Gosip Heboh

1150 Words
Ningsih menghubungi Winda berkali-kali, tapi ia tidak menjawabnya, pesan pun tidak dibalas. Rasanya sangat aneh gadis itu tidak menggubris pesan dan telepon Ningsih sejak semalam. Dia tidak pernah berbuat begitu sebelumnya, kadang kalau ada kesibukan Winda pasti memberitahu. Hingga satu pekan keanehan itu terus terjadi. Ningsih merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Ia mengunjungi rumah Winda juga dia tidak berada di rumahnya. Rasanya kalau sekarang punya ilmu Halimun pasti sangat membantu sebab bisa mengetahui keberadaan Winda dan apa masalahnya. Ningsih akhirnya memutuskan menemui Winda di Pustu sekaligus membawakan keripik untuk dititip di sana. "Assalamu'alaikum, Bidan, lagi sepi nih," sapa Ningsih dengan senyum termanisnya. Bidan Anggi membalas senyumnya. "Wa'alaikumsalam, iya tumben ini sepi. Kamu bawa keripik, taruh sini aja biar aku makan." Bidan Anggi menghentikan aktifitasnya berganti dengan nyemil keripik. "Winda ke mana?" Ningsih mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan, tapi tidak ditemukannya sahabatnya. "Tidur di dalam, katanya capek." Ningsih menuju ke kamar, pintunya tertutup. Ia mengetuk perlahan, namun tidak ada jawaban, sekali lagi ia mengetuk barulah Winda membuka pintu. Ningsih terkejut mendapati Winda tampak sedih, matanya sembab, terlihat jelas ia menangis dalam waktu lama, sama seperti dirinya. "Kamu kenapa, Win? Ada masalah?" Ningsih masuk ke dalam dan langsung bertanya. Dengan enggan gadis itu menjawab, "aku lagi nggak pingin diganggu, kamu keluar deh." Winda juga tidak menatap Ningsih, ia justru membuang wajahnya. "Win, kalo ada masalah ceritalah, aku udah nggak sedih kok tentang Mas Danu yang nggak jadi pulang, jadi kamu bisa bebas cerita apa aja ke aku." Ningsih berusaha meraih bahu Winda, tapi gadis itu menepisnya. "Kalau kamu nggak mau keluar, biar aku yang keluar," ujarnya dingin membuat Ningsih terdiam termangu. Winda Dengan tergesa keluar meninggalkan Ningsih sendirian. Terdengar ia pamit pulang pada bidan Anggi, lalu suara motor di-starter dan digas dengan kencang. Ningsih keluar dari kamar dengan ekspresi keheranan, tidak mengerti sama sekali dengan perubahan sikap Winda yang drastis. "Apa Bu Bidan tau Winda ada masalah apa?" Ningsih kembali duduk di depan bidan itu. "Nggak, Ning, dia nggak pernah cerita apa pun, bukannya kamu teman dekatnya?" "Iya, tapi dia aneh banget. Ya udah deh, aku pulang dulu." Ningsih meninggalkan Pustu dengan perasaan campur aduk, bingung dan sedih dengan perubahan sikap sahabat karibnya. *** Pagi itu Ningsih turut bergabung dengan ibu-ibu yang mendapat jadwal piket membersihkan balai desa dan masjid. Di desa itu, jadwal kebersihan diberikan bergilir perkelompok berdasarkan RT, satu RT dibagi menjadi tiga atau empat kelompok sesuai dengan jumlah penduduknya. Ningsih baru saja menurunkan sapu bersiap membersihkan halaman masjid ketika didengarnya bisik-bisik keras geng tukang gosip yang diketuai bu Tati. "Iya, saya juga tidak menyangka Ningsih bisa berbuat begitu. Tapi kan memang dia cantik Bagas juga tampan, cocoklah mereka." Bu Tati sambil menyapu sambil bercerocos. "Iya, kasian juga dia suaminya sudah lama tidak pulang, kalau aku juga lebih milih cari yang baru, yang fresh." Bu Siska terkikik geli. "Percuma jilbabnya, Bu, sok shalihah tapi ternyata sama saja dengan yang tidak berjilbab. Mana jilbabnya panjang, aku kira dia tidak tertarik sama yang begituan." Bu Amel menimpali. "Sama saja, Bu, dapat orang tampan siapa yang tidak mau. Ibarat kucing di sodori ikan pasti langsung diembat." Bu Tati menukas lebih heboh. "Hush, hush! itu dia susah datang!" Bu Amel menunjuk dengan dagunya ke arah