“Sayang pakai sabuk pengamannya, duduk manis. Jangan gangguin Papa!”
Ivy mengangguk patuh. Duduk diam di kursi belakang. Vigo tersenyum lembut mendapati wajah pasrah Ivy. Tidak yakin gadis kecil itu akan menuruti Yena begitu saja. Mungkin diam di awal. Tapi tidak tahu apa yang akan Ivy lakukan sampai pertengahan jalan nanti.
“Kamu jadi jenguk Kak Sabria besok?”
Melirik Yena yang sibuk mengobrak-abrik kantong belanjaannya. Mereka baru akan pulang ke apartemen, sebelumnya mampir membeli keperluan dapur yang habis. Setelah mendapat yang dicari, Yena mengulurkan tangan ke belakang. Disambut sorakan senang Ivy.
“Jadi, setelah makan siang. Ivy sama kamu dulu nggak apa-apa, ‘kan?”
Vigo mengangguk dengan mata yang fokus ke depan. Jalanan cukup ramai. Mungkin karena bersamaan dengan orang-orang yang baru pulang kerja.
“Aku kayaknya ikut, ajak Ivy sekalian.” Melirik Yena yang baru saja menyandarkan punggungnya. Menatap jalanan yang ramai dengan suara klakson yang memekakkan telinga. Ini alasan Yena selalu malas pulang tepat waktu. Lebih baik agak malam, karena jalanan tidak terlalu padat.
“Kamu yakin?” Menatap Vigo yang kembali fokus dengan setirnya. Vigo mengangguk. “Kenapa memang?”
Vigo lagi-lagi melirik Yena saat embusan napas itu terdengar. “Aku takut aja. Responnya nggak begitu baik. Waktu pertama kali aku ajak Ivy juga, ‘kan? Kak Sabria sampai banting-banting peralatan. Ivy sampai nangis dan aku nggak bisa lama-lama di sana.”
“Tapi kalau nggak dibiasakan bukannya makin asing nantinya?”
“Mama besok Ivy mau coba yang rasa strawberry sama blueberry.” Ivy mulai bangkit dari posisinya. Berdiri dengan kedua tangan yang kotor oleh coklat. “Ya, Mama?”
Yena mengangguk sekilas. Tidak memperhatikan Ivy yang kembali berulah. Mulai meloncat-loncat dengan kedua tangan yang dikotori oleh coklat dari snack kesukaannya.
“Apa nggak apa-apa … ya ampun Ivy. Duduk, Sayang duduk!” Mengulurkan tangannya ke belakang, meraih badan kecil Ivy yang masih melompat-lompat.
Vigo meliriknya sekilas, menggeleng dengan bibir menyunggingkan senyuman. Sudah terlampau biasa melihat Ivy dan Yena ribut seperti ini.
“Mama udah bilang tadi, ‘kan?” ucapnya sembari menunjukkan wajah galak. Ivy kembali duduk dengan bibir cemberut.
“Aku takut aja responnya makin nggak baik. Lagi pula agak lama Go, kamu nggak masalah ninggalin kantor?”
“Nggak apa-apa. Erin bisa handle semuanya. Lagi pula jadwalku nggak terlalu padat besok.” Vigo kembali tersenyum saat gadis kecil di belakang sana masih sibuk cemberut tapi tetap memakan snacknya.
“Udah ada perkembangan, ‘kan?”
Yena mengembuskan napas lelah. Enggan menjawab. Vigo paham dengan respon Yena. Mengulurkan sebelah tangannya untuk mengusap lembut kepala perempuan itu. “Nggak apa-apa. Kita usahakan lagi, ya?”
Hanya mengangguk sebagai respon. Meraih tangan Vigo yang mengusap kepalanya. Memperhatikan sebentar sebelum menggenggam tangan itu. Vigo dibuat tersenyum dengan respon Yena. Membiarkan sebelah tangannya digenggam erat sedangkan sebelahnya lagi sibuk dengan stir.
Kembali ke dunia berbeda di tempat yang sama. Ivy semakin menjadi. Melakukan aksi rol depan dan rol belakang dengan merdeka. Sesekali bersorak heboh saat berhasil melakukan aksinya.
Ckiittt … bruk ….
Yena memejamkan matanya sesaat. Menahan kesal saat tubuh mungil Ivy sudah terlempar ke samping kursinya. Berada di tengah-tengah Vigo dan Yena.
Gadis kecil itu meringis menunjukkan gigi putihnya yang berjejer rapi. Menampilkan wajah sepolos mungkin agar sang mama tidak memarahinya. Atau minimal Vigo kembali dibuat luluh oleh wajah menggemaskan itu.
