Yena menggandeng Ivy memasuki pelataran kantor. Sesekali tersenyum membalas sapaan karyawan. Ivy tidak begitu memperhatikan. Sibuk memainkan squishy bebek yang dibelinya tadi. Membuatnya memiliki dunia sendiri. Sesekali memekik dengan wajah lucunya membuat karyawan yang lewat tersenyum gemas.
“Siang, Bu.”
“Siang.” Menoleh ke arah samping di mana sosok penyapa itu berdiri. Senyuman Yena melebar. “Kak Erin. Ya ampun aku kira siapa.”
Erin terkekeh pelan. Membalas pelukan Yena. Erin juga sempat mencubit gemas pipi Ivy yang masih sibuk dengan squishynya. “Gemes banget sih, siapa ini?”
“Ivy, Aunty,” ucap Yena mewakili Ivy yang belum tertarik dengan orang-orang di sekitarnya.
“Jarang ke kantor Bu, banyak kerjaan di butik?”
Keduanya mengobrol sembari memasuki lift. Yena lagi-lagi membalas senyuman beberapa karyawan yang sepertinya akan makan siang. Karyawan Vieena memang mengenal Yena sebagai istri bos mereka. Hanya Ayeesha satu-satunya yang mengenal Yena sebagai tunangan Vigo. Ditambah satu-satunya yang tidak punya sopan santun saat berhadapan dengan Yena dan Vigo. Tapi keduanya tidak mempermasalahkan itu. Toh Ayeesha sudah dianggap seperti adik sendiri.
“Dih apa sih, Kak. Nggak usah ikut-ikutan yang lain deh.”
Erin tertawa ringan. “Aku pencitraan loh, Na. Ya kali sama istri bos mau seenaknya. Nanti aku dipecat Pak Vigo. Aku nggak mau jadi pengangguran lagi. Lagian kerja di sini enak. Nggak mumet gaji besar lagi.”
Yena melirik sebal. Erin memang begitu terlalu jujur. Tapi baiknya tidak ada yang ditutupi dari sosok Erin. Selalu apa adanya.
Perempuan itu menjabat sebagai sekretaris Vigo di kantor. Yang sebenarnya lebih banyak mengerjakan hal-hal di luar tugasnya. Pekerjaan Erin hanya sebatas, memesan tiket, tempat duduk, sampai penginapan saat Vigo harus mengurus satu dan lain hal di luar kota.
Erin sangat jarang ikut serta. Sesekali ikut Erin akan ditinggalkan dan dibebani tugas Vigo. Sama seperti beberapa hari lalu. Saat Yena kesiangan dan berakhir melakukan banyak kesalahan selama seharian itu.
“Kalimat terakhir mungkin bisa aku aduin ke Vigo.”
Erin melotot kaget. “Ya jangan dong, Na. Kamu ‘kan tim pendukung karyawan di sini.”
“Lagian suka jujur sih, Kak.”
“Yena kejujuran itu hal utama dalam menjalin suatu hubungan. Cewek-cewek macem aku nih banyak dicari kaum laki-laki.”
Erin mulai dengan kebiasaannya. Berbicara panjang lebar tanpa tahu arah.
“Tapi karena kondisi kurang mendukung dan kaum laki-laki ternyata lebih sedikit dibanding kaum perempuan. Ditambah laki-laki zaman sekarang kebanyakan nikah muda ya begini jadinya. Aku nggak ketemu jodoh juga.”
Yena tidak menanggapi lebih. Erin kalau ditanggapi akan semakin cerewet. Jadi lebih baik bicara secukupnya saja. Lagi pula Erin sering kali tidak membutuhkan respon. Yang terpenting ada bentuk manusia untuk temannya mengobrol. Tidak peduli akan merespon atau tidak mendengarkan sama sekali.
“Eh tumben Na ke kantor? Jangan bilang kamu mau ngelabrak cewek-cewek kantor yang ngidolain Pak Vigo?”
Yena menaikkan sebelah alisnya. “Orang kantor ada yang sempet ngidolain Vigo?”
Mengembuskan napas sejenak sebelum menjawab. Sepertinya Yena harus menyiapkan telinga untuk mendengarkan kalimat Erin.
