“Ice Americano no sugar,” ujar Keilana pada penjaga coffe shop yang terletak di lantai satu mall tersebut.
“Tumben, biasanya pesan Ice Latte Caramel?” tanya penjaga coffe shop yang memakai pakaian seragamnya yang berwarna hitam.
“Iya dong Ice Latte Caramelnya satu, large ya,” ucap Keilana sambil tersenyum. Sebagai salah satu manager di mall tersebut tentu dia cukup dikenal, terlebih dia sangat ramah pada seluruh karyawan tanpa terkecuali. Dia bisa memaklumi kesalahan kecil yang para pegawai lakukan. Tanpa perlu menegurnya dengan keras, dia tak segan untuk turun langsung jika ada keluhan dari customer yang diakibatkan oleh pelayanan atau kesalah pahaman.
Itu sebabnya meski baru beberapa bulan memegang jabatan manager, dia sudah cukup dikenal.
Keilana membawa dua gelas kopi itu, sekarang jam istirahat makan siang, biasanya dia melihat Marsha yang mengantuk setelah makan siang, karenanya Marsha selalu memesan kopi, namun dia tak melihat gelas kopi americano di meja itu, hingga di dengan gerakan perlahan melewati meja Marsha dan meletakkan es itu, Marsha menoleh dan Keilana berpura tak melihatnya, lalu pergi ke mejanya secara diam-diam.
Tak ada yang melihat aksi mereka berdua, Marsha mengangkat gelas itu dan menoleh ke arah Keilana yang sudah mengangguk sambil mengacungkan gelas kopinya. Marsha mengucap terima kasih tanpa bersuara.
Sudah dua hari setelah pernyataan itu dan dia masih belum mendapat jawaban apa dia menginginkan Keilana menjadi friend with benefitnya atau bisa dibilang hubungan simbiosis mutualisme ala mereka berdua.
Marsha tak mau menjalin hubungan percintaan karena rasa traumanya, namun, dia penasaran dengan Keilana. Entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang beda dengan pria yang awalnya sangat dibencinya itu?
Pria itu tampak sangat polos, namun juga misterius di mata Marsha, katanya orang yang paling kencang tertawa adalah yang paling terluka dan sangat pandai menutupi luka. Namun, apakah itu benar? Dia menyesap es kopinya, tanpa gula seperti kesukaannya. Lalu dia menoleh ke arah Keilana yang tampak berbincang sambil tertawa dengan seorang karyawan laki-laki.
Sungguh, tawanya cukup menggelegar, namun tak memekakkan telinga. Dia tampak lega setelah pernyataan itu. Mungkin karena dia mulai mempercayai Marsha yang tidak akan membocorkan rahasianya.
“Mbak Marsha, yah kok sudah beli kopi? Baru mau aku ajakin,” gerutu Mitha yang duduk di sebelah Marsha, dia baru tiba dan mengempaskan b****g di kursi.
“Tinggal turun aja,” ujar Marsha singkat.
“Kan sekalian cuci mata, barang kali ada cowok cakep, ya meskipun satu cowok cakepnya ada di sini,” ujar Mitha yang terang-terangan menatap Keilana. Marsha hanya menggeleng pelan. Banyak yang menyukai Keilana, mengapa dia tak menemukan salah satu di antara wanita itu untuk menjadi FWBnya? Justru Marsha yang diminta menjadi FWBnya.
Prayoga memasuki ruangan tersebut, pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga semua karyawan menatapnya.
“MMK ikut saya,” ujarnya, semua mata menatapnya dengan pandangan bingung, lalu dia menunjuk dengan pulpen yang dia pegang.
“Marsha, Mitha, Keilana, memang apa yang kalian pikirkan dasar otak kotor!” gerutu Prayoga membuat para karyawan menahan tawanya. Keilana menghela napas panjang dan tertawa.
“Saya pikir bapak ngomong jorok,” ujar Keilana sambil menghampiri Prayoga yang tertawa.
“MMK itu enggak jorok, kecuali ditambah huruf vocal,” ujar Prayoga.
“Stop Pak, masih siang ini,” kekeh Keilana yang sudah paham lelucon pria berperut bunci itu. Marsha menoleh ke arah Mitha yang juga ikut mendengus, mereka mengangguk dan bangkit dari kursinya mengikuti ke mana arah Prayoga dan Keilana berjalan.
Di depan ruang Prayoga ada meja sekretisnya, wanita itu asik melakukan foto selfie dengan sengaja melepas kancing teratas kemejanya sehingga tampak payudaranya menyembul, dia juga mengangkat rambut dengan tangan sebelahnya.
“Desinta-Desinta, kamu nih bikin saya tinggi terus,” ujar Prayoga. Wanita bernama Desinta itu hanya terkekeh dan menutup ponselnya sambil sedikit membungkuk sengaja sekali menunjukkan bukit kembarnya lalu dia mengangkat wajah dan mengedipkan mata ke arah Keilana yang justru sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Mbak,” bisik Mitha sambil mengamit lengan Marsha, “besar t***t aku atau dia?” tanya Mitha membusungkan dadanya.
