Prolog
"Han lo harus percaya sama gue! Kalo Abdee udah jadian sama Nadya!"
Telingaku terasa berdengung ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nabila beberapa detik yang lalu. Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memaksakan sebuah senyuman tipis untuk sahabatku itu--yang kini menatapku serius. "Nggak mungkinlah. Abdee pasti bakal cerita sama gue kalo dia jadian sama Nadya."
"Han, gue serius."
"Nggak, Nab. Mungkin aja itu cuma gosip, lagian kan emang banyak murid yang suka ngaku-ngaku jadian sama Abdee, padahal aslinya nggak."
"Han!" Nabila menatapku tak percaya, seperti bingung akan berbicara apa lagi. "Yang kali ini bukan gosip kayak yang sebelumnya. Gue--"
"Udah, Nab." Aku menyela ucapan Nabila. "Biar lo yakin, pulang sekolah ini gue bakal tanya sama Abdee deh." Meski pun aku sedikit ragu untuk bertanya, karena hubunganku dan Abdee sedang tidak baik akhir-akhir ini.
"Terserah lo deh. Yang penting gue udah kasih tahu lo," ucap Nabila pada akhirnya.
Aku hanya bisa tersenyum. Memeluk lengan Nabila agar sahabatku itu tidak lagi merajuk dan mengajaknya masuk kelas.
****
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku cepat-cepat membereskan semua peralatan sekolahku. Setelah berpamitan pada Nabila dan Nike jika aku akan ke kelas Abdee, aku langsung melesat keluar kelas, berdiri beberapa saat di depan kelas Abdee untuk mencari keberadaan cowok itu, tapi sayang aku tak menemukannya di dalam kelas. Perasaanku entah kenapa jadi sedikit tidak enak.
Aku lantas menghela nafas, sebelum bertanya pada salah satu teman sekelas Abdee mengenai keberadaannya. Dan ternyata ia berada diruang OSIS. Aku pun segera berbalik menuju ruang OSIS, tapi pintu ruang OSIS justru tertutup. "Apa dia dikantin ya?" Gumamku, mungkin saja ia ingin membeli sesuatu disana.
Aku pun berbalik hendak melangkah, tapi tidak jadi ketika telingaku mendengar suara tangisan dari dalam ruang OSIS. Aku terdiam sejenak untuk mendengar suara tangis itu, dan sepertinya aku mengenali suara itu. Perlahan, aku kembali berdiri didepan pintu ruang OSIS, membukanya secara perlahan hanya untuk terkejut melihat apa yang ada dibaliknya.
Tanganku terkulai lemas disisi tubuh saat melihat jika Abdee tengah memeluk Nadya—menenangkannya dari tangis. Dia juga ikut terkejut melihatku dan segera mengurai pelukannya dengan Nadya.
"Je?" Dia melangkah mendekat hendak menggapai lenganku, hanya saja aku segera menghindar.
"Jadi lo beneran jadian sama Nadya?" Tanyaku langsung. Sepertinya apa yang dikatakan Nabila memang benar, hanya aku saja yang terlalu bodoh karena tidak percaya.
"Hah? Nggak, Je. Nggak kayak gitu." Abdee mencoba menggapaiku tapi lagi-lagi aku menghindari, membuatnya menatapku dengan frustasi.
"Itu juga 'kan buat lo menghindari gue beberapa hari ini?" Aku segera menghapus cepat air mata yang lancang keluar dari mataku. "Gue pikir lo lagi ada masalah, makanya butuh waktu dan menghindar dari gue. Tapi ternyata semua yang gue pikirin salah, Dee."
"Je, gue sama Nadya nggak—"
"Gue sama sekali nggak mau tahu tentang hubungan kalian berdua." Aku memberanikan diri menatapnya dengan tajam, membuat wajahnya sedikit pias. Hm...sepertinya itu mungkin hanya perasaanku saja, tidak mungkin dia setakut itu kan?
"Gue benci sama lo, Dee." Ucapku sambil memundurkan langkah lalu segera berlari pergi dari sana.
Aku mengabaikan Abdee yang mencoba mengerjarku, juga beberapa orang yang menatap kami penasaran. Entahlah, hatiku sudah terlanjur sakit mengetahui Abdee yang diam-diam pacaran dengan Nadya disaat hubungan kami justru merenggang.
Dan sepertinya setelah ini aku tidak akan bisa menatap Abdee dengan cara yang sama lagi.
Aku membencinya.
Aku benci dia yang tidak mau jujur tentang hubungannya dengan Nadya.
Dan aku juga benci pada diriku sendiri yang masih saja berharap padanya.