“Kamu nggak tahu? Astaga Yena, bahkan seisi bumi ini juga ngidolain Pak Vigo. Asal dia berjenis kelamin perempuan, lihat Pak Vigo langsung teriak heboh astaga ya ampun Vigo ganteng banget. Okey, itu wajar. Ada nih anak kantor yang suka ulang-ulang video iklannya Pak Vigo. Kalau menurut aku ya Na buat produk selanjutnya jangan pakai Pak Vigo langsung deh. Kamu nggak cemburu emang, suamimu jadi bahan hebohnya cewek-cewek. Apalagi emang dasarnya Pak Vigo ganteng, ‘kan? Kalau aku jadi kamu sih nggak bakalan aku izinin Pak Vigo buat ngiklan lagi. Sayang muka gantengnya dibagi-bagi.”
Yena memijat pelipisnya. “Biarin, Kak.” Hanya menjawab dengan dua kata, tapi tidak bisa dipungkiri wajah Yena sedikit tidak bersahabat saat ini. Cemburu kah? Wajar saja jika cemburu.
Tapi rasanya sedikit kekanak-kanakan sampai melarang Vigo untuk tidak memunculkan dirinya di layar. Lagi pula publik sudah menyorotnya sebagai istri Vigo. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Erin melotot tajam. Memegang kedua bahu Yena untuk menghadapnya. “Yena are you okay?”
Memutar bola mata malas. “I’m okay, Kak.”
“Aku yakin ini cemburu. Please, Na jangan ngamuk begitu kamu ketemu Pak Vigo. Salahku yang keceplosan. Nggak usah kamu pikirin. Ya Tuhan jabatanku di ujung tanduk.” Erin kembali dibuat heboh. Memegang kepalanya dengan wajah syok.
“Apa sih, Kak? Nggak ih santai aja.”
“Beneran, kamu nggak cemburu?” Beralih memegang kedua bahu Yena. Erin memang begitu, suka berlebihan. Ivy bahkan sempat meliriknya sekilas. Kemudian kembali sibuk dengan mainannya.
“Ya cemburu, dikit. Tapi nggak masalah lagian Vigo udah jadi hak patenku.”
Erin menganga takjub. “Uwow, aku suka gayamu, Na.”
Yena terkekeh pelan. Erin memang begitu, ‘kan? Terlihat aneh bagi sebagian orang. Karena memang begitu adanya. Erin si manusia aneh yang banyak tingkah.
Begitu keluar dari lift, keduanya langsung terdiam. Yena dengan wajah terkejutnya dan Erin yang langsung berubah menjadi sekretaris penuh sopan santun. Tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
“Siang, Pak,” sapanya pada dua orang laki-laki yang sepertinya akan turun ke lantai bawah. Tapi terhenti karena berpapasan dengan Yena.
“Siang.” Vigo menjawab singkat.
Sedangkan lelaki di sampingnya tidak menjawab sama sekali. Meliriknya saja tidak. Erin sampai melirik Yena menunjukkan wajah sebalnya. Kalau saja bukan ayah dari atasannya atau bukan orang penting sudah pasti wajah itu akan dicabik-cabik dengan sadis.
“Yah.” Yena menyalami lelaki tua yang berdiri di samping Vigo, Ayah Jonny. Tidak menanggapi lebih, hanya mengangguk dan sedikit menyunggingkan senyuman.
Perhatian Vigo langsung tertuju pada gadis kecil di gandengan Yena. Masih sibuk dengan squishynya. Terlihat menggemaskan. Vigo sampai terkekeh melihat wajah itu.
“Yang sibuk sendiri sampai nggak sadar ada Papa.” Vigo berjongkok, menyesuaikan tinggi badannya dengan Ivy. Menoel pipi gadis kecil itu. Ivy yang merasa terganggu menghentikan kegiatannya. “Papa,” ucapnya girang. Langsung melingkarkan lengan mungilnya di leher Vigo.
Yena tersenyum singkat, ada sesuatu yang menyentil sudut hatinya. Sedangkan Erin sibuk mengagumi atasannya yang terlihat begitu menyayangi keluarganya. Sedikit berkhayal jika suatu hari nanti Erin berkeluarga dan memiliki suami seperti Vigo.
“Ehm saya permisi, Pak, Bu.” Erin undur diri. Mengangguk sopan pada Vigo, Yena, dan ayah Vigo. Merasa tidak sopan jika terus-terusan di sini. Berada di bagian keluarga atasannya.
“Ayah langsung pamit. Jangan lupa pesan Ayah, Go. Ajak Yena juga.” Menepuk pundak Vigo beberapa kali.
“Iya Yah, saya usahakan.”
“Yena, Ayah duluan.” Beralih pada Yena. Tanpa menghiraukan gadis kecil yang saat ini sudah memendam wajahnya di leher Vigo. Vigo mengusap-usap kepalanya lembut.