Vigo menghela napas lega. Mengusap dadanya yang tiba-tiba berdetak kencang. Hampir saja. Setelahnya, menepikan mobilnya sebelum kendaraan di belakang berteriak heboh karenanya. Sepertinya Yena butuh kalimat yang lebih panjang untuk menasihati Ivy kali ini.
“Mama udah bilang berapa kali sama Ivy, jangan ribut kalau di mobil! Ganggu Papa, Sayang. Papa lagi nyetir.”
Mengangkat tubuh mungil Ivy dan mendudukkan Ivy di pangkuannya. Memang membiarkan Ivy duduk sendirian di kursi belakang bukan hal yang baik. Ivy sangat aktif membuatnya enggan duduk diam.
“Untung aja Papa langsung sigap, kalau nggak kita bisa nabrak mobil di depan itu.” Menunjuk ke arah depan. Ivy kembali menunjukkan wajah kesalnya. Tapi hanya diam tidak menjawab kalimat sang mama.
“Nggak masalah Ivy mau ribut, tapi kalau di rumah. Kalau lagi di jalan begini nggak boleh, Sayang! Yang pakai jalan bukan cuma kita, tapi ada banyak kendaraan lain. Nanti kalau Ivy banyak berulah terus Papa nggak pinter bawa mobilnya, bisa nabrak kendaraan lain. Dampaknya bisa kena ke semua pengguna jalan. Nanti makin macet, Sayang. Ivy lihat, ‘kan? Sekarang lagi ramai banget. Diam sebentar aja, Ivy nggak capek memang? Lagi pula Ivy perempuan. Nggak boleh jungkir balik begitu, dan ini lihat tangan Ivy kotor begini.”
Bukan hanya Ivy yang malas mendengarkan ocehan panjang lebar itu. Vigo juga. Telinganya sudah menolak beragam kalimat yang Yena ucapkan dengan nada galak, tapi sepertinya tunangannya itu belum puas menyampaikan ratusan kosa kata yang masih tersimpan di otaknya.
“Ini juga, Mama ‘kan udah ajarin Ivy untuk makan yang baik dan benar. Ivy itu perempuan nggak boleh belepotan begini. Coklat di mana-mana. Kalau habis makan langsung bilang Mama, biar Mama bersihin sisa coklatnya.”
Mengomel sembari membersihkan jari-jari mungil Ivy dengan tisu basah. Ivy masih diam dengan wajah yang benar-benar cemberut. Ingin meminta tolong pada papanya pun tidak bisa.
Papa nggak bisa menolak kalimat panjang lebar itu, Ivy. Nanti yang ada gantian Papa yang kena omel.
“Kena seragam, ‘kan? Haduh ini masih dipakai untuk besok, Sayang. Nanti Mama harus ngerjain hal lain, nggak bisa nyuci dulu. Kalau begini lagi-lagi Mama harus ngurusin kerjaan rumah dan pesanan gaun dari tante tadi belum bisa Mama buat.”
Lama-kelamaan Vigo juga tidak tega melihat wajah memelas itu. Apalagi Ivy terus-terusan meliriknya meminta bantuan. Tidak habis pikir dari kegiatan jungkir balik di mobil dampaknya bisa sampai pekerjaan yang kembali tertunda. Dasar perempuan.
“Yena udah, kasihan Ivy,” ucap Vigo.
Yena langsung menatap ke arahnya dengan pandangan galak. Vigo diam sembari menyiapkan telinganya.
“Kamu tuh, sekali-kali jangan belain Ivy kalau aku lagi kasih nasihat kenapa sih? Bandel terus makanya ada yang belain. Lagian lemah banget cuma lihat muka memelas ini. Ivy itu udah pinter cari perhatian, kamu jangan gampang ketipu sama muka melasnya. Lagian aku kasih nasihat baik, ‘kan? Dia memang salah, kalau terus-terusan dibela kapan berubahnya? Ivy juga udah besar harusnya udah tahu gimana harus bersikap. Ini di mobil Vigo!”
Nah ‘kan Vy, gantian Papa yang kena.
“Iya Sayang iya. Sekarang udah? Udah keluar semua 24.000 katanya?”
Yena hanya mengangguk, masih dengan wajah galaknya.
“Ivy tidur aja ya, Sayang.”
Ivy juga hanya mengangguk. Menunjukkan wajah cemberutnya pada Vigo. Vigo tidak berbuat lebih. Jangan sampai mulut Yena kembali berucap panjang lebar. Ini sudah sore. Vigo enggan mendengarkan nasihat panjang lebar itu lagi. Hanya memberikan usapan lembut di kepala Ivy disusul dengan ciuman kening.
