8 November 2015...
Dari perjalan pulang hingga motor Abdee berhenti di depan rumah, aku tidak bisa menyembunyikan senyum bahagiaku. Rasanya aku masih belum rela untuk pulang karena ingin menghabiskan waktu dengan Abdee. Tapi aku tidak bisa memaksakan hal itu ketika jam sudah menunjukan pukul 8 malam.
Aku pun segera turun dari motor Abdee, melepas helm dan memberikannya pada Abdee. "Makasih udah nganter gue pulang, dan makasih juga udah ngajak gue jalan-jalan, makan, terus--"
"Udah sana masuk. Nggak kelar kalo mau diomongin semua," ia mendorong bahuku pelan.
Aku berdecak. "Iya-iya! Nggak usah dorong gitu dong!"
Dari balik helm-nya, aku bisa melihat jika Abdee terkekeh. Hah! Bahkan dengan setengah wajahnya yang tertutup helm, Abdee masih saja membuatku terpesona. Sebenarnya dia pakai pelet apa sih sampai aku se-suka ini padanya?! Jangan-jangan dia pakai pelet ikan lagi.
"Kalo gitu gue masuk dulu ya. Bye," aku melambaikan tangan sebelum berbalik. Ketika menutup pagar rumah, aku tersenyum hangat padanya--yang dibalas dengan hal yang sama.
Dengan langkah ringan aku pun berjalan memasuki rumah. Setelah menutup pintu rumah, aku menyenderkan tubuhku di balik pinty, dengan senyuman yang masih menghiasi wajahku, rasanya aku ingin berteriak kencang agar orang-orang tahu seberapa bahagianya aku sekarang. "Ya ampun! Gue kenapa sih?!" gumamku sambil menutup wajahku dengan kedua tangan.
"Kamu kenapa?"
Aku pun segera menurunkan tanganku dari wajah dan tersenyum malu pada Mama yang berdiri di antara ruang tamu dan dapur. Mama terlihat mengernyit, mungkin heran melihat tingkahku tadi. "Eh, Mama? Sejak kapan Mama disitu?"
"Sejak kamu senyum-senyum sendiri karena abis dianter Abdee pulang," Mama menatapku jahil.
"Ng-nggak! Aku senyum bukan karena dianter pulang sama Abdee," elakku. Ya ampun, rasanya aku ingin menghilang saja karena malu.
"Cieee malu cieee," bukannya menyerah, Mama malah semakin gencar menggodaku.
"Ih Mama apaan sih!" tak tahan dengan godaan dari Mama, aku pun segera berlari ke kamar dan langsung menguncinya. Bahkan setelah di dalam kamarpun aku masih bisa mendengar suara tawa Mama diluar sana.
Mengabaikan tawa Mama, aku pun segera merebahkan tubuhku di kasur. Hah! Rasanya enak sekali untuk langsung tidur, tapi sayangnya aku harus berganti pakaian dulu. Dan sebelum berganti pakaian, aku lebih dulu mengecek ponselku.
Ternyata ada banyak notifikasi dari i********:, yaitu di foto yang baru aku unggah saat bersama Abdee tadi. Foto dengan latar belakang jembatan ampera. Di foto itu aku dan Abdee dibatasi oleh sebuah meja yang ada diantara kami. Aku tengah tersenyum sambil menutup wajah dengan tangan, sementara Abdee melirik kearahku dengan satu tangan bertopang dagu. Ada sekitar 100 lebih orang yang komen difoto itu, tapi rata-rata diantara mereka malah mengatakan tentang friendzone. Aish! Mendadak aku merasa kesal!
Baru saja aku hendak membalas komentar itu, tapi urung saat Abdee menelponku. Aku pun menutup aplikasi i********: dan menjawab panggilan dari Abdee itu.
"Halo, Dee?"
"Gue udah sampe rumah nih." ucapnya. Dan kemudian aku mendengar suara pintu tertutup. Sepertinya dia baru saja masuk kamar.
"Iya," jawabku pelan.
"Kenapa suara lo lesu gitu?"
Aku menggeleng, saat sadar jika Abdee tidak bisa melihatnya aku segera menjawab. "Nggak apa-apa. Cuma lagi capek aja,"
"Bukan karena komen diinstagram?"
Mataku seketika membelalak kaget. Astaga! Kenapa dia bisa tahu?!
"Lo baca komennya?"
"Iya, abis rame yang nge-tag gue."
"Maaf ya kalo komennya bikin lo terganggu. Nanti gue hapus aja fotonya, biar nggak rame."
"Nggak usah dihapus. Santai aja kali. Gue juga nggak masalah. Lagian kita 'kan nggak kejebak friendzone. Kita emang murni cuma sahabatan. Iyakan?"
