1. Es Krim
Hari itu, Marsha Pramnesty tak menyangka akan melihat sesuatu yang bisa mengubah hidupnya yang sangat kelam.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ketika wanita berusia tiga puluh tahunan itu melangkah menuju ruang kantor yang berada di lantai teratas mall besar di ibu kota. Sudah tiga tahun belakangan ini dia menjabat sebagai senior officer atau bisa juga disebut head section bahkan asisten manager untuk divisi kecantikan dan fashion lantai dua mall itu. Karena suatu pekerjaan, dia yang seharusnya sudah pulang tiga jam lalu pun kembali ke ruang kerjanya setelah melakukan pengecekan di lantai dua.
Para pegawai mall mungkin saat ini tengah bersiap untuk menutup outlet mereka, karena jam operasional Mall yang sebentar lagi akan berakhir. Langkah kakinya tergesa membawa berkas di tangan, karena dia memakai sandal karet mungkin langkah itu tak terdengar orang lain.
Dia membuka pintu ruang kerjanya yang berisi kubikel-kubikel, meletakkan berkas itu di meja sebelum memasukkan laptop dalam tas kerjanya, dia harus menyelesaikannya di rumah, karena besok akan kembali masuk kerja. Namun dia melihat scarf sampel di meja.
“Ah harus dikembalikan ke gudang wardrobe,” desahnya pelan. Dia memasukkan scraf berwarna putih itu ke dalam kotaknya. Lalu berjalan menuju gudang wardrobe yang letaknya tak jauh dari pintu lift. Biarlah sekalian dia pulang, pikirnya.
Menatap ruang kerjanya dari kejauhan membuat dia menghela napas panjang. Dia sudah bekerja keras selama delapan tahun terakhir di kantor ini, memang gaji yang dia dapatkan pun cukup banyak terlebih dia sering mendapat bonus karena penjualannya lantai dua yang meningkat di beberapa musim. Namun, dia sangat sedih karena hal yang harus dia dapatkan, seharusnya tahun ini dia menjadi manager untuk lantai dua yang itu artinya dia menjadi atasan mencakup keseluruhan outlet di lantai dua tak hanya di bidang skincare dan fashion saja.
Beberapa bulan lalu, dengan sangat mengejutkan general manager memperkenalkan pria yang akan menjadi manager menggantikan manager sebelumnya yang pensiun. Marsha dan teman kerja lainnya berpikir dia yang akan menempati jabatan itu setelah psikotest dan berbagai test yang dijalani. Namun secara tiba-tiba ada pengganti yang datangnya dari ruang sebelah. Seorang pria berusia tiga puluh dua tahun.
Marsha memang terkenal dingin dan jutek, tapi dia sangat handal pada pekerjaannya. Dia selalu mengenakan celana panjang dan kemeja kerja yang membuatnya tampak kaku padahal dia cukup cantik. Hanya saja dia tak mau terlihat mudah diintimidasi.
Berbeda dengan Marsha, pria bernama Keilana Bragaswara itu terkenal sangat ramah dan baik hati, bisa dibilang dia adalah malaikat di ruangan itu, dia selalu membantu karyawan yang kesulitan, otaknya cukup encer dan dalam mengemukakan pendapat dia selalu menggunakan bahasa yang baik dan enak didengar. General manager, atau pria tua yang biasa dijuluki pak Botak bernama asli Prayoga itu sangat menyukainya. Namun, di mata Marsha, Keilana tak lebih sebagai seorang penjilat dan dia sangat tidak menyukainya.
Marsha membuka pintu wardrobe dengan perlahan, lampunya masih menyala dia pikir staff terakhir lupa mematikannya, di ruangan itu terdapat banyak manekin dan sampel produk yang akan dilakukan pemotretan, telinganya samar mendengar suara desahan seorang wanita, dengan perlahan dia pun berjalan memasuki tempat itu.
Tak ada rasa takut sedikit pun, baginya hidupnya jauh lebih menyeramkan dibanding apa pun juga. Suara desahan itu pelan, sangat pelan namun begitu intens. Lalu dia menemukan sosok pria yang duduk di tengah ruangan menatap layar tablet sepuluh incinya. Marsha bisa melihat jelas adegan dalam layar yang menampilkan video berlatar biru itu. Sementara tangan sebelahnya memegang es krim cone dan menjilatnya dengan cara yang aneh, bahkan es krim itu berceceran ke bagian luar bibir dan sampai ke pipi dan dagunya.
