9 ; Usaha Arjun

2094 Words
“DS Froebel. Dari jl. Akasia belok kiri, nanti lo lewatin DS Junior High School lurus dikit. Nggak jauh dari Teddy Home, ada di kanan jalan.” Arjun mematikan sambungan. Membuat suara Gavin menghilang di balik telepon. Mungkin lelaki itu sedang mengumpat sebal karena Arjun lagi-lagi mematikan sambungan secara sepihak. Sementara Arjun tidak terlalu memikirkan itu. Melajukan mobilnya ke arah taman kanak-kanak tempat Ivy bersekolah. Lelaki ini tersenyum lebar saat melihat gerbang DS Froebel yang masih tertutup rapat. Masih pukul sebelas kurang. Sebentar lagi Ivy akan keluar. Menyandarkan punggungnya sebentar. Sembari menunggu gadis kecil itu keluar dari sekolahnya. Mungkin ini semacam penculikan, karena Arjun nekad menjemput Ivy tanpa memberitahu Yena ataupun Vigo. Sengaja memang. Lagi pula nanti akan Arjun kembalikan. Arjun ingin mendekati gadis kecil itu. Bukankah sebelum mendekati mamanya, ia harus mendapatkan hati anaknya dulu? Biarkan Arjun mengikuti egonya saat ini. Lupakan keberadaan Vigo dan Ayyara sebentar saja. Nah itu dia. Senyuman Arjun semakin merekah saat melihat gadis kecil yang sedang digandeng seorang perempuan berseragam guru. Dengan penuh percaya diri, Arjun turun dari mobilnya. Berjalan cepat ke arah Ivy yang masih menunggu jemputan. “Hallo, Ivy,” sapanya. Tersenyum lembut pada Ivy yang masih kebingungan. Arjun juga sempat menyapa guru perempuan itu. Menyampaikan sebuah kebohongan yang mengatasnamakan Yena sebagai orang yang memerintah Arjun ke sini, untuk menjemput Ivy. Hampir gagal, lantaran sekolah Ivy yang menerapkan keamanan ketat. Guru Ivy sampai menghubungi nomor Yena, hanya untuk memastikan apakah Arjun benar-benar datang atas perintah si perempuan. Namun sepertinya keberuntungan sedang memihak Arjun saat ini. Nomor Yena dan Vigo tidak aktif. Membuat Arjun tersenyum lega. “Om siapa?” tanya Ivy masih menelisik wajah Arjun. Mengingat-ingat siapa lelaki yang tiba-tiba menyapanya. “Ivy lupa? Om Arjun, yang beberapa hari kemarin ketemu Mama dan Papa Ivy di butik.” Lagi-lagi Ivy menelisik wajah Arjun membuat Arjun tersenyum. Wajah Ivy memang gabungan dari wajah Vigo dan Yena. Walaupun Yena lebih banyak menyumbang kecantikan di sana. Jika saja wajah mungil itu lebih banyak menuruni wajah Vigo, sudah dipastikan Arjun tidak akan berbaik hati seperti ini. “Om Arjun disuruh Mama untuk jemput Ivy.” Arjun menambah kebohongannya supaya Ivy percaya dan mau pulang bersamanya. “Mama yang nyuruh Om?” Arjun mengangguk masih menunjukkan senyuman lembutnya. “Papa ke mana?” Sesuai dugaan. Ivy adalah anak yang tidak mudah mempercayai orang lain. Mungkin Arjun terlihat asing di mata gadis kecil itu. Karena memang Arjun orang asing yang tiba-tiba mengaku sebagai teman orang tua Ivy. “Papa ada rapat mendadak siang ini.” “Tapi Papa janji mau jemput Ivy hari ini.” Ivy mulai merengek, ada bentakan di sana. Arjun merendahkan badannya. Menyesuaikan dengan tinggi Ivy. “Iya Ivy, tapi Papa ada hal lain yang harus diurus. Sekarang Ivy pulang sama Om ya?” “Om bukan orang jahat, ‘kan? Kata Mama, Ivy nggak boleh bicara sama orang asing.” “Bukan. Om Arjun ini temennya Mama.” Setelah lagi-lagi menelisik wajah Arjun untuk memastikan tidak ada wajah kejahatan di sana, akhirnya Ivy mau diajak pulang bersama. Tentu saja Arjun tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. “Ivy