Ivy makan hari ini? Pantes anak Mama manis begini.” Yena berujar gemas. Mencubit kedua pipi Ivy. Sudah lelah berkhutbah panjang lebar tapi tetap saja tidak didengarkan oleh Ivy. Ditambah Vigo yang lemah dengan wajah polos Ivy. “Aku langsung ke kantor ya.” “Papa." Vigo tersenyum. Memeluk Ivy yang sudah merentangkan tangannya. Memberikan ciuman sayang di kening gadis itu. “Mama juga, Pa.” Baru saja Vigo akan beranjak. Ivy sudah menahannya. Vigo tidak banyak berpikir. Kembali memberikan ciuman lembut di kening Yena. Yena dan Ayeesha sampai terheran-heran. Tumben nggak protes. Biasanya, Om Vigo punya Ivy! Mama nggak boleh rebut! “Aunty Echa juga, Pa,” sahut Ayeesha iseng. “Ih nggak! Aunty Echa nggak boleh!” Tiga orang dewasa itu langsung terbahak melihat ekspresi Ivy yang cemberut. Terutama Ayeesha yang memang sering menggoda Ivy. Tapi keduanya juga bisa menjadi sobat akrab di lain waktu. Terkadang jika Yena kerepotan di hari libur, Vigo juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan, Ayeesha yang akan menemani Ivy seharian. Nilai plusnya, Ayeesha menyukai anak kecil jadi Ivy tidak akan rewel. Merasa pas bermain dengan Ayeesha. Tapi nilai minusnya, terkadang mulut menyebalkan Ayeesha tidak bisa dikontrol. Berakhir Ivy membawa kosa kata baru saat sampai di rumah. Seperti, pacar Ayah mirip nenek sihir, Mama harus rebut Ayah dari nenek sihir itu, sampai yang baru terjadi tadi, penyebutan Om Vigo berubah menjadi Papa. “Dadah, Papa.” “Dah, Sayang.” Yena tersenyum manis melihat interaksi keduanya. Apalagi sikap Vigo yang tidak pernah berubah sejak dulu. Vigo selalu memperlakukan Yena dan Ivy dengan baik. Tidak pernah memaksakan kehendak. Lelaki itu selalu memahami kenyamanan keduanya. Bahkan apartemen yang ditinggali Yena dan Ivy saat ini dibeli oleh Vigo. Sengaja memberinya untuk tempat tinggal Yena dan Ivy. Sebelumnya Vigo sempat mengajak Yena dan Ivy tinggal bersama. Karena keduanya sudah bertunangan, ‘kan? Tidak akan ada yang heboh membicarakan hal itu. Publik juga sepertinya merestui hubungan mereka. Hanya saja Yena merasa tidak nyaman jika harus serumah dengan seorang laki-laki yang belum menjadi suaminya. Vigo memahami itu dan berakhir membelikan apartemen. Letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggal Vigo saat ini. Alasannya, Ivy sering merengek saat malam hari. Apalagi saat kondisi badannya kurang sehat. Dengan begitu, Vigo bisa cepat datang jika Yena sudah meminta bantuannya. “Senyum-senyum teroooss,” sindir Ayeesha yang masih sibuk menikmati burger keduanya. Ayeesha itu berbadan kecil. Tinggi badannya sedikit lebih tinggi dibanding Yena. Tapi porsi makannya tidak perlu ditanya. “Mbak aku tuh iri tahu. Mbak Yena bisa punya tunangan ganteng bersinar gitu. Masih muda, udah jadi bos. Mana bisnis bareng sampai sok-sokan romantis bikin nama brand dari gabungan nama kalian. Ditambah anak kecil ini, walaupun kadang-kadang ngeselin. Tapi kalau lihat kalian bertiga bawaannya pengen nikah. Lah aku apa kabar?” Yena menghela napas. Tidak yakin curhatan Ayeesha kali ini akan selesai cepat, karena kalimat pertamanya saja sepanjang satu paragraf. “Kamu bisa sama yang tadi pagi nganter, Cha.” Iya, tadi pagi Ayeesha langsung heboh menceritakan kesan pertamanya bertemu sosok laki-laki yang dinilai tua. Bahkan ungkapan bapak-bapak beristri dan duda kesepian juga Ayeesha ceritakan. Lengkap dengan taksiran harga dari keseluruhan yang menempel pada lelaki itu. Yena juga tidak mengerti mengapa Ayeesha bisa sedetail itu dalam menilai seseorang. Kabar baiknya, Ayeesha adalah asistennya yang sering kali mengingatkan saat Yena kurang teliti. “Ogah! Mbak mau nasibku cuma jadi istri kedua?” Yena tertawa ringan. “Emang setua itu?” “Ya nggak juga sih. Cuma nggak sreg aja, kaya cowok mata keranjang. Ya kali belum kenalan dia udah bilang aku manis. Cih, dasar lelaki.” Yena melotot tajam. Ayeesha memang ya. “Bisa direm kali kalau ngomong. Ada anak di bawah umur nih.” Ayeesha hanya cengengesan. Untung saja, Ivy sedang sibuk dengan es krimnya. Jika tidak, gadis kecil itu akan menanyakan, Aunty Echa mata keranjang itu apa? “Seriusan, Mbak. Mbak Yena sendiri yang kasih tahu aku harus selektif dalam memilih.” “Iya soalnya kadang kita nggak bisa lihat dari luarnya aja. Ada tuh yang luarnya mulus nggak punya celah, eh dalamnya berduri kaya kedondong. Ada juga yang luarnya nggak jelas tapi ternyata dalamnya baik banget.” Ayeesha mengangguk setuju. “Tapi kebanyakan nggak benernya, Mbak. Laki-laki ‘kan apa sih yang dipikirin kalau bukan hal-hal berbau begituan? Dasar otak m***m emang!" Lagi-lagi Yena melotot tajam. Memang ya mendengarkan curhatan Ayeesha di saat ada Ivy bukan kegiatan yang menyenangkan. Takut-takut Ivy akan mendengarkan hal yang tidak seharusnya. “Bukan salah mereka Cha, emang susunan otaknya begitu, ‘kan?” Ayeesha mengangguk tak acuh. Sedikit tidak setuju dengan pendapat Yena. Walaupun memang begitu adanya. Tapi bagi Ayeesha ya berbeda. Emang dasarnya nggak bisa ngolah otak aja. “Beruntung banget jadi Mbak Yena ya. Mas Vigo nggak bisa difotocopy aja, Mbak?” “Enak aja!” “Weesss mulai posesifnya.” Ayeesha kembali sibuk menikmati burgernya. Sesekali memainkan ponsel. Ivy sudah selesai dengan cup es krimnya. Mulai merengek karena mengantuk. Yena dengan sigap membawa putrinya ke pangkuannya. Mengusap-usap kepalanya lembut. Tidak lama gadis kecil itu mulai memejamkan matanya, dengan kedua tangan yang memeluk mamanya erat. “Mbak kayaknya perlu ngadu ke Mas Vigo deh.” Ayeesha melirik Ivy yang sudah terpejam. Sudah aman. Waktunya Ayeesha mengutarakan yang sedari tadi mengganjal di otaknya. “Ngadu apa?” Yena masih sibuk mengusap lembut kepala Ivy. Pelukannya masih erat menandakan Ivy belum sepenuhnya tidur. “Mbak dipepet laki-laki tadi, ‘kan? Untung insting Ivy kuat langsung gedor pintu gitu aja. Kalau nggak gimana coba, bibir Mbak nggak suci lagi. “Ya walaupun pasti udah nggak suci, Mas Vigo sering, ‘kan?” Yena memutar matanya malas. Kapan sih Ayeesha membawa topik yang lebih berbobot? “Cha, nggak ada pembahasan lain emang?” “Ya lagian napsu banget dasar. Baru ketemu loh, udah asal pepet-pepet aja.” “Mama, pepet itu apa?” Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Yena dengan mata sayu. Yena dan Ayeesha langsung bungkam. Yena melotot tajam membuat Ayeesha ketakutan. Habis sudah riwayatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD