Beberapa menit berjalan, keduanya hanya saling diam. Duduk berdampingan di sebuah sofa yang terletak di bagian tengah ruangan. Menyelami pikiran masing-masing dan enggan saling mengganggu. Satu suasana yang cukup baru untuk keduanya.
Vigo terbiasa dengan Yena yang cerewet. Perempuan super yang bisa mengeluarkan banyak kalimat dalam sekali tarikan napas. Membuat telinganya pengang memang. Namun itu jauh lebih baik daripada melihat Yena yang hanya diam dengan pandangan kosong. Sesekali air matanya luruh, kembali membuat pipinya basah.
Yena mungkin terguncang dengan kehadiran Arjun siang ini. Apalagi Arjun sampai nekad membawa Ivy pergi bersama. Walaupun Ivy tetap kembali dalam keadaan baik-baik saja. Lengkap dengan senyuman yang terlampau manis itu.
Tapi yang menjadi masalah di sini adalah perasaan Yena. Mungkin Yena tidak akan semarah ini jika saja Arjun adalah salah satu temannya atau teman Vigo. Bukan sosok yang datang dari masa lalu dan menorehkan luka mendalam di dalam hati. Yang sampai saat ini masih sulit disembuhkan.
“Hey.” Vigo merendahkan tubuhnya. Meraih sepasang tangan Yena yang sedang bertautan. Sepasang tangan itu bahkan sudah berkeringat. Dan sentakan ringan serta wajah terkejut Yena cukup memberi jawaban pada Vigo. Jika Yena benar-benar ketakutan.
Vigo mulai mengusap lembut sepasang tangan Yena. Memberi tatapan lembut agar tunangannya itu bisa melupakan rasa takutnya, walaupun hanya sejenak. Karena Vigo tahu betul, Yena adalah tipe pemikir yang terlalu serius. Ketakutan semacam ini tidak akan sembuh dalam sehari, dua hari. Namun berhari-hari lamanya. Sampai ketakutan itu terlupakan tanpa sengaja.
“It’s oke, Sayang. Semua akan baik-baik aja,” ucapnya lembut. Senyumannya mengembang. Kembali meyakinkan Yena jika tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Mungkin hal buruk semacam itu bisa saja terjadi, dulu. Jika saja Vigo tidak ada di samping Yena. Tapi kali ini Yena memiliki Vigo. Lelaki bertanggung jawab yang akan selalu ada di sampingnya.
Yena mulai menangis. Air matanya yang sebelumnya mulai surut kini menetes lebih deras. Membuat Vigo menghela napas panjang. Kemudian beranjak dan memeluk Yena erat. Memberi usapan lembut serta ciuman sayang di kening Yena. Menyampaikan rasa aman dan nyaman. Jika kalimatnya tidak lagi berguna saat ini, perbuatan lembutnya akan jauh lebih terasa menerobos sampai ke relung hati.
Pelukan Yena mengerat. Bahkan Vigo bisa merasakan remasan di pinggangnya. Tangisan si perempuan lebih terdengar memilukan. Satu bukti tanpa kata yang menunjukkan jika sosok Arjun masih tersemat sangat rapi di dalam hati Yena.
Mengisi sebagian atau keseluruhan hati itu. Dengan luka mendalam yang menimbulkan ketakutan. Efeknya sangat luar biasa. Hampir empat tahun berjalan, Yena belum bisa menyembuhkan luka di hatinya. Masih menyimpan Arjun sebagai satu-satunya di dalam sana. Walaupun hanya sebagai sosok yang menimbulkan luka di masa lalu.
Bukankah Arjun begitu luar biasa? Vigo sedikit menaruh rasa iri atas hal itu. Arjun yang pernah menyakiti Yena saja bisa tersemat begitu indah di dalam hati. Tapi Vigo yang sudah menemani Yena sejak saat itu, tidak pernah sekalipun mampu menghapuskan nama Arjun dari dalam sana.
“Vigo …,” panggil Yena dengan suara bergetar. Vigo mengangguk dengan sebelah tangan yang sudah merapikan helaian rambut Yena. Mengusap pipinya lembut.
“Aku takut,” ucapnya lagi. Air matanya kembali menetes deras. Yena terlihat lebih menyakitkan saat ini. Dan hal itu cukup menimbulkan luka yang berbeda dengan rasa sakit yang sama di dalam hati Vigo.