Marsha yang memang terkenal sulit tersenyum itu hanya menatapnya dingin, lalu berjalan ke arah salah satu meja dengan santai untuk meletakkan kotak itu. Dia membalik tubuhnya, “silakan lanjutkan aktifitasnya,” ucapnya santai. Lalu dia menutup pintu dan berjalan cepat. Sebaiknya dia pulang lewat tangga dari pada harus menunggu lift. Masih terdengar suara pintu terbuka dari arah belakang dan dia mempercepat langkahnya.
Apa yang harus dia lakukan? Astaga? Mengapa dia harus melihat hal yang menurutnya sangat aneh seperti tadi!
Marsha bukan gadis suci, di usianya yang tiga puluh tahun ini dia bahkan pernah mengalami kejadian yang membuatnya sangat hancur. Dia pernah mengandung dan kehilangan janinnya di usianya yang dua puluh tahun. Ya dia berpacaran dan melakukan aktifitas plus yang seharusnya belum boleh dilakukan dengan kekasihnya yang saat itu merupakan teman satu kampusnya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, setidaknya itu lah pribahasa yang menggambarkan situasinya. Ketika dia mengatakan pada Ivander, kekasihnya. Pria itu langsung kabur dan tak mau bertanggung jawab. Begitu pula saat dia memberi tahu keluarga Ivander, keluarga konglomerat itu mengusirnya dengan melemparkan tumpukan uang untuk Marsha agar menggugurkan kandungannya.
Marsha pergi dengan harga diri yang terluka, tak diambil satu lembar pun uang itu. Dia mengendarai sepeda motor matic bututnya yang dikirim dari kampung halaman. Pikirannya kacau dan dengan sengaja dia menabrakkan diri di mobil yang melintas, dia pikir dia mati! Tetapi tidak, bukan dia yang meninggal melainkan janin dalam kandungannya. Kakinya patah sehingga harus menjalani operasi dan selama sebulan dia tak bisa berjalan dengan normal.
Apakah keluarga Ivander datang menjenguk? Tidak! Ivander justru pindah kuliah ke luar negeri. Di tahun yang sama, ibu Marsha, orang tua satu-satunya meninggal dunia membuat dunia Marsha yang semula terang menjadi gelap, sosoknya yang ceria berubah menjadi sosok menyeramkan. Menjadi pribadi yang ambisius adalah satu cara untuk menenangkan dirinya.
Dia kuliah sambil bekerja setelah itu, dia mendapatkan cukup banyak uang dari hasil mengerjakan tugas-tugas mahasiswa lain, menjadi joki atau guru les bagi pelajar SMP dan SMA. Apapun dia lakukan demi bisa membayar biaya kuliahnya, dia bekerja dan belajar tak kenal waktu, menjadi mahasiswi dengan predikat cumlaude membuatnya ditarik bekerja di mall Olimpus ini dengan gaji yang cukup besar, hingga kini dia memiliki kendaraan pribadi dan juga satu unit apartmen.
Pengalaman kelam itu mengajarkan Marsha untuk tidak terjebak dengan pesona laki-laki lain lagi meski banyak yang mencoba mendekatinya, namun tingkah judesnya membuat para pria mundur teratur. Dia bahkan tak pernah kepikiran untuk menikah? Dia menilai bahwa dirinya mampu membeli apa pun yang dia inginkan, lalu untuk apa dia menikah jika hanya akan membawanya pada kesengsaraan?
Marsha mengendarai mobilnya sampai ke apartmen, dia segera masuk kamar mandi, mengguyur tubuh indahnya dengan kran shower yang menumpahkan air hangat. Rasanya relaks, ketika dia memejamkan mata dia mengingat lagi apa yang dilihatnya. Gila! Mengapa dia harus menonton video itu di gudang? Dan mengapa cara makan es krim dia sangat aneh? Apa yang sebenarnya dia pikirkan saat itu?
Marsha menggeleng, biarlah mungkin dia memiliki fantasi aneh. Itu adalah urusan pribadinya dan dia tak mau ikut campur!
Hingga pada keesokan harinya dia bertemu dengan Keilana, yang menjadi atasannya. Kecanggungan melingkupinya. Keilana terlihat sangat menyesal, namun dia tak bisa berkata apa-apa. Di tangannya sudah ada surat pengunduran diri, mungkin dia akan mengundurkan diri jika memang apa yang dia lakukan itu ternyata terdengar oleh para karyawan lain! Atau sebaiknya dia mengundurkan diri sekarang saja sebelum semuanya tahu apa yang dilihat Marsha semalam?
***