Hatiku mendadak seperti diremas ketika lagi-lagi Abdee memperjelas hubungan kami. Sahabat....
Betapa aku membenci kata itu serakang.
"Iya, kita emang sahabatan." aku memaksakan sebuah tawa diujung kalimat, yang justru membuatku semakin sakit.
Kemudian aku mendengar Abdee menghela nafas. "Kalo gitu gue matiin ya? Gue mau tidur. Lo juga istirahat, jangan main hp!"
"Iya, nggak usah bawel deh." protesku. Kemudian dia tertawa.
"Oke. Night, Je. Nice dream."
"Hm. Lo juga, Dee."
Setelah itu panggilan terputus. Aku pun segera meletakan ponselku diatas meja lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setidaknya, mandi menjadi pilihan yang baik dari pada harus berbaring dikasur sambil memikirkan semua yang terjadi.
****
Setelah pementasan selesai, biasanya kami akan diberikan waktu libur selama 2 hari sebelum dievaluasi.
Selama dievaluasi, kami tidak boleh membantah apa yang diucapkan para anggota untuk masing-masing aktor. Bahkan ketika kata-kata yang diucapkan itu terdengar sedikit kasar dan kejam, kami diharuskan untuk menerima semuanya dengan lapang d**a.
Seperti yang diucapkan beberapa anggota padaku sekarang ini.
"Suara lo kurang kenceng pas dipanggung, bahkan ke tengah panggung pun nggak kedengeran." itu Reynald yang berbicara, salah satu anggota yang mulutnya terkenal tajam. Suka berbicara tanpa pikir panjang. "Padahal lo udah latihan vokal selama kita kumpul. Tapi lo nggak nerapin itu diatas panggung. Lo harusnya malu, karena kemarin kita ditonton sama beberapa teman dari teater lain."
Aku hanya bisa menunduk ketika Reynald berbicara. Ingin rasanya aku menjawab, tapi sayangnya hal itu tidak diizinkan, karena waktu evaluasi para aktor dilarang untuk memberikan alasan apa pun.
"Bahkan nih ya, ada satu orang yang bukan dari anggota teater pun dia ngeluh karena suara lo yang kayak tikus kejepit. Setelah bagian lo masuk ke panggung, tuh cewek yang duduk disebelah gue nggak lagi nonton pertunjukan lo. Dia lebih milih buat main hp dari pada liat akting lo."
Ya ampun. Apa sebegitu buruknya penampilanku kemarin? Aku pikir kemarin penampilanku sukses, tapi ternyata semuanya sangat jauh dari kata sukses. Masih banyak kesalahan yang perlu aku perbaiki.
"Udah, mungkin itu aja yang mau gue omongin buat Jihan. Semoga lo nggak sakit hati sama ucapan gue barusan." Reynald mengakhiri evaluasinya dengan senyuman.
"Ada lagi yang mau evuasi para aktornya?" tanya Kak Iyan. Kemudian aku melihat Abdee mengangkat tangannya.
"Oke, Abdee. Silakan,"
"Nah teman-teman, jadi disini gue bukan cuma mau evaluasi bagian aktor aja. Tapi gue bakal evaluasi untuk keseluruhan anggota, mulai dari bagian aktor sampai ke bagian kostum." Abdee menatap semua anggota. "Menurut gue pementasan kamerin udah lumayan. Cuma, memang ada beberapa yang kurang. Kayak misalnya suara aktor yang terlalu kecil," ia menatapku saat mengatakan itu. "Atau dari tata make up yang masih kurang keliatan bagi penonton paling atas. Dan juga dari bagian musik, yang kadang masih ketinggalan buat ngikutin move para aktor." dan ketika mengatakan ini, mata Abdee menatap ke arah Reynald.
"Jadi gue disini cuma mau bilang, jangan saling nyalahin satu sama lain. Kita ini kelompok, kalo satu melakukan kesalahan berarti semuanya ikut salah. Dan disini gue bukan mau ngebelain siapa-siapa. Gue cuma nggak suka, ada yang menyudutkan orang lain, padahal dia sendiri nggak sadar kalo dia juga ngelakuin kesalahan. Pokoknya harus saling sadar diri aja. Kalian inget kan kalo diteater kita ada 3 peraturan," Abdee mangangkat 3 jarinya. "Yang pertama sadar diri, yang kedua sadar ruang, dan yang ketiga sadar waktu." Abdee tersenyum. "Oke sekian evaluasi dari gue. Terima kasih,"
Diam-diam aku menunjukan jempolku ketika Abdee melirik ke arahku. Dan dia kemudian menundukan kepala. Tapi sebelum ia menundukan kepalanya, aku melihat dia tersenyum.
Ya Tuhan! Lagi-lagi aku melupakan fakta bahwa kami hanya sekadar sahabat.