Ningsih. Mereka seketika terdiam, hanya pandangan mata mereka yang masih bercakap-cakap meneruskan obrolan mulut yang terhenti. "Ibu-ibu ngomongin apaan, sih?" Ningsih pura-pura tidak mendengar obrolan mereka demi mendapat kepastian pendengaran. "Apa sih, nggak ngomong apa-apa kok. Itu, Diah anaknya sakit lagi, kasian kan dia." Bu Tati menjawab dengan gaya yang dramatis dan mengalihkan ke orang lain. "Iya, Ning. Oya, suami kamu nggak jadi pulang terus sih, kalau aku mending cari yang baru saja, kan banyak yang suka sama kamu, Pak Lurah, Bagas, siapa lagi, Bu?" Bu Amel memanasi sambil mengarahkan pandangannya pada Bu Siska meminta dukungan. "Nggak boleh lho ngomong begitu, Bu, kalau aku terpengaruh ibu dapat dosanya juga lho." Ningsih menanggapi dengan senyum masam. "Ah, kamu, Ning, bicara dosa terus. Lagian Bagas itu tampan, kaya, terpelajar, biar nggak sembunyi-sembunyi juga nggak apa-apa, sudah dimaklumi," ujar Bu Tati semakin terus terang. Telinga Ningsih mulai panas, ingin rasanya ia tabok satu-satu mulut ibu-ibu tukang gosip itu. "Astaghfirullah, udah deh, aku pindah ke sana saja," gerutu Ningsih lalu berpindah ke kumpulan ibu-ibu lainnya. Di sana tidak terlalu banyak obrolan, tapi dengan kedatangannya menimbulkan pandangan berbeda dari ibu-ibu di sana. Mereka menatapnya dengan pandangan menghakimi, seolah telah melakukan perbuatan nista dan tidak layak bersama mereka. "Ning, sudah mau puasa lho, kok malah kamu ganjen begitu, kamu kan sudah punya suami masa menggoda Bagas?" Bu Tinah lebih dulu menanyainya karena iba melihatnya sendirian tidak ada yang mengajaknya bicara. "Apaan sih, Bu. Aku nggak ngerti, siapa yang menggoda Kang Bagas? Ibu juga tahu aku tidak dekat dengan laki-laki, masa aku berani goda Kang Bagas?" Ningsih keheranan sebab topik pembicaraan para ibu itu selalu mengarah pada hubungannya dengan Bagas, padahal dia tidak merasa memiliki hubungan spesial dengan pemuda itu, apalagi sampai menggodanya, berkali-kali Ningsih ber-istighfar dalam hati. "Apa kamu tidak tau, sudah tersebar gosip itu di kampung kita, kamu nggak bisa sembunyi lagi. Kalau memang tidak ada hubungan apa-apa, kenapa kamu dekat sama dia?" Bu Tinah menginterogasi. "Ya Allah, Bu, berani sumpah, aku tidak pernah melakukan apa-apa sama Kang Bagas. Aku ini masih waras, masih ingat kalau punya suami, nggak mungkin bangetlah aku selingkuh." Percakapan dengan Bu Tinah menjadikan Ningsih tersadar bahwa kedekatannya dengan Bagas beberapa waktu lalu benar-benar menimbulkan fitnah. Padahal itu hanya sekadar bertemu dan bertegur sapa sebentar dan sudah menimbulkan berita heboh menggemparkan. Bagaimana jadinya kalau sampai Ningsih berlama-lama dengan pemuda itu? Ningsih pulang ke rumah dengan langkah lunglai, badannya terasa sangat lelah padahal pekerjaan hanya sedikit, kepalanya terasa berat. Omongan ibu-ibu tadi membuat hatinya sakit, kehormatan dan harga diri yang selama ini ia jaga harus terkoyak dengan gosip murahan itu. Ningsih membaringkan tubuhnya di kasur, menyalakan kipas angin, lalu kembali mengingat ucapan para ibu yang masih terngiang di telinganya. Sekarang ia tidak punya tempat menumpahkan curahan hatinya. Winda juga menjauhinya, apa karena ini dia jadi marah? Ningsih tidak bisa berpikir lagi, otaknya terasa penuh dan panas. Seperti mesin yang terlalu banyak beban lama-lama menjadi panas, butuh istirahat sejenak untuk menstabilkan dan mendinginkannya. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... masih setia membaca hingga part ini... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF n****+ online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF n****+ ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD