Sahabat Selamanya

1147 Words
“Wah, mereka keterlaluan! Kalau saja ada yang melakukan itu saat kau bersamaku, aku akan membalasnya.” “Tak perlu, biarlah mereka berkembang dengan buruk. Kita tak perlu menjadi seperti mereka.” “Hoho, jiwamu bagus sekali, tapi aku yakin kau selalu tertekan.” Amanda tersenyum tipis. Ucapannya benar, selalu tersudutkan dan tertekan. Stuart mengajaknya bertemu dengan teman-temannya. Amanda menghentikan langkahnya. Stuart baru menyadari Amanda tidak mengikutinya setelah 4 langkah lebih dulu darinya. Stuart berbalik. “Ada apa?” “Aku mau ke kantin.” “Sekarang?” Stuart bingung. “Ya, sekarang.” “Oke. Nanti kita ketemu lagi di kelas selanjutnya.” Amanda mengangguk, Stuart melambai ringan lalu berlari mendekati teman-temannya. Amanda lebih memilih pergi untuk menghindari pertanyaan terkait masalah matanya. Dia mengambil kacamata yang dibelikan ayahnya lalu menukar kacamata berlensa bening yang saat ini sedang digunakannya. Lensa gelap membuatnya lebih percaya diri. warna abu muda mengaburkan pandangan secara langsung. Amanda menuju ke kantin untuk membeli sesuatu. Dia lapar sekali karena sarapannya sedikit tadi. Setelah Amanda membeli roti dan minuman, dia duduk di meja kosong. Mengeluarkan ponsel dari tasnya, memeriksa pesan masuk. Ternyata ada dari Rea. Bagaimana harimu, Cantik? -Rea Maaf lama balas, aku tadi lagi ada kelas. Hari pertamaku lumayan bagus tahun ini. -Amanda Amanda membalas pesannya. Tidak berapa lama datang balasan dari Rea lagi. Wah, aku tunggu ceritamu di kafeku. Semoga harimu menyenangkan! -Rea Terima kasih! -Amanda Amanda tersenyum sambil menikmati roti isi dan cappucino lattenya. Sore harinya. Amanda kembali dari kampus. Tempat pertama yang didatanginya adalah kafe milik Rea. Dia masuk lalu mencari tempat duduk biasanya di dekat meja bar. Amanda melihat ada orang yang sudah menempatinya lebih dulu. Amanda memilih tempat lain dan segera duduk. Rea masih sibuk mengantar makanan, tapi wanita itu telah melihat kedatangan Amanda. Beberapa menit kemudian Rea menghampirinya lalu duduk. “Fiuh, sangat lelah hari ini,” sapanya. “Apa kafemu ramai?” “Ya, lumayan.” “Syukurlah.” Amanda tersenyum. “Kau cantik hari ini, apa temanmu seorang pria?” tanyanya. Amanda menarik tubuhnya ke belakang karena sejak tadi dia mencondongkan diri ke depan. Rea tertawa melihatnya sikapnya yang kaget. “Bagaimana kau tau aku bertemu pria?” “Haha, aku lebih berpengalaman. Ketika kau bertemu pria, secara tak langsung kau akan berpenampilan baik.” Amanda tertawa kecil. “Tidak mungkin. Dia bukan tipeku.” “Aahh, gitu rupanya, tapi kalian berteman kan?” “Ya, benar.” Rea mengangguk lambat. “Pesan apa?” “Aku mau spaghetti lada hitam.” “Oke, aku akan buatkan untukmu.” Rea langsung berdiri dan menghampiri tamu yang baru saja datang. Amanda terkejut melihat seorang wanita yang ada di depannya. Dia adalah anak yang ditolongnya di tangga. “Kau?” wanita itu menunjuk ke arah Amanda lalu menghampirinya. Rea melihat ke meja mereka dan tersenyum singkat. “Hai!” sapa Amanda. “Kita ketemu lagi, makasih ya tadi pagi sudah menolongku.” “Ya, tidak masalah.” “Kenalkan namaku Leia,” katanya tanpa menawarkan jabat tangan, tapi senyumannya melebar. Amanda membalasnya singkat. “Amanda,” sapanya balik. “Kau tinggal di dekat sini?” tanya Leia. “Ya, beberapa blok dari sini.” “Aaah, aku tinggal di sana!” tunjuk Leia ke arah rumah putih bertingkat 2 yang bisa dilihatnya dari arah cafe. Amanda mengangguk dan tersenyum. “Maafkan kondisi mataku jika kau merasa kurang nyaman,” katanya. “Tidak masalah, apa kekurangan menjadikan kita jahat? Belum tentu, bisa saja kau adalah orang baik,” kata Leia. Amanda tertawa