mau mampir makan siang?” Ivy menggeleng tak acuh. Tidak melirik Arjun yang duduk di sebelahnya. Masih terlalu asing untuk mengiyakan ajakan makan dari orang lain. “Ivy nggak lapar?” “Ivy mau makan sama Mama dan Papa.” Arjun mengangguk paham. Sepertinya Vigo memang membiasakan makan siang bersama keluarga kecilnya. Untuk saat ini Arjun akui dirinya berada jauh tertinggal dibandingkan Vigo. Lelaki itu bahkan bisa mencuri hati Ivy. Ya bagaimana tidak, Ivy adalah anak Vigo sudah pasti keduanya dekat. “Ivy mau beli boneka?” Lagi-lagi Ivy menggeleng. “Papa udah beliin Ivy banyak boneka di rumah.” Embusan napas lelah. Sepertinya mendekati Ivy lebih sulit dari yang Arjun bayangkan. Gadis kecil ini terlihat tidak tertarik sama sekali dengan iming-iming yang diajukan Arjun. “Om Arjun bisa beliin satu lagi untuk teman baru Ivy.” Kali ini Ivy menoleh ke arah Arjun yang sedang menyetir. “Temen Ivy udah banyak,” ucap gadis kecil itu, kembali menatap ke arah depan. Mengabaikan Arjun yang lagi-lagi harus menyabarkan dirinya. “Kalau es krim?” Ivy menoleh cepat. Kedua matanya langsung berbinar. Gadis kecil yang tadinya terlihat sangat tak acuh sekarang menatap Arjun penuh harap. Arjun bisa melihat wajah menggemaskan itu. “Ivy mau Om, ayo beli es krim,” ucapnya dengan nada merengek. Sebelah tangan Ivy sudah menarik ujung jas Arjun membuat senyuman Arjun kian lebar. “Oke kita beli es krim.” “Yeay Ivy makan es krim. Nanti Ivy pesan yang besar ya, Om?” Arjun mengangguk singkat. Senyumannya semakin lebar saat melihat wajah sumringah Ivy. Gadis kecil itu terlihat semakin cantik dengan ekspresi wajahnya yang menggemaskan. Arjun pikir, akan lebih sulit mendapatkan pintu masuk untuk mendekati Ivy. Tapi ternyata tidak begitu. Walaupun di awal ia sudah mendapatkan tatapan aneh dari Ivy. Jika akhirnya Ivy akan begini, tidak menjadi masalah. *** “Echa gimana ini, Cha? Vigo udah ke sekolah Ivy dan guru Ivy bilang udah ada yang jemput Ivy. Padahal Vigo baru datang, ‘kan? Cha Ivy gimana?” Yena berujar panik, hampir menangis. Ia baru saja mendapatkan telepon dari Vigo dan mengatakan Ivy tidak ada di sekolah. “Mbak tenang dulu, duduk. Tenang, tenang.” Ayeesha menuntun Yena untuk duduk di salah satu kursi, mengusap bahunya pelan. “Vigo ngira aku yang jemput. Seharian ini aku di butik terus, ‘kan? Nggak keluar. Ivy, Cha.” Air mata Yena mulai menetes. Pikiran negatif mulai mengerubungi isi kepalanya. “Kalau Ivy diculik gimana? Terus nggak dikasih makan? Atau nggak dijual di perdagangan manusia? Cha, Ivy gimana?” “Mbak tenang dulu. Jangan mikir begitu. Mas Vigo lagi ke sini, ‘kan?” Yena mengangguk, masih menangis. “Mbak Yena tenang dulu. Kita nunggu Mas Vigo gimana baiknya. Aku yakin Ivy nggak ilang.” “Kalau Ivy dijual gimana? Cha anakku.” “Iya, Mbak iya. Mbak Yena jangan mikir macem-macem. Lagian siapa yang mau nyulik anak rusuh kaya Ivy. Yena melotot tajam di tengah rasa paniknya. Ayeesha salah bicara. “Maksud aku, Ivy pinter begitu nggak mungkin gampang ditipu orang. Apalagi Mbak Yena sering kasih tahu ‘kan, jangan gampang percaya sama orang asing. Aku yakin Ivy baik-baik aja. Ayeesha beralih mengusap bahu Yena. Menenangkan perempuan itu dari kepanikannya sekaligus amarahnya akibat Ayeesha yang salah bicara. “Lagian kalau guru Ivy ngebolehin orang itu bawa Ivy, berarti dia orang baik dong, Mbak. Temen deket