“Dia.”
“Ih, menghibur sedikit enggak apa-apa kali mbak,” decih Mitha membuat Marsha mengangkat bahunya acuh. Sesampai di ruang kerja Prayoga, mereka pun duduk di kursi menghadap meja pria itu. Prayoga mengeluarkan kertas seperti brosur yang baru saja dicetak.
“Ini?” tanya Keilana melihat brosur tersebut.
“Minggu depan ada festival Korea, ada artis dan juga dance, ini waktunya lantai dua meningkatkan penjualan. Kalau bisa semua staff memakai pakaian berbau dancer atau ala artis Korea, yang seksi gitu,” ujar Prayoga.
Mitha dan Marsha saling pandang dan mengangkat bahunya.
“Hanya pegawai di lantai dua kan pak? Officer enggak perlu?” tanya Marsha.
“Kalian juga harus turun membantu, pegawai kalian juga enggak akan menghandle jika pengunjung membludak,” ujar Prayoga. Marsha memutar bola matanya malas. Pakaian pendek? Ah dia tidak punya selain pakaian olah raga.
Mitha tersenyum lebar dan mengangguk, dia sudah biasa memakai pakaian kantor ala drama korea yang dia tonton kan? Rok pendek yang sering digunakannya jelas dia tak perlu membeli lagi.
“Ingat penampilan nomor satu,” ujar Prayoga.
“Baik, Pak.”
“Ingat Marsha janji kamu, ini kesempatan kamu menaikkan omset sepuluh persen,” ujar Prayoga. Marsha hanya mengangguk pelan lalu mereka bertiga dipersilakan keluar, namun Prayoga menahan Keilana untuk tetap bersamanya sehingga Marsha dan Mitha memutuskan untuk turun ke mall mencari baju yang bisa dikenakan Marsha nanti.
“Ya Pak?” tanya Keilana.
“Kamu belum ada calon istri Kei?” tanya Prayoga.
“Belum kepikiran untuk menikah, Pak,” ucap Keilana.
“Saya ada keponakan, cantik dan pasti kamu tertarik, masih muda, baru lulus kuliah nanti dia akan masuk kerja sini, kalau bisa kamu dekati dia.”
“Keponakan bapak?” tanya Keilana.
“Sebenarnya dia anak dari teman saya, salah satu pemilik saham di perusahaan ini, tapi kamu diam-diam saja, dia hanya ingin menjadi staff biasa, segera setelah wisudah dia ditempatkan menjadi bawahan kamu,” ujar Prayoga.
“Saya enggak janji, Pak. Saya juga enggak mudah tertarik sama wanita,” ucap Keilana tak enak hati.
“Ya kamu coba jajaki saja dulu siapa tahu kalian cocok,” kekeh Prayoga. Keilana hanya tersenyum sopan dan pamit pada pria itu. Dia pun melewati meja sekretaris Prayoga yang tampak duduk dengan gelisah hingga Keilana menghentikan langkah dan berdiri di hadapan Desinta.
“Kamu kenapa?” tanya Keilana. Desinta tampak berkeringat, dia menggigit bibir bawahnya.
“Euhm, ini Mas,” ujar Desinta segera memutar lehernya lalu dia berpindah gaya duduk.
“Kenapa? Kamu sakit?” tanya Keilana. Desinta menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya.
“Sshhhhh enak,” ujarnya memejamkan mata beberapa detik. Keilana tak mengerti apa yang terjadi hingga melihat mata wanita itu mendelik diikuti kakinya yang mengejang. Keilana bisa menghirup aroma tak asing dari tubuh Desinta.
“Hadeh Desinta,” ujar Keilana. Wanita itu hanya terkekeh dan mengeluarkan sesuatu dari kursinya. Benda aneh yang tampak basah.
“Di toilet kan bisa Des,” ujar Keilana.
“Mas, enggak mau coba sama aku?” tanya Desinta menggoda.
“Enggak, terima kasih, bye,” kekeh Keilana membuat Desinta mendengus, sia-sia menggoda Keilana dan menunggu pria itu keluar hingga dia larut dalam permainannya sendiri.
“DESINTA!! DESINTA,” panggil Prayoga. Desinta meletakkan alat kecil yang bisa bergetar dengan remote itu di dalam laci kerjanya dan merapikan roknya. Lalu dia berjalan ke arah ruangan Prayoga.
“Kamu habis ngapain, ngos-ngosan gitu?” tanya Prayoga. Desinta hanya tersenyum kecil.
“Sini,” ujar Prayoga. Desinta lagi-lagi tersenyum sensual dan menutup pintu ruangan kerja atasannya itu.