Yena hanya mengangguk sebagai respon. Matanya mengikuti Jonny yang memasuki lift kemudian hilang di telan pintu. Beralih pada Ivy yang sudah beringsut memeluk Vigo erat. Pandangan gadis kecil itu menyiratkan kesedihan. Yena tahu persis apa penyebabnya.
Menghela napas lelah, berjalan mendekati Ivy di gendongan Vigo. “Sebelum ketemu Tante Sabria mau mampir beli es krim dulu?” tanyanya sembari mengusap rambut Ivy dengan sayang.
Gadis kecil itu langsung menatap Yena berbinar. Kesedihannya langsung hilang, “Boleh, Mama?”
Yena mengangguk dengan senyumannya yang mengembang. “Boleh dong.”
“Yeay Ivy makan es krim. Ayok Papa beli es krim,” serunya dengan wajah riang. Menyuruh Vigo agar mulai berjalan. Vigo yang gemas mencium sebelah pipi Ivy.
“Ivy mau yang tiga rasa ya, Mama?” pintanya masih dengan senyuman riang. Yena mengiyakan itu. Merasa sedikit lega karena gadis kecil itu tidak bersedih terlalu lama.
Berjalan beriringan dengan Vigo yang masih sesekali menanggapi celotehan Ivy.
“Maafin sikap Ayah,” ucap lelaki itu. Yena hanya mengangguk. Sudah terlampau biasa lelaki dewasa itu mengabaikan keberadaan Ivy. Yena sebagai ibu tentu saja merasa sedih. Putri kecilnya yang tidak tahu apa-apa harus mendapatkan pandangan tidak menyenangkan dari kakeknya sendiri.
***
“Undangan makan malam dari Pak Januar.”
Arjun melirik malas undangan yang baru saja mendarat di mejanya. Tidak memiliki minat untuk membukanya, apalagi menghadiri undangan itu. Tolong ingatkan Arjun jika undangan itu berasal dari rekan bisnisnya. Mau tidak mau Arjun harus memenuhi undangannya.
“Lo terlihat lebih menyedihkan sekarang.” Gavin menatap dengan pandangan meledek seperti biasanya. Duduk nyaman di kursi yang berhadapan dengan Arjun. Menumpu salah satu kaki di kakinya yang lain.
Seenaknya memang. Jika saja Gavin tidak memiliki andil besar dalam kehidupan Arjun sudah pasti lelaki yang posturnya tidak terlalu tinggi itu akan Arjun pecat.
“Kalau lo nggak ada urusan lagi, silahkan keluar.” Arjun melirik sekilas, menunjukkan letak pintu keluar membuat Gavin berdecih.
“Kalau aja lo bukan atasan gue, Jun,” ucapnya pelan. Tapi tidak beranjak dari duduknya. “Jangan bilang lo udah ketemu Yena?”
Arjun mengangguk dengan wajah menggenaskan. Gavin sudah bisa memprediksikan apa yang terjadi di hari-hari kemarin.
“Lengkap sama suami dan anaknya,” jawabnya lirih. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sembari melepas lelah.
“Wow gimana komentarnya? Vigo jauh lebih bersinar dilihat dari deket, ‘kan?”
Arjun langsung melotot tajam. Gavin langsung terdiam. Sepertinya salah bicara. Atau memang Arjun yang terlalu sensitif?
“Gue benar-benar pengen nonjok mukanya itu.” Arjun bergumam dengan nada kesal.
Mengingat lagi pertemuan pertamanya secara langsung dengan si pendiri brand itu. Ditambah sikap menyebalkannya pada Yena dan respon Yena yang seolah tidak keberatan.
Hey Arjun! Tentu saja Yena tidak keberatan. Bagaimana mungkin otaknya memikirkan hal mustahil itu. Jika Arjun yang bertindak seperti itu barulah muncul penyataan Yena yang seolah tidak keberatan. Belum lagi wajah menyebalkan yang sebenarnya benar-benar tampan itu selalu muncul ketika mobilnya berhenti di lampu merah.
“Kalau gue pecahin videotron di persimpangan itu berapa denda yang harus gue bayar?”
Gavin menunjukkan wajah tidak mengerti. Tapi sedetik kemudian mulai paham dengan maksud pertanyaan Arjun.
“Denda uang udah pasti lo bisa bayar. Yang bahaya itu denda dari Yena yang bikin lo makin gila sampai seterusnya.”
Embusan napas lelah. Benar-benar menyebalkan. Kenapa setelah pertemuan itu justru wajah Vigo yang selalu muncul di kepalanya. Kenapa bukan wajah cantik Yena atau si mungil Ivy yang menggemaskan? Kenapa harus Vigo yang lama-lama terlihat lebih tampan darinya? Dan itu berhasil membuat darahnya naik. Jika begini Arjun bisa terkena serangan jantung di usia muda.
“Gue udah bilang, ‘kan? Pikirin masa depan lo sendiri. Jangan sampai Ayyara bernasib sama kaya Yena.”
“Mereka beda, Vin. Yena gue pilih sendiri karena gue mencintai dia. Sedangkan Ayyara, lo tahu sendiri lah. Kerja sama bisnis yang mengatasnamakan pernikahan. Apa gue nggak selaku itu sampai dipaksa nikah sama perempuan yang bukan pilihan gue?”
“Cih cinta lo bilang? Kalau cinta lo nggak akan ninggalin Yena di hari pernikahan kalian. Dan alasan lo terlalu konyol untuk orang seumuran kita sekarang.”
Arjun tidak merespon. Kembali menunjukkan wajah tidak bersahabat.
“Orang bilang, cinta muncul karena terbiasa. Karena sekarang lo nggak bisa dapetin Yena, seenggaknya lo harus mulai membiasakan keberadaan Ayyara. Jangan jadi pecundang untuk kedua kalinya. Gue yakin Yena bakalan makin benci kalau lo sampai ngelakuin kesalahan yang sama.”
“Gue belum berjuang dan lo udah nyuruh gue nyerah?”
“Ini bukan masalah memulai, Jun. Tapi lo memang udah kalah sebelum perang.” Gavin menghela napas. Merasa aneh sendiri bisa mengeluarkan kalimat aneh itu.
“Coba datang ke undangan Pak Januar, ajak Ayyara. Mulai kenalin Ayyara ke rekan-rekan bisnis lo. Seenggaknya kasih Ayyara kesempatan buat bikin lo jatuh cinta, Jun.”
Arjun hanya mengangguk. Tidak begitu setuju dengan pernyataan Gavin. Karena salah satu sudut hatinya masih mengagumi perempuan lain. Yang jelas-jelas sudah menjadi milik orang lain, bukan untuknya lagi.
Salahnya yang menyia-nyiakan Yena begitu saja. Selangkah lagi untuk menjadikan Yena miliknya, saat itu. Tapi Arjun yang bodoh justru memilih pergi, meninggalkan Yena dalam kesendiriannya. Menimbulkan sakit hati Yena yang tidak bisa sembuh semudah itu. Saat ini, tanpa sengaja, Arjun kembali menyakiti hati perempuan. Dengan subjek yang berbeda, tapi sepertinya jalannya akan sama.
“Kalau memang lo nggak bisa mencintai Ayyara, tegas dari sekarang. Jangan bikin dia seperti Yena di lima tahun lalu.”
Gavin beranjak, melirik sejenak ke arah Arjun yang sepertinya masih membutuhkan waktu lebih untuk berpikir.
“Gue keluar,” pamitnya. Arjun mengangguk tak acuh. Masih setia menunduk dengan pikiran yang melayang jauh.
Benarkah, Arjun harus merelakan Yena mulai sekarang dan belajar menerima keberadaan Ayyara? Bukankah seharusnya sejak memutuskan pergi, Arjun sudah menerima risiko seperti ini?
Yena terlihat bahagia dengan Vigo dan putri kecil mereka. Ayyara juga bahagia dengannya, karena perempuan itu tidak pernah sadar Arjun masih memikirkan perempuan lain. Atau mungkin sadar, tapi berpura-pura bodoh agar tetap bersama Arjun.
Apa Ayyara benar-benar mencintainya? Jika perempuan itu benar-benar mencintainya, mungkin Arjun akan belajar membuka hatinya. Mencintai Ayyara sebagai bentuk pelarian karena gagal mendapatkan Yena kembali.
Terdengar sangat-sangat jahat, bukan?
Arjun memang pengecut. Bahkan sampai saat ini sifat pengecutnya masih melekat kuat. Mungkin Ayyara, Yena, atau perempuan lainnya akan sangat membencinya jika tahu bagaimana otaknya berpikir.
Tapi bolehkah untuk saat ini, sebelum hari pernikahannya tiba. Arjun hanya ingin memastikan atau sekedar mengucapkan kata perpisahan pada Yena. Kata yang dulu tidak sempat diucapkan. Karena Arjun pergi begitu saja, tanpa kata perpisahan.
Arjun dengan kebodohannya pernah menyakiti Yena. Mungkin ini balasan dari Tuhan. Rasa sakit yang dulu sempat Yena rasakan, berbalik padanya dengan rasa sakit yang lebih menyiksa.
***