Mbak atau Mas Vigo mungkin?” Yena menghentikan acara menangisnya. Memikirkan kalimat Ayeesha yang ada benarnya. Tapi siapa? “Ayah Ivy mungkin nggak sih?” Yena berpikir sejenak. “Ayah Ivy selalu menghubungi aku dulu kalau mau bawa Ivy.” Yena mengecek ponselnya. Tidak ada panggilan atau pesan dari Ayah Ivy. “Kayaknya bukan, Cha.” “Mas Dokter?” “Kalau Dokter Jei udah pasti Vigo tahu.” Ayeesha mengangguk setuju. Lalu siapa yang berani mengajak Ivy pulang tanpa mengabari Yena dan Vigo? “Na?” Keduanya mengalihkan pandangan. Vigo masuk dengan tergesa. Wajah paniknya nampak jelas di sana. “Gimana Go? Udah ada kabar lagi dari guru Ivy?” Vigo menggeleng. “Kamu tenang. Ivy pasti pulang sebentar lagi. Mungkin salah satu temen kita dan lupa nggak ngabarin.” Vigo meraih bahu Yena. Memberi tatapan meyakinkan. Vigo bisa melihat guratan kekhawatiran dari wajah cantik itu. “Lapor polisi aja, Go!” “Nggak bisa, Sayang. Ivy baru menghilang sekitar dua jam . Tunggu sebentar lagi ya, aku yakin Ivy baik-baik aja.” Mengusap lembut puncak kepala Yena. Menyuruh perempuan itu untuk kembali duduk dengan Ayeesha yang mendampingi. Vigo beralih mengotak-atik ponselnya. Menghubungi beberapa nomor yang mungkin membawa Ivy pulang dan lupa tidak mengabarinya. “Mas Jeirandi nggak, istrinya juga lagi ada acara sama temen-temennya. Jadi nggak mungkin jemput Ivy. Ayah Ivy dan Jimmy lagi rapat.” Vigo bergumam sembari berusaha mencari nomor orang-orang terdekat yang mungkin membawa Ivy. “Mbak Sabella?” Mengalihkan pandangan ke Yena. “Mbak Bella lagi hamil besar Na, nggak mungkin bawa mobil sendiri, ‘kan?” Yena mengangguk. Baru sadar jika istri dari Ayah Ivy sedang hamil anak pertama mereka saat ini. Hampir lahiran. Itu juga yang menyebabkan Ayah Ivy mengabaikan Ivy akhir-akhir ini. Belum lagi permintaan Sabella yang beraneka ragam, membuat Ayah Ivy kewalahan. Yena ingin menuntut lebih, karena bagaimanapun Ivy juga tanggung jawab dari lelaki itu. Tapi Yena juga kasihan saat lelaki itu mengeluh lelah karena mengurusi istri barunya dan calon anak mereka. “Ayah Jonny?” Vigo melotot tajam. Langsung menghubungi nomor ayahnya. Pikirannya langsung melayang jauh, memikirkan apa yang akan dilakukan ayahnya pada Ivy. Vigo tahu betul ayahnya sangat-sangat membenci keberadaan Ivy. Dan Vigo tidak pernah menyangka lelaki tua itu akan bertindak menyebalkan seperti saat ini. Jika ayahnya benar-benar menyembunyikan Ivy dan sampai melukai gadis kecil itu, Vigo berjanji akan membalaskan semuanya setimpal. Tidak memandang apa dia ayahnya atau bukan. Karena selama ini pun, Vigo menjadi anak yang sangat menentang aturan ayahnya. “Mama.” Ketiganya beralih tatap, pada gadis kecil yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Sedang berlari riang dengan cup es krim di tangan kanan-kirinya. Tidak hanya Yena dan Vigo yang mengembuskan napas lega, tapi Ayeesha juga. “Sayang dari mana?” Yena langsung merendahkan badannya. Memeluk Ivy dengan erat. Jangan lupakan air matanya yang kembali menetes membuat Ivy kebingungan sekaligus menampilkan wajah sedih. “Mama kenapa nangis?” “Ivy dari mana? Mama nyariin Ivy. Papa tadi ke sekolah tapi Ivy nggak ada?” Beralih menangkup pipi Ivy. Menelisik wajah cantik putrinya. “Ivy dijemput Om Arjun. Ivy juga dibeliin es krim.” Ivy menunjukkan dua cup es krim. Yena menghela napas lega. Hanya sedetik berjalan, Yena sudah menampilkan raut wajah tidak suka. Ivy pergi bersama Arjun. Jadi lelaki itu sudah berani mendekati Ivy? “Minta maaf sama Papa, Sayang!” Ivy mengangguk. Berjalan mendekati Vigo yang sedari tadi hanya memperhatikan interaksi ibu dan anak itu. “Papa, maafin Ivy.” Vigo tersenyum lembut. Mengusap rambut Ivy dengan sayang. “Nggak apa-apa, Sayang. Jangan diulangi lagi ya?” Gadis kecil itu mengangguk patuh. Memberikan senyuman manisnya pada Vigo. Sedangkan sang mama sudah sibuk memberikan tatapan tajamnya pada Arjun. Merasa benar-benar kesal pada lelaki yang saat ini hanya terpaku menatapnya. Tidak berusaha menjelaskan perbuatannya yang menimbulkan kepanikan banyak orang. Satu tamparan Yena layangkan. Kaget, tentu saja. Tapi Arjun merasa ini pantas ia dapatkan. Salah siapa membawa anak orang tanpa izin. Kalaupun meminta izin, Arjun yakin Yena tidak akan mengizinkan itu. Vigo menghela napas. Beralih pada Ivy dan Ayeesha yang hanya menatap perlakuan Yena pada Arjun. Perempuan itu terlihat benar-benar emosi. “Cha!” Vigo memberi isyarat agar Ayeesha membawa Ivy meninggalkan ketiganya. Ini masalah orang dewasa. Tidak sepantasnya Ivy melihat pertengkaran Yena dan Arjun. Vigo tidak yakin Yena akan mudah diajak berbicara. “Na, jangan begini.” Menarik Yena mundur setelah Ayeesha dan Ivy tidak di sana. Mengusap lembut bahu Yena yang mulai naik turun. Yena marah. Itu sudah pasti. Wajar, ‘kan? Yena sudah ketakutan Ivy menghilang. Walaupun dugaan Ivy dibawa Jonny tidak benar. Tapi tetap saja, seseorang yang membawa Ivy sebenarnya jauh lebih dihindari Yena saat ini. Air mata Yena yang sempat surut kembali menetes. Dengan bahu yang semakin bergetar. Vigo menariknya ke pelukan. Menenangkan perempuan itu dengan perlakuan lembutnya. Beberapa kali Vigo mencium puncak kepala Yena. Semua itu tidak luput dari perhatian Arjun. Merasa tidak ada lagi ruang untuknya saat melihat Yena dan Vigo. Vigo tidak berbicara apapun pada Arjun. Hanya mengulurkan tangannya memberi sebuah kartu nama. Arjun sempat tertegun, hanya menatap kartu itu dalam diam. Namun setelah Vigo mengangguk dan ada isyarat lain di sana, Arjun mengambil itu. Menatap Vigo dan Yena sebentar. Ingin mengucapkan satu kalimat pendek. Ya setidaknya itu yang terpikirkan di kepala Arjun saat ini. Tapi nyatanya, Yena masih sibuk memendam wajahnya di pelukan Vigo. Enggan melihatnya. Atau bahkan Yena sudah benar-benar muak dengan kehadirannya. Arjun berbalik, meninggalkan sepasang manusia itu. Memberi waktu lebih untuk Yena meluapkan rasa kesalnya. Arjun sadar, ia tidak lagi penting dalam hidup Yena. Perempuan itu sudah tidak bisa menatapnya dengan rasa cinta yang dulu sempat ada. Hati Yena sudah tertutup sepenuhnya. Mungkin hanya Vigo satu-satunya yang mengisi hati itu. Dan Arjun sadar, akan sangat sulit jalannya untuk meraih hati itu kembali. Belum lagi kehadiran Ayyara di hidupnya. Benar kata Gavin, ia tidak boleh menyakiti perempuan berbeda dengan rasa yang sama. Walaupun masih ada paksaan untuk merebut Yena kembali. Arjun tidak begitu yakin bisa meraihnya lagi. Setelah menyakiti Yena begitu dalam, meninggalkan perempuan itu sendirian dalam kesedihannya. Saat ini kembali lagi, dengan kondisi yang berbeda lengkap dengan pendamping masing-masing. Apa masih pantas Arjun berharap Yena akan kembali padanya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD