Event yang dinantikan pun tiba, mall itu menjadi tempat yang sangat ramai, terutama di lantai satu, di mana terdapat stage untuk artis dan juga para dancer menunjukkan bakat mereka.
Keamanan dijaga ketat oleh body guard dari talent tersebut, Marsha dan Mitha tetap standby di lantai 2 dengan memakai penutup kepala khusus yang disediakan untuk para karyawan mall tersebut demi bisa membedakan dengan para pengunjung.
“Mbak ramai banget,” ujar Mitha memegang lengan baju Marsha. Padahal lengan baju panjang itu sangat press seperti yang dia sarankan. Marsha tampak risih dengan rok pendeknya, meskipun lebih banyak pengunjung wanita, tetap saja kan dia tak nyaman. Sering dia menarik roknya agar lebih panjang, padahal upaya itu tak menghasilkan apa-apa, ukuran rok takkan bertambah panjang.
“Sssstt itu ada yang masuk stand,” tunjuk Marsha pada rombongan yang masuk ke outlet binaannya. Mitha pun meninggalkan Marsha seorang diri.
Seorang anak kecil berusia empat tahun tampak ingin menangis dan memegang rok Marsha hingga wanita itu berjongkok.
“Hai adik kecil kenapa?” tanya Marsha.
“Cari oma,” ucapnya menahan tangis.
“Oma? Duh anak ini tersasar sepertinya,” tukas Marsha hingga dia memegang tangan anak itu dan berdiri, baru saja dia akan membawa anak itu ke pusat informasi, secara tiba-tiba seorang wanita dengan kasar menarik tangan anak itu dari genggaman tangannya. Marsha membeku menatap wanita yang pernah dikenalnya. Dulu! Sangat lama sekali. Seorang yang saangat Marsha tidak sukai.
Wanita yang melemparkannya setumpuk uang untuk menggugurkan kandungannya. Dia menatap Marsha dengan pandangan menelisik dan bibir mengerucut, matanya tampak tajam dan sedetik kemudian berubah menjadi berekspresi jijik.
“Kamu jadi SPG sekarang? Wajar sih, perempuan murahan kayak kamu enggak akan bisa bekerja di kantoran,” ujarnya sinis. Marsha menatap ke sekeliling, beberapa orang sudah memperhatikan mereka, terlebih Marsha memakai atribut mall sehingga orang-orang tahu bahwa dia karyawan di tempat itu.
“Jangan pernah merendahkan pekerjaan seseorang, SPG atau pun bukan itu adalah pilihan saya,” ujar Marsha.
“Halah miskin aja sombong! Kenapa? Gagal ya masuk jadi menantu keluarga saya, malu kan sudah jadi w************n tapi enggak dinikahi?” ucapnya menusuk hati Marsha. Tangan Marsha bergetar, dia selalu teringat dengan kejadian sepuluh tahun silam itu yang membuat seluruh dunianya berubah menjadi kelam.
Marsha pada akhirnya hanya mengepalkan tangannya dan pergi dari tempat itu, masih terdengar sedikit cemohan wanita itu yang Marsha abaikan.
Padatnya orang yang datang membuatnya tampak kesulitan berjalan, dia bahkan merasa tak bisa bernapas dengan benar, bibirnya pucat dan keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya.
Hingga dia menyadari ada seorang yang menarik tangannya, dia menatap pria yang memakai vest itu. Keilana!
Keilana mengajak Marsha melewati tangga khusus staff menuju kantor mereka, dia pun menghela Marsha duduk di kursi kerjanya.
Diambilkan air hangat untuk wanita itu. Marsha yang masih tampak shock itu memegang gelas tersebut dengan kedua tangannya. Mulai samar terdengar suara tangisan bayi di telinganya, sangat jauh rasanya.
“Minum, Sha,” ucap Keilana. Marsha pun tersadar dari lamunan, diteguk air hangat itu, cukup hangat untuk perutnya yang kosong karena dia belum makan dari pagi.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Keilana sambil menyandarkan bokongnya di meja kerja Marsha. Marsha mengangguk sedikit, lalu menggeleng tanpa menatap wajah Keilana.
“Enggak bisa dibilang baik-baik saja,” ujar Marsha tanpa mau bercerita lebih lanjut. Bahkan dia sangat jarang bercerita pada Adeva jika terkadang dia masih ke-trigger dengan kejadian di masa lalu itu.
Wajah wanita itu masih sama, pakaian yang dikenakannya tampak mahal, namun sikapnya masih sinis dan memandangnya rendah.
Apakah salah jika dia berasal dari desa? Apakah salah jika dia berasal dari keluarga miskin? Lalu siapa anak kecil itu? Apakah itu anak mantan kekasihnya? Bahagia sekali dia dengan kehidupannya yang baik-baik saja setelah menghancurkan kehidupan Marsha sampai kini.
Pertanyaan itu terus mengalir di otak Marsha, dia bahkan tak mendengar Keilana yang terus memanggil namanya, hingga Keilana membungkuk, memegang dagu Marsha dan mengangkat wajah itu lalu mengecup bibirnya. Marsha bisa merasakan lembutnya bibir itu berada di atas bibirnya.
Dia menatap wajah Keilana yang berada tepat di depan matanya, bulu mata panjang itu terpejam menikmati ciumannya. Marsha memejamkan mata, tanpa tangis, tanpa air mata, dibalas lumatan itu.
Tangan Keilana terulur, mengambil gelas dari tangan Marsha dan memindahkan ke meja. Sementara bibir mereka masih berpagutan, Keilana menuntun Masha untuk berdiri tanpa melepas ciuman mereka.
Hingga Marsha berdiri dan memeluk leher Keilana, tubuh mereka kian menempel. Keilana bisa merasakan benda kenyal itu menyentuh dadanya, dipeluk lembut pinggang ramping Marsha.
Tangannya terulur mengusap paha wanita itu, mengapa dia memakai celana yang sangat pendek? Dan tipis seperti menyatu dengan kulit.
Marsha merasa hasratnya bangkit, hasrat yang sudah sepuluh tahun ditidurkan paksa. Tak pernah dia merasa b*******h dengan apa pun juga, bahkan dia merasa hubungan seksual hanya akan merugikannya, dibangun tembok tinggi di dalam hatinya untuk tidak terjatuh ke pelukan laki-laki lain lagi.
Mungkin tembok itu mulai runtuh karena pertemuannya yang mengejutkan dengan ibu dari mantan kekasihnya, hingga dia membiarkan gelombang dahsyat itu masuk ke dalam tubuhnya dan mengalir di setiap darahnya kini.
Ciuman Keilana sangat lembut, namun memabukkan. Marsha bisa merasakan ciuman yang lembut itu berubah menjadi lumatan yang panas, jemarinya tak tinggal diam, terus membelai pahanya di bawah sana, sementara satu tangannya menarik pinggang Marsha agar kian dekat.
Lenguhan keluar dari bibir Marsha, ketika jemari itu mulai membelai tempat bermuara dari titik penyatuan dari arah luar masih terhalang pakaian. Namun, ketika jemari itu berusaha menurunkan celana Marsha, membuat wanita itu tampak tersadar dan melepas ciuman mereka.
“Mas,” panggil Marsha dengan suara yang serak. Keilana menatap matanya lekat. Tak ada yang berubah dari posisi mereka kecuali ciuman mereka yang terlepas.
“Jangan di sini,” ucap Marsha.
“Kita sewa hotel ya,” tutur Keilana dengan suara beratnya yang serak, sepertinya dia pun menahan hasratnya yang menggelora. Marsha menggeleng.
“Kita masih harus bekerja seharian ini,” ucapnya meletakkan tangan di kedua bahu Keilana. Keilana menarik tangannya dari paha Marsha dan memeluk pinggang wanita itu.
“Terus kapan?” tanya Keilana dengan wajah sedih.
“Pulang kerja, apartmenku saja,” ucap Marsha.
Keilana tersenyum lembut dan mengusap pipi Marsha, “apa itu artinya kita resmi menjadi FWB?” tanyanya dengan mata berbinar. Marsha mengangguk dan senyum Keilana kian lebar. Dikecup lagi bibir itu beberapa kali. Sebelum dia melepas pelukannya.
“Terima kasih,” ucap Keilana. Marsha menjauh kan diri ketika mendengar suara langkah kaki seseorang lalu diikuti panggilan menyebut namanya. Marsha tahu itu suara Mitha.
“Mbak Marsha, kamu di sini?” tanya Mitha.
Keilana segera menuju meja kerjanya, Marsha pun duduk di mejanya dan mengeluarkan buku agenda.
“Mith, iya aku di sini,” sahut Marsha, ditatap kaca di mejanya. Gawat, lipstiknya berantakan. Dia pun merapikan dengan tissue, dia menoleh pada Keilana dan memberi kode untuk melihat bibirnya. Beruntung Keilana masih sempat membersihkan bibirnya yang terkena lipstik Marsha sebelum Mitha masuk ruang kerja itu.
“Kok pada kerja di sini?” rutuk Mitha yang mengempaskan bokongnya di kursi samping Marsha.
“Ada tugas dadakan, kenapa naik?” tanya Marsha.
“Artisnya sudah pergi, acara selanjutnya dance makin ramai di bawah tapi enggak seramai tadi,” tukas Mitha.
“Oh, ya sudah istirahat dulu saja. Aku turun ya, karena standku pasti ramai banget,” ungkap Marsha.
“Iya skincare lagi diserbu,”tutur Mitha sambil bersandar malas.
“Ayo aku bantu,” ucap Keilana bangkit dari kursinya, meninggalkan Mitha sendirian yang terbengong! Sebenarnya karyawan lain pun masuk, namun mereka ada di bawah di lantai tanggung jawab masing-masing.
Marsha menatap punggung Keilana yang jalan lebih dulu, pria itu dapat dengan mudah mengusir resahnya, hanya dengan ciumannya saja sudah membuat Marsha lebih tenang. Padahal tadi dia pikir dia akan terserang gangguan panik yang berakhir dalam waktu lama. Namun, hanya beberapa detik setelah ciumannya, Marsha sudah merasa tenang dan nyaman dalam pelukannya.
Apakah boleh jika Marsha mengambil manfaat juga dari dirinya? Sudah lama dia tak merasakan ketenangan dalam ciuman seperti tadi. Mungkin ... ini salah satu cara agar dia terbebas dari kutukan masa lalunya.
***
Marsha meninggalkan mobilnya di parkiran Mall, dia pulang bersama Keilana yang singgah ke apartmennya. Mereka sudah membeli makanan untuk makan malam.
Keilana mengedarkan pandangan ke sekitar apartmen Marsha, tempatnya sangat nyaman untuk dihuni seorang diri. Rapih dan bersih. Dia pun duduk di sofa panjang, sementara jendela ke arah balkon di buka lebar, membiarkan angin malam yang menyegarkan itu masuk. Lantai hunian Marsha termasuk yang paling tinggi.
Marsha membawakan air minum untuk Keilana, lalu pria itu mengucap terima kasih sambil meneguk minumannya.
“Aku, mandi dulu,” ucap Marsha. Keilana langsung memegang tangannya dan menggeleng. Dia membelai jari Marsha sehingga wanita itu tampak sedikit terkejut dengan sengatan kecil, seperti ada daya listrik yang dihantarkan.
“Aku lebih suka aroma tubuh alami,” ucap Keilana.
“Maksudnya?” tanya Marsha.
Keilana pun berdiri dan mengajak Marsha duduk di sofa. Wanita itu duduk dengan kaki terbuka lebar. Keilana melepas vestnya dan membungkuk, menangkup dagu Marsha dan mengecup bibirnya lembut. Jemarinya mulai lincah mencari kancing kemeja wanita itu dan membuka satu persatu, lalu dia mengecup cuping telinga Marsha.
“Kamu harum, aku suka,” ucapnya sebelum mulai ke main course yang dia inginkan, yang bisa membuat Marsha menggila dan tak mau berhenti!
***