Melirik Yena yang masih diam. Biarkan dulu. Jangan memancing ribuan kata lagi Vigo! Kasihan telingamu, membutuhkan ketenangan.
***
“Apa perlu aku pekerjakan asisten rumah tangga?”
Yena melirik Vigo yang baru saja melepas sepatunya. Meletakkannya di rak sebelah pintu masuk. Meringis dalam saat sadar pandangan Vigo sedang menyapu seluruh apartemen. Mainan Ivy yang berserakan di mana-mana. Belum sempat Yena bereskan karena semalam Ivy minta ditemani tidur dan Yena juga ikut ketiduran.
“Aku bisa selesein ini kok.”
Vigo tidak merespon lebih. Takut-takut Yena akan kembali berkhutbah panjang lebar. Posisinya tidak mendukung karena saat ini Ivy sedang tertidur di gendongan perempuan itu. Kalau sampai Ivy kembali bangun, kasihan Yena yang lagi-lagi harus mengurusi Ivy lengkap dengan segala tingkah aktif anak itu.
“Anterin Ivy ke kamarnya dulu!”
Yena menurut. Segera membawa Ivy ke kamarnya. Sedangkan Vigo memilih ke dapur, ingin membuat minuman atau makanan yang bisa mengganjal perutnya. Mereka tidak sempat mampir makan malam tadi.
Perhatian Vigo teralihkan saat melewati sebuah ruangan sebelum ke dapur. Sudah tahu apa isi ruangan itu memang. Tapi karena penasaran, lagi-lagi Vigo memasuki ruangan dengan cat putih yang mendominasi. Tatanannya masih sama. Mungkin hanya ini satu-satunya ruangan yang rapi dan bersih di apartemen. Entah karena Yena rajin membersihkannya atau karena ruangan ini jarang dijamah.
Meraih beberapa sketsa gaun yang dipajang di dinding. Senyuman Vigo terbit di sana. Yena memang sudah lama bermimpi ingin menjadi desainer profesional. Yena sangat suka melihat hal-hal yang berbau keindahan. Seperti gaun pengantin.
Perempuan itu bahkan mengoleksi sketsa gaun pengantinnya sendiri. Beberapa kali Vigo menyarankan agar sketsa-sketsa itu ditawarkan pada pengunjung, karena Vigo akui jika sketsa itu direalisasikan akan menjadi gaun-gaun yang sangat indah dengan harga mahal. Tentu saja membutuhkan waktu pengerjaan yang lama.
Tapi Yena menolak itu dengan alasan waktu. Saat ini sudah ada Ivy yang membuat waktu Yena terkuras banyak. Vigo juga tidak memaksakan itu. Menuruti apapun yang sekiranya nyaman bagi Yena.
Selain itu, Vigo bisa merasakan sketsa-sketsa itu dibuat dengan sepenuh hati. Dengan melihatnya saja membuat suasana menjadi sendu. Bukan karena bentuknya yang indah, tapi karena Yena meluapkan isi hatinya di setiap goresannya.
Yena pernah mengatakan, pengantin perempuan harus menjadi yang paling bahagia di hari pernikahannya. Jangan sampai ada Yena-Yena selanjutnya, yang justru menangis di hari pernikahannya sendiri.
Mungkin hanya satu dari banyaknya sketsa itu yang berhasil direalisasikan. Gaun pengantin cantik yang terpajang indah di tengah ruangan. Vigo tahu betul apa arti gaun ini bagi Yena. Berisi kepedihan memang, tapi Yena belum bisa melupakan semua yang berkaitan dengan gaun itu.
“Vigo.”
Lelaki itu berbalik. Menatap Yena yang berada di depan pintu. Sudah menampilkan wajah kagetnya. Gelagat Yena tertangkap jelas di pandangan Vigo. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya menunjukkan senyuman hangatnya saat Yena berjalan mendekatinya. Sama-sama berdiri di hadapan gaun pengantin itu.
“Maaf.” Yena menunduk dalam. Tidak berani menatap sorotan mata Vigo. Vigo tidak membalas lebih, memilih meraih dagu Yena. Memaksa perempuan itu untuk membalas tatapan matanya.
“Nggak seharusnya aku masih nyimpen gaun ini. Aku tahu ini nyakitin kamu, maaf Vigo.”
Air mata Yena mulai turun. Vigo menghela napasnya. Sesak tentu saja. Melihat secara langsung perempuan yang dicintainya masih menjatuhkan hatinya pada lelaki lain.
Yena sudah mempersilahkannya untuk masuk ke hatinya, membuang nama lelaki itu dari sana. Tapi empat tahun berjalan, Vigo belum berhasil membersihkan nama laki-laki itu dari hidup Yena.
“Bukan salah kamu. Aku yang nggak sanggup menghapus dia dari kamu.”
Yena menggeleng tegas. Masih dengan air mata yang terus membasahi pipinya.
“Sekarang Arjun udah kembali, kamu bisa memilih dia lagi Yena. Jangan pernah paksakan hati kamu untuk aku. Kamu nggak perlu memedulikan aku karena aku udah terbiasa mencintai kamu yang seperti ini.”
Yena semakin terisak. Kedua tangannya merambat naik. Meremas kerah kemeja Vigo. “Jangan pernah bilang begitu lagi! Aku nggak peduli soal Arjun, aku udah memilih kamu Vigo.”
Vigo tersenyum miris. Yena memilihnya ya? Pernyataan yang justru membuat hatinya merasa sakit.
“Hati kamu nggak pernah memilih aku, ‘kan? Aku udah bilang berkali-kali jangan paksa hati kamu, biarkan dia memilih seseorang yang pantas kamu cintai.”
“Orang itu kamu Vigo, aku nggak perlu cari yang lain karena hati aku udah memilih kamu!” Yena mengeratkan tangannya di kerah kemeja Vigo. Meremasnya lebih erat. Ingin menyampaikan tentang hatinya yang terus berusaha membalas perasaan Vigo. Mungkin belum sepenuhnya. Tapi Yena bisa merasakan rasa sayangnya pada Vigo. Mengharapkan lelaki itu selalu di sisinya, hanya untuk dirinya sendiri.
“Nggak Yena, hati kamu masih sama Arjun.”
Menghela napas sekali lagi. Rasanya semakin sesak melihat Yena menangis terisak karenanya. Selama ini Vigo selalu berusaha menjadi seperti apa yang Yena harapkan. Berada di samping perempuan itu, membersamai saat senangnya, bahagianya, sedihnya, semuanya. Tapi jika memang hati Yena tidak bisa memilihnya, apa yang harus Vigo pilih selain berhenti?
Arjun sudah datang. Mungkin tugasnya memang sudah selesai sampai di sini. Mengantarkan Yena kembali pada pemilik hatinya.
Tapi coba pikirkan bagaimana dengan Ivy? Bukankah gadis kecil itu juga mengharapkan kehadiran sosok papa yang bisa menggantikan posisi ayahnya?
“Kamu nggak perlu khawatir soal Ivy. Aku akan tetap menjadi Papa untuk Ivy.”
Yena menggeleng lagi, “Bukan hanya Ivy yang butuh kamu, aku juga Vigo. Jangan begini.”
Yena semakin terisak membuat hati Vigo semakin sakit. Menarik perempuan itu ke pelukannya. Memeluk erat. Takut jika ini adalah pelukan terakhir yang akan didapat dari Yena. Vigo sadar diri, bukan dirinya yang seharusnya menempati hati Yena. Hati itu sudah memiliki pemilik. Dan akan sangat tidak benar jika Vigo mengambilnya begitu saja.
“Jangan pernah menyerah untuk membuat aku mencintai kamu, aku cuma mau Vigo. Bukan yang lain.”
Vigo tidak membalas permintaan itu. Hanya memeluk Yena semakin erat. Mencoba meyakinkan dirinya lagi. Kembali mencintai Yena memang pilihan bodoh, tapi Vigo tidak bisa menentang keinginan hatinya. Ia mencintai Yena, hanya Yena. Walaupun perempuan itu masih mencintai lelaki lain.
“Bilang sama aku Vigo! Kamu akan selalu berusaha membuat aku mencintai kamu!”
“Iya Yena iya. Aku akan selalu berusaha membuat kamu membalas rasa ini.”
Yena masuk lebih dalam ke pelukan Vigo. Meyakinkan hatinya jika Vigo adalah yang terbaik untuknya. Vigo sudah menemani sejak Yena terjatuh. Membantu Yena berdiri dan selalu berada di samping Yena. Setia mengulurkan tangan saat Yena tertinggal. Bersedia berhenti sejenak agar Yena bisa mengejar. Agar keduanya bisa berjalan berdampingan.
Tanpa keduanya sadari, ada sosok putri kecil yang mengintip dari balik pintu. Sesekali menyeka air matanya yang menetes membasahi pipi. Walau terlihat polos dan tidak mengetahui keadaan dari luar, jauh di dalam hati si putri kecil menyimpan beragam pertanyaan yang belum mampu dipecahkan oleh isi kepalanya.
***