ringan. “Kebanyakan mereka yang punya kelebihan malah jadi jahat.” “Hmm, mereka itu manusia setengah jin,” sahutnya tertawa. Amanda bertemu lagi dengan orang yang bisa menerima kekurangannya. Sangat baik untuk mendorong semangat hatinya yang sedang belajar bangkit dari keterpurukan. Leia dan Amanda berteman akrab setelah itu. Meski tadinya Amanda menarik diri, tapi Leia memastikan bahwa dia menyukai Amanda. Mereka harus berteman layaknya orang normal. Jika bisa menjadi sahabat, mengapa tidak? Walau mereka beda jurusan, wanita itu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke fakultas seni demi menemui Amanda. Amanda juga mengenalkan Leia pada Stuart. Mereka pun bisa berbaur dengan aman hari ini dan di hari selanjutnya. Kehadiran Leia dan Stuart bisa memberi pandangan serta sisi berbeda untuk Amanda dalam menjalani hidup. Seperti sekarang, mereka bertiga sedang jalan ke kota. Menemani Amanda mencari alat musik untuk tugas seni mereka bulan depan. Leia melihat sebuah selebaran yang menempel di dinding. Wanita itu mengambilnya, lalu menunjukkannya pada Amanda. “Amanda!” panggilnya dari belakang. Amanda dan Stuart menoleh. “Ada apa?” tanya gadis si pemilik nama itu. “Bukankah kau pintar bermain piano?” Leia menunjukkan selebaran tadi. Stuart dan Amanda membacanya. Leia ingin agar Amanda mengikuti perlombaan itu. “Tidak, aku tidak percaya diri,” sahut Amanda menggeleng. “Ayo lah! Kau bisa coba dulu. Aku pernah dengar kau bermain piano sekali di ruangan musik,” rayu Leia. “Kapan?” Amanda tidak tahu itu. “Kemarin, waktu aku ke kantin tidak sengaja mendengar suara piano. Aku penasaran dan mencari sumbernya, sempat kaget juga, ternyata nada indah itu berasal dari jarimu.” Amanda tersenyum. Stuart tercengang. “Serius kau pandai main piano?” tanyanya. “Tapi, aku tidak percaya diri.” “Ayo lah! Kau pasti bisa,” pujuk Leia. Stuart mengangkat tangan Amanda ke atas. “Katakan ‘Ya’! pintanya bersemangat. “Haha, jangan, aku masih malu.” “Kenapa kau malu?” tanya Stuart. “Karena kondisiku, aku tidak mau mereka memenangkanku karena kasihan.” Leia memutar kepalanya dan mengerang kesal. “Berhenti bicara tentang kekurangan! Kau itu luar biasa, Amanda!” wanita itu memberinya semangat. “Aku akan memikirkannya.” “Oke!” Leia dan Stuart merasa senang mendengarnya. Mereka sebagai teman hanya bisa mendukung perkembangan dan minatnya. Dalam perjalanan ke toko buku mereka melihat seorang gadis berlarian, kalang kabut menghindari sesuatu. Mereka berhenti, mengikuti arahnya berlari dan menerobos tubuh Amanda yang berdiri tepat di tengah. Amanda terjatuh. Wanita itu spontan minta maaf, tapi tidak bisa berhenti sebab dua pria di belakang mengejarnya. Stuart punya ide, matanya dan mata Leia saling bertautan. Memikirkan sesuatu yang sama. Kaki mereka menghalangi jalannya pria bertubuh kekar itu dan membuatnya terjatuh. Stuart segera membawa Amanda pergi. Leia minta agar mereka lari lebih dulu, padahal dua pria tadi berbalik mengejar mereka, tapi Leia tidak takut. Ketika Stuart dan Amanda belok ke kiri, Leia melambatkan langkahnya. Dia balik badan kemudian melihat ke arah mereka dengan sinis. Matanya mendelik, iris cokelatnya berubah menjadi hitam dan sangat pekat. “Eh, Leia mana?” tanya Amanda yang baru menyadari kalau temannya ketinggalan. “Lho, iya, mana dia? Astaga! Apa dia berhasil ditangkap sama dua pria itu?” Stuart khawatir. Dia minta agar Amanda tetap di sana sementara pria itu menyusul Leia kembali. Stuart mencari temannya ke lokasi tadi, tetapi tidak ketemu. “Leia!” jeritnya. “Lei-“ saat Stuart ingin menjerit kedua kalinya, wanita itu muncul dari balik lorong kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD