8 November 2015...
"Pulang nanti temenin gue bentar ya,"
Aku yang tadinya tengah membereskan peralatanku selama menginap di graha, langsung menoleh pada Abdee yang duduk dikursi belakangku. Cowok itu duduk menyender dengan santai, tanpa mau membantuku beres-beres. Ish!
"Mau kemana sih? Gue udah capek banget ini. Pengen langsung tidur."
"Bentar aja kok," dia berdiri mendekat. Memilih menyender di meja. "Lagian gue jamin, capek lo pasti hilang kalo ikut gue."
Aku berdecak kesal. "Jawab dulu, mau kemana emangnya?"
"Rahasia," dia tersenyum miring, lalu mengacak rambutku usil. "Udah nggak usah cemberut gitu. Beresin barang-barang lo, gue tunggu diluar."
"Bantuin!"
Abdee mengerdikan bahunya dan berlalu keluar, mengabaikan panggilanku. Ish! Dia ini!
"Jangan lama!"
Aku mendelik saat mendengar suara teriakannya dari ruang make up. Ingin rasanya aku melempar gunting yang ada di dekatku, tapi tentu saja tidak aku lakukan karena orangnya ada diluar sana.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, mempercepat beres-beresku.
****
15 menit kemudian--setelah berpamitan dengan Kak Iyan dan anggota yang lain--aku pun keluar dari graha. Menemukan Abdee sudah duduk di dekat pot bunga. Wajahnya terlihat cemberut.
"Ngapain aja sih di dalem? Lama banget."
Aku melempar tasku padanya, tanpa berniat menjawab ucapannya. Ia terlihat membelalakan matanya padaku.
"Gila lo ya, tas berat gini asal lempar. Untung gue sigap,"
"Ck! Berisik lo," aku berjalan lebih dulu ke mobil Abdee yang terparkir di dekat situ. Tak lama ia menyusul, membuka kunci mobil dan meletakan tasku dikursi belakang.
Sementara aku langsung duduk di depan. Aku menoleh saat ia sudah duduk disampingku. Ia tengah menghidupkan mobilnya.
Aku baru akan membuka mulut untuk bertanya, tapi Abdee lebih dulu berbicara.
"Pake sabuk pengamannya!"
Aku mencibir namun tetap menuruti ucapannya itu. "Jauh nggak tempetnya?" tanyaku setelah memakai sabuk pengaman.
"Kenapa sih kepo banget? Biasanya juga diem aja kalo gue ajak kemana-mana,"
"Masalahnya ini udah malem, Dee. Nyokap gue--"
"Gue udah izin sama Nyokap lo buat ngajak lo pergi,"
"Heh?! Kapan lo izinnya?" aku menghadapkan tubuh padanya.
"Tadi," Abdee melirikku sekilas. "Pas gue nungguin lo diluar graha."
Dalam hati aku berdecak kesal, merutuki Mama yang mudah sekali menyerahkanku pada Abdee. Apa Mama benar-benar tidak memikirkan kesehatan jantungku saat berada di dekat Abdee? Huh! Menyebalkan!
"Kenapa diem aja dari tadi?" tanya Abdee saat lampu merah.
"Gue tuh ngantuk!" protesku. Aku memang benar-benar mengantuk, belum lagi tubuhku sangat lelah, membuatku ingin segera pulang.
"Jangan tidur dong. Bentar lagi sampe ini,"
Aku berdecak lalu mengamati keadaan diluar. Keningku mengernyit saat mengenali jalanan disana. "Tunggu!" aku menegakan tubuh, untuk melihat dengan jelas jika Abdee memang mengajakku ke Benteng Kuto Besak, atau yang sering disebut dengan BKB oleh orang-orang disini. "Lo serius ngajak gue ke BKB?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Ngapain pake rahasian segala kalo cuma kesini. Astaga!"
"Udah sih ikut aja."
"Masalahnya gue udah sering kesini, Dee. Gue bosen tahu kesini mulu!"
Dari sudut mata, aku lihat Abdee tersenyum. s**l! Kenapa dia harus tersenyum saat aku sedang marah sih?! Aku kan jadi nggak tega buat marah!
"Gue jamin, kali ini lo nggak bakal bosen ke BKB." ia menghentikan mobilnya di parkiran dekat BKB, lalu mengajakku turun dari mobil.
Dengan langkah kesal, aku pun mengikutinya turun dari mobil. Abdee mengelilingi mobilnya dan berdiri di sampingku. "Ayo," ajaknya. Ia mengulurkan tangannya padaku. Tapi karena demi menjaga kesehatan jantungku, aku terpaksa menolak uluran tangannya.
"Lo pikir gue nenek-nenek apa harus digandeng!"
Abdee terkekeh, sama sekali tak tersinggung dengan ucapanku. "Iya deh," ia memberikan isyarat lewat tatapan matanya, menyuruhku untuk berjalan berdampingan dengannya.
Aku menurut, berjalan beriringan dengan Abdee menuju tempat yang memang belum pernah aku datangi selama ke BKB. Aku mengernyit ketika Abdee mengajakku ke pinggir sungai Musi. "Eh mau ngapain kesana?!" tanyaku panik.
"Udah ikut aja," Abdee menarik tanganku, mengajakku untuk mengikutinya melewati jembatan kecil. Pada awalnya aku memang menolak karena takut terjatuh, aku pun terpaksa berpegangan padanya.
"Kita mau kemana sih, Dee? Gue takut jatuh ini. Beneran deh!"
"Lo nggak bakal jatuh, kok. Ada gue," ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Aku merutuki diriku yang masih sempat-sempatnya berdebar karena ucapan sederahana Abdee tadi. Ya Tuhan!
"Sampe nih kita,"
Ucapan Abdee itu membuatku penasaran. Aku yang tadinya bersembunyi dibalik bahu Abdee, langsung mengintip untuk mengetahui kemana Abdee membawaku. Ternyata dia mengajaku memasuki rumah makan apung. Dia menuntunku hingga memasuki perahu.
"Kita mau ngapain kesini?" tanyaku ketika Abdee melepas genggaman tangannya.
"Makan,"
"Ya tapi kenapa harus dirumah makan apung? Kenapa nggak ditempat biasa aja?"
Aku lihat Abdee berdesis sambil melototkan matanya padaku, hal yang justru membuatnya terlihat lucu. "Protes mulu sih, heran gue." ia menyuruhku untuk duduk dikursi kayu. Kemudian aku melihat Abdee berbicara pada pemilik perahu--jika tebakanku ini benar, Abdee pasti menyuruh pemilik kapal ini menjalankan perahunya, karena tak lama setelah itu, perahu yang aku tumpangi ini mulai berjalan ke tengah sungai.
"Btw, kenapa cuma kita berdua doang disini?" tanyaku penasaran.
Abdee mengalihkan pandangannya menatap Jembatan Ampera yang berhiaskan lampu-lampu. Beberapa detik kemudian aku menemukan ia tersenyum, masih dengan menatap lurus ke depan. "Gue juga nggak tahu kenapa cuma ada kita berdua disini,"
Aku sedikit tak yakin dengan apa yang diucapkan Abdee. Lagipula, bagaimana bisa rumah makan apung sebesar ini sama sekali tidak ada yang datang. Tapi dari pada itu, aku lebih penasaran kenapa Abdee mengajakku kesini malam ini. Apa dia berencana mengajakku kencan? Aish! Mendadak aku meringis ketika pemikiran itu melintas di kepalaku. Tidak mungkin Abdee mengajakku kencan!
"Terus kenapa lo ngajak gue kesini?" Dari pada menebak-nebak dan berakhir penasaran, aku memilih untuk bertanya saja.
"Gue sengaja ngajak lo kesini, buat ngerayain keberhasilan lo pentas tadi." ia menoleh padaku. Membuatku buru-buru mengalihkan pandangan darinya. Astaga! Semoga saja Abdee tidak tahu jika aku menatapnya sejak tadi.
"Seneng nggak?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Seneng."
Abdee terkekeh geli. Tangannya bergerak mengacak rambutku. "Nggak bosen 'kan ke BKB?"
"Iya," aku terpaksa jujur, karena baru pertama kali ini aku mengunjungi rumah makan apung. Apa lagi aku kesini bersama Abdee, jelas saja tidak akan bosan. "Makasih udah ngajak gue kesini,"
"Sama-sama," ia tersenyum lalu menatap menu dihadapannya. "Mau pesen apa?"
"Ada apa aja?" aku memanjangkan leher untuk melihat menu yang Abdee pegang. Mungkin mengerti aku tidak dapat membacanya, Abdee segera membalik menunya ke arahku.
"Gue pesen..." aku menelusuri deratan menu menggunakan jari, dan berhenti disatu titik. "Nasi goreng cumi,"
"Minumnya?"
"Samain aja kayak lo."
"Oke," Abdee kemudian memanggil seorang pelayan, ia menyebutkan pesanan kami tadi. Dan setelah pelayan mencatat pesanan, ia kembali menatapku sambil berpangku tangan. “Abis ini kita pulang ya?"
"Iya."
"Sampe rumah, pokoknya lo harus istirahat. Nggak usah main hp dulu."
Aku mencibir. Kenapa dia jadi mendadak perhatian begini sih? Biasanya juga dia tidak pernah menegur kalau aku main hp. Tapi karena tak ingin berdebat, aku pun menuruti ucapannya itu. "Iya. Gue bakal langsung tidur nanti."
Abdee tersenyum dengan kurang ajarnya di depanku, memperlihatkan satu lesung pipinya. Ya Tuhan! Dia kenapa sangat suka membuatku gugup?!
"Heh! Ngapain liatin gue gitu?" Abdee menjentikan jarinya di depan wajahku. Aku pun langsung tersadar dan buru-buru mengalihkan pandanganku.
"Si-siapa yang lagi liatin lo sih!" elakku.
Kemudian dengan santai, ia mengamit daguku, mengarahkan wajahku padanya lalu berkata. "Nih, liatin muka gue sampe lo puas."
Oh my god! Demi apapun, ingin rasanya aku terjun ke dalam sungai musi untuk menyembunyikan wajahku ini.