“Ada aku. Kamu nggak perlu memikirkan apapun selama ada aku, oke?”
Yena hanya diam dengan tangisannya yang belum berhenti. Menumpukan semua kepedihannya dalam pelukan erat Vigo. Sembari terus menolak pemikiran-pemikiran buruk atas kehadiran Arjun serta tindakannya yang terlampau nekad.
Yena tentu tahu bagaimana sosok Arjun. Lelaki dari masa lalunya yang tergolong ambisius dalam mendapatkan sesuatu. Arjun pantang menyerah sebelum sesuatu yang diinginkannya berhasil menjadi miliknya.
Satu kemungkinan terburuk yang tercetus dalam otak Yena. Arjun kembali datang, berperan sebagai laki-laki baik yang menjadikan Ivy sebagai alat untuk membuatnya kembali dekat dengan Yena.
Yena membenci itu, tentu saja. Dengan hadirnya Arjun saat itu saja sudah membuat dunia Yena seolah dalam bahaya. Apalagi Arjun sudah dalam tahap mendekati Ivy tanpa izin dari Yena maupun Vigo. Benar-benar lelaki gila. Tidak tahu diri!
Seharusnya dengan kesalahan sebesar itu di masa lalu, Arjun tidak lagi berani memunculkan dirinya di hadapan Yena. Ditambah status keduanya yang sudah berbeda. Tapi ini Arjun. Sosok lelaki gila yang berbahaya. Dan tentu saja membahayakan hidup Yena untuk detik ini sampai seterusnya.
“Dia udah berani bawa Ivy. Aku takut … aku nggak mau Vigo.”
Mau sampai kapan kamu membohongi diri sendiri, Yena?
Vigo menghela napas panjang. Mencoba menepis rasa tidak menyenangkan di dalam hatinya. “Kamu milik aku, Yena. Arjun nggak akan berani meraih kamu kembali. Kecuali aku yang memutuskan untuk melepas kamu.”
Ya, pada kenyataannya Vigo tidak bisa menyampaikan bentuk keraguan hatinya pada Yena. Rasa cintanya yang terlampau besar. Cinta dengan ketulusan yang membuat keikhlasan itu tumbuh dengan murni di dalam hati. Tidak penting memiliki Yena dengan luka mendalam itu. Vigo lebih baik sakit hati asal perempuan yang dicintainya bisa hidup dengan bahagia dan baik-baik saja.
Yena sudah banyak mengorbankan perasaannya. Mementingkan kenyamanan orang lain, dan memikul beban berat itu sendirian. Tapi di saat cinta dari masa lalunya kembali, Yena masih berusaha menutupi perasaan mendalam itu. Mengabaikan hatinya yang terlalu mencintai Arjun. Yang tanpa sadar juga menimbulkan luka di dalam hati Vigo.
“Jangan pernah pergi.”
Sesak. Begitu kalimat sederhana berisi satu permintaan itu terucap dengan getaran dari suara Yena. Bukan itu yang terpikir dalam pikiran Vigo saat ini. Bukan Vigo yang akan meninggalkan Yena. Justru Vigo yang harus menyiapkan hatinya jika suatu hari nanti Yena memutuskan untuk pergi dan kembali bersama Arjun.
“Go, jangan pernah pergi!” ucap Yena dengan nada yang lebih memaksa. Vigo tersenyum lembut. Sebuah topeng andalan untuk menutupi rasa sakit di dalam hati. Kemudian anggukan kepala itu mewakili jawaban yang diharapkan Yena.
Jelas Vigo tidak mampu mengeluarkan kalimatnya atau hanya sekadar kata mengiyakan. Permintaan sederhana itu terlampau menyesakkan di dalam hati. Namun berhasil menimbulkan senyuman tipis di bibir Yena, walau matanya masih menampakkan kesedihan. Sisa air mata yang belum mengering betul.
Setidaknya satu senyuman Vigo lengkap dengan anggukan kepala itu mampu menimbulkan rasa tenang di dalam hati. Walaupun baik Vigo maupun Yena sama-sama tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi ke depannya. Yang terpenting sekarang, keduanya menjalani hari-hari dengan baik. Dengan tugas tambahan yang berlaku untuk Yena, kembali berusaha keras untuk menghilangkan sosok Arjun dari hati dan pikirannya. Jika bisa dari kehidupannya juga.
***