Arjun tidak bisa mendeskripsikan lebih lanjut bagaimana perasaannya saat ini. Baru saja memasuki sebuah butik dengan warna putih bersih yang mendominasi seluruh ruangan. Banyak dress mahal tertata rapi, gaun-gaun pengantin mewah yang dipajang dalam ruangan berkaca. Sangat mempesona.
Belum lagi sosok pemilik butik yang sedang duduk sembari berbincang dengan Ayyara yang sudah sampai duluan. Perlu diingatkan, Arjun tidak begitu terpesona menatap tatanan butik ini. Arjun lebih terpesona pada perempuan cantik yang sesekali tertawa bersama tunangannya.
Itu Yena. Perempuan masa lalunya. Arjun bisa mendapati banyak perubahan dari Yena. Wajah cantiknya yang terlihat semakin dewasa. Rambutnya yang dulu hanya sebatas bahu sekarang sudah panjang sampai menutupi punggung, masih dengan poni tipis yang jatuh di dahinya.
Bibirnya yang sekarang berwarna merah sedang bergerak-gerak lincah membuat Arjun tanpa sadar memiringkan kepalanya. Ingin melihat lebih jelas bagaimana gerakan bibir itu.
Satu hal lagi, gerakan mengibaskan rambut yang tanpa sengaja memperlihatkan leher jenjang berwarna putih itu. Ya Tuhan. Bahkan Arjun sudah menahan napasnya sejak melihat perempuan itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama berpisah.
“Hei Arjun kamu udah sampai? Sini, sini, kenalan sama Yena.”
Ayyara melambaikan tangannya, membuat dua orang lainnya tersadar dan saling menatap. Yena terpaku menatap lelaki yang sedang berjalan pelan ke arahnya. Lelaki yang sama seperti lima tahun silam.
Lelaki yang dulu sangat dicintainya dan juga mencintainya. Lelaki yang pernah menjanjikan kebahagiaan hidup namun tidak mampu merealisasikan apa yang dikatakannya saat itu. Lelaki tidak berotak yang mungkin masih menetap di hati Yena. Sebagai sosok yang menimbulkan luka mendalam, yang bahkan sampai saat ini masih tersisa bekasnya.
Tidak ada tatapan kagum yang Yena tunjukkan. Lebih ke arah tatapan kaget dan enggan melihat lebih jauh. Arjun bisa menangkap gelagat tidak nyaman Yena saat dirinya sudah berdiri dekat dengan istri pemilik brand itu.
Yena sempat berdehem dan mengalihkan pandangannya. Menghindari mata Arjun yang belum berkedip menatap ke arahnya. Bohong jika Arjun tidak terpesona dengan perempuan yang tinggi badannya masih sama seperti lima tahun lalu.
Apa tubuh mungil ini masih terasa nyaman saat masuk ke pelukannya? Tolong ingatkan Arjun agar tidak berbuat macam-macam di sini!
Ayyara tertawa pelan. “Astaga Arjun udah aku duga. Kamu terpesona, ‘kan? Aku aja yang sesama perempuan mengagumi Yena, apalagi kamu.”
Keduanya tersadar. Arjun sedikit salah tingkah. Satu keberuntungannya, Ayyara tunangannya itu memiliki otak yang sangat lamban. Ayyara tidak akan bisa menangkap sinyal-sinyal aneh jika tidak diberi tahu secara langsung. Wajar jika Ayyara menganggap tatapan Arjun merupakan tanda kekagumannya pada sosok Yena. Layaknya manusia-manusia lain. Bukan tatapan tajam yang sarat akan kerinduan.
“Apa kamu nggak mau kenalan sama Yena?”
“Oh iya maaf.” Arjun sempat mengusap telapak tangannya yang berkeringat.
“Arjun.”
Yena tersenyum. Astaga bahkan lengkungan bibir itu kembali mengambil setengah kesadaran Arjun. Kenapa lengkungannya begitu indah? Apa bibir merah itu masih sama manisnya?
“Yena.”
Lagi-lagi Arjun tersentak. Tangan lembut Yena membalas uluran tangannya. Sedetik kemudian Yena langsung menariknya, membuat kesempatan Arjun untuk menggenggamnya sirna saat itu juga.
“Kita langsung lihat-lihat gaunnya?” Yena beralih tatap. Ayyara mengiyakan dengan antusias.
“Echa?”
“Ya, Mbak?” Ayeesha muncul dari dalam ruangan berkaca. Tersenyum ramah pada dua pengunjung yang sepertinya akan menjadi sepasang suami istri.
“Kamu bisa nemenin calon pengantin laki-laki memilih jasnya?”
Ayeesha mengangguk, kembali tersenyum ke arah Arjun yang dibuat bungkam. Apa itu semacam bentuk penolakan secara tidak langsung? Yena ingin menghindarinya?
“Ehm, maaf Nona Yena, apa sebaiknya Anda saja yang menemani saya memilih jas? Saya tipe yang tidak bisa memilih. Sepertinya jika bersama perancangnya langsung saya akan mudah menemukan jas yang tepat.”
Yena mengernyitkan alis. Memberikan tatapan heran pada Arjun yang salah tingkah. Astaga. Di mana kewibawaanmu Arjun? Mengapa bisa semudah ini dibuat kelabakan oleh perempuan yang bahkan tingginya hanya sebatas leher?
Tapi tidak bisa dipungkiri, Arjun masih bisa merasakan debaran yang selalu dirasakannya lima tahun lalu, saat bersama Yena. Debaran yang sama dan hanya Yena yang bisa membuatnya seperti ini.
“Benarkah? Sepertinya Anda memiliki selera yang tinggi,” ucap perempuan itu. Sedikit menilai cara berpakaian Arjun. Yang tentu saja membuat Arjun semakin salah tingkah.
“Ehm iya Yena, Arjun bisa menghabiskan banyak waktu hanya untuk memilih satu setel. Padahal kita butuh tiga setelan untuk acara nanti.”
Ayyara apa kamu tidak menyadari apa yang tunanganmu ini rencanakan? Bisa-bisanya membiarkan tunangannya dengan perempuan lain.
Yena tidak bisa menolak. Hanya meresponnya dengan anggukan dan berjalan pergi dari sana. Diikuti Arjun yang tanpa sadar sudah menunjukkan senyuman tipisnya.
“Kami memakai wol murni untuk jas yang di sebelah sini, tapi beberapa pelanggan mengeluh harganya yang terlalu mahal sehingga bahan semi wol juga kami sediakan. Anda bisa memilihnya di sebelah sini,” jelas Yena menunjukkan jas yang berbeda bahan di dua tempat yang berbeda. Arjun tidak mendengarkan itu. Hanya mengangguk seolah-olah menyimak.
“Tapi sepertinya untuk Anda lebih memilih wol murni.”
Yena mengambil beberapa lembar jas yang digantung dari tempat sebelah dinding. Menimang dan mencocokkan dengan Arjun yang hanya berdiri diam. Dengan kedua mata yang terpaku sepenuhnya pada si perempuan.
“Ehm kurang cocok.”
Arjun tersentak saat Yena dengan berani menempelkan jasnya. Kembali sibuk memilih dengan posisi membelakangi.
Arjun mendesis saat menyadari dress yang dikenakan Yena saat ini. Hanya beberapa senti di atas lutut membuat kaki jenjangnya nampak jelas. Ditambah gerakan aktifnya membuat bagian bawah dress yang agak mekar itu tersingkap dan menunjukkan lebih banyak sesuatu di baliknya. Arjun sampai menelan ludahnya dengan susah payah.
“Warna putih biasanya untuk pengucapan janji sucinya, terlihat lebih formal dan cocok, dan yang hitam ini untuk resepsinya.”
Yena kembali sibuk dengan dunianya. Menatap dua lembar jas di tangan kanan-kirinya. Tidak menyadari jika di belakangnya ada singa kelaparan yang sudah menahan napas sejak tadi.
Pluk … sialan!
Tolong ingatkan Yena untuk mengubah penataan butiknya. Kalau bisa jas-jas ini akan Yena letakkan di bagian paling depan dan di sudut belakang akan berisi gaun-gaun cantik untuk mempelai wanita. Untuk menghindari hal-hal tidak terduga seperti ini.
“Mau sampai kapan kamu pura-pura nggak kenal aku, Yena?”
Bisikan yang membuat bulu-bulu halus di sekitar lehernya meremang. Yena sudah mengumpati lelaki yang seenaknya menumpu tangannya di dinding. Membuat Yena terkurung. Jangan lupakan juga napas hangat yang menerpa lehernya berkali-kali.
“Maaf, sepertinya Anda sudah berlebihan. Bisa tolong singkirkan tangan Anda?”
Yena berbalik. Mengambil ancang-ancang untuk pergi, tapi si lelaki justru mengurungnya lebih dalam. Sampai kepala bagian belakang Yena membentur dinding.
Memejamkan mata sejenak, menetralkan emosinya. Yena bisa saja langsung menendang lelaki ini, tapi mengingat si lelaki adalah pengunjungnya membuat Yena teringat jutaan uang yang akan melayang jika sampai nekad berbuat macam-macam.
“Saya bilang, singkirkan tangan Anda!” Yena berujar lebih tajam. Saling berbalas tatap dengan si lelaki.
“Kamu nggak kangen aku?”
Yena kembali mendesis. Apa perlu Yena adukan semuanya pada Vigo agar wajah menyebalkan ini mendapatkan pukulan?
Arjun menundukkan kepalanya. Membuat posisi wajah mereka lebih dekat dari sebelumnya. Bisa merasakan wangi khas Yena yang tidak berubah. Napas halus yang menerpa wajahnya. Dan astaga kenapa bibir itu terlihat lebih menggoda dari jarak sedekat ini?
Sialan! Benar-benar sialan!
Entah sejak kapan, dua tangan Yena sudah berada di d**a Arjun. Menahan lelaki itu untuk melakukan hal lebih. Posisi mereka berbeda saat ini. Sama-sama memiliki orang lain. Tidak bisa seenaknya begini.
Arjun memang kurang ajar. Tidak menangkap gelagat tidak nyaman dari Yena. Justru membawa wajahnya lebih dekat dengan Yena. Satu tujuannya, bibir merah Yena yang sedikit terbuka.
Menatap wajah Yena yang terlihat pasrah. Ehm tidak pasrah. Wajah itu memerah padam seperti menahan amarah. Bisa dirasakan juga kedua tangannya yang meremas kemeja di bagian d**a. Sedetik lagi, Arjun akan mendapatkan apa yang dirindukan selama ini.
Brak ….
“Mama.”
“Ups maaf.”
Pintu kembali ditutup setelah Ayeesha refleks menutup mata Ivy dan mengajaknya keluar.
Yena langsung mendorong lelaki itu menjauh dan bergegas meninggalkan ruangan. Arjun tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri yang tidak berubah. Selalu terlihat menjijikan di mata Yena. Arjun yakin setelah ini Yena akan semakin membencinya.
***