***
“Pakai baju apa ya, Mith?” tanya Marsha mengelilingi toko pakaian di lantai satu.
“Rok ini bagus Mbak, lagi trend,” ujar Mitha menunjukkan rok pendek dengan motif sulur dan tampak mengembang di bagian bawahnya.
“Ih terlalu terbuka, kalau aku membungkuk pasti kelihatan,” ujar Marsha.
“Kan pakai celana pendek, Mbak,” ucap Mitha.
“Lagi pak Prayoga memang otaknya m***m terus atau bagaimana sih? Masa kita juga disuruh pakai pakaian pendek?”
“Ya kan biar kompak, Mbak. Lagi pula dandan cantik sedikit enggak apa-apa kok Mbak, untuk event itu,” ujar Mitha.
“Ya sudah, ini bajunya yang mana nih?” ujar Marsha tak mau beradu argumen dengan rekan kerjanya. Mitha berjalan riang menuju rak yang menunjukkan kemeja fit body dia mengambil yang sangat pas dikenakan oleh Marsha seolah baju berwarna biru langit itu memang dibuat khusus untuknya.
Marsha membayar pakaian itu dan membawa belanjaan ke ruang kerjanya. Keilana sudah duduk di meja kerjanya memperhatikan Marsha lekat, lalu dia kembali menekuri komputernya.
Sebelum pulang kerja, Marsha singgah ke stand kosmetik binaannya, dia melihat peralatan make up hingga dihampiri salah satu pegawainya.
“Mbak Marsha,” sapanya.
“Hai, ini keluaran terbaru?” tanya Marsha.
“Iya Mbak, sepaket sama shade blush on dan eyeshadow, Mbak mau?” tanya pegawai itu.
“Kok enggak dipajang di depan?” tanya Marsha. Pegawai itu menunduk dan mengeratkan jari-jemarinya.
“Hmmm brand itu lagi?” tanya Marsha, wanita itu mengangguk. Meski satu outlet, namun terkadang SPG antar brand sering bersaing. Marsha pun menghampiri salah satu brand yang selalu memajang barangnya di etalase terdepan.
Pegawai dari brand itu menghampiri Marsha dan tersenyum lebar.
“Mbak Marsha,” sapanya. Marsha hanya bergumam dan menatap produk yang dipamerkan itu.
“Kayaknya sudah lebih dari sebulan barang ini di etalase terdepan?” tanya Marsha.
“I-iya Mbak,” jawabnya tak enak hati.
“Mulai besok gantian ya dengan brand itu, ada shade terbaru. Dan cari info promosi karena minggu depan kita akan berjuang bersama,” ujar Marsha dengan wajahnya yang datar. Tak ada senyum lebar atau wajah berbinar.
“Mbak memang benar minggu depan ada event K-pop?” tanya pegawai itu yang kemudian membuat Marsha dihampiri pegawai lain dari outlet tersebut. Malam ini tak terlalu ramai pengunjung mungkin karena masih hari kerja.
“Ya, mungkin besok info resminya direlease, karena itu aku mau minta kerja sama dari teman-teman, tanya ke supplier kalian tentang barang yang promo dan minta cetak banner yang banyak dan besar, kalau bisa minta sampling produk ya, kita harus tingkatkan penjualan,” ujar Marsha.
“Siap Mbak Marsha,” ujar para pegawai itu kompak. Marsha mengangguk dan kembali menghampiri karyawan tadi.
“Satu set ya,” ucap Marsha, karyawan yang menjual produk terbaru itu dengan cekatan mengambilkan barang yang Marsha inginkan, men-tap id card-nya agar Marsha mendapat potongan harga.
Marsha membawa barang itu keluar dari outlet, setelah menyapa dan menginstruksikan semua outlet binaannya baru lah dia turun ke basement mengambil mobilnya, tampak Keilana juga baru turun dan menghampiri mobil yang diparkir di samping mobil Marsha.
“Malam,” sapa Keilana. Marsha hanya mengangguk.
“Tentang yang waktu itu,” ujar Keilana.
“Aku belum siap, nanti aku hubungi,” ucap Marsha. Keilana hanya tersenyum lembut dan mengangguk. Sebenarnya dia mau mengurungkan permintaannya mengingat tak mau ada kecanggungan dengan Marsha. Namun, ucapan Marsha justru membuatnya urung.
“BTW, Thanks kopinya,” ucap Marsha.
“Besok aku belikan lagi ya,” ujar Keilana.
“Jangan terlalu mencolok, bye,” ucap Marsha. Keilana tersenyum lebar dan mengangguk, mempersilakan Marsha pergi lebih dulu.
Mengapa dia semakin merasa tertarik pada Marsha? Apakah memang hormon kelaki-lakiannya bangkit jika melihat wanita yang tampak susah ditaklukan? Dia bersumpah akan menaklukan wanita itu, meski pelan namun dia yakin dengan gebrakannya nanti.
***