Ketahuan

1136 Words
"Assalamu'alaikum." Terdengar seseorang mengucapkan salam, seorang pria. Ningsih mengerutkan keningnya, ia mengenal suara itu, suara Bagas. "Aduh, kenapa sih dia ke sini malam-malam," gerutu Ningsih, ia bimbang antara membuka pintu atau tetap diam saja. "Assalamu'alaikum, Mbak Ningsih di rumah? aku bawa sesuatu." Dan ucapan itu akhirnya membuat Ningsih melangkah membuka pintu. "Wa'alaikumsalam." Perlahan pintu dibuka, Ningsih tidak mempersilakan masuk, tapi dia yang keluar menemui tamunya. "Ada apa, Kang?" "Ini, aku baru pulang dari kota, ada sedikit oleh-oleh, mudah-mudahan bisa menghibur kamu." Bagas menyodorkan sebuah tas kertas yang sangat cantik, entah apa isinya. Ningsih menatap tas itu, belum menerimanya. Gosip yang baru saja menyebar cukup membuatnya tidak berani mengambil tindakan lebih jauh lagi. Ia memutuskan untuk mengatakannya pada Bagas. Ia mengatur napas, menetralkan jantungnya yang berdegup kencang. "Kang, terima kasih atas semua motivasi dan hiburan Kang Bagas, tapi aku sudah tidak butuh lagi. Juga...." "Nah, nah, cieee, romantis banget ini pas malam Minggu ada yang diapelin." Tiba-tiba saja serombongan ibu-ibu tukang gosip sudan berdiri di depan pagar rumah Ningsih dan berseru dengan heboh memotong ucapan Ningsih. "Iya nggak apa-apa Danu nggak pulang, kan sudah ada Bagas yang nemenin. Ih, Ningsih, kamu memang beruntung banget jadi orang!" Bu Siska berseru dengan gaya menjengkelkan. Bagas menatap para ibu itu, tapi dia tidak bergeming, juga tidak mengatakan apa pun, hanya wajahnya yang menunjukkan keterkejutan. Melihat pemuda itu hanya diam saja tidak membela diri, Ningsih justru geram, ia menatap tajam pada Bagas. "Kang Bagas liat itu? Sekarang kita jadi gosip! tolong Kang Bagas tidak usah sok perhatian lagi ya, aku tidak nyaman. Bisikan setan itu kuat, Kang, permisi!" Ningsih masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan keras. Ia terduduk di balik pintu, kembali meneteskan air mata. "Ya, pemeran perempuannya masuk ke dalam. Yuk ah, sudah nggak seru lagi." Masih terdengar omongan para ibu tukang gosip sebelum meninggalkan halaman rumah Ningsih. *** Bagas masih terdiam mematung di depan pintu rumah Ningsih dengan tas cantik di tangannya. Dia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Sebenarnya dia tidak pernah mempermasalahkan omongan orang, dia tipikal orang yang tidak memusingkan apa pun yang orang bicarakan tentang dirinya. Sebelum pergi ia menggantungkan tas itu di gagang pintu, lalu beranjak meninggalkan rumah Ningsih. Diperjalanan pulang ia kembali bertemu dengan ibu-ibu yang tadi berkerumun memergoki dirinya. "Eh, Bagas, kamu itu kenapa menggoda istri orang? Masih banyak yang jomblo di desa ini." Bu Tati segera mengambil kesempatan menjadi wartawan dadakan. Bagas tersenyum, seolah tidak ada yang salah dengan tindakannya. "Memangnya kenapa? Nggak boleh?" Bu Tati segera menyikut Bu Siska di sebelahnya. "Ya ampun, Bu Siska, jadi benar kan dia suka sama Ningsih?" Yang lain segera mengangguk-angguk sambil menutup mulut dengan tangan agar tidak terlihat ternganga. "Bu, tidak usah ikut campur urusan orang ya, mendingan ibu-ibu sibuk urus suami ibu di rumah, jangan-jangan malah suami ibu yang selingkuh lho. Nggak usah menguntiti aku, aku tau apa yang terbaik untuk diriku sendiri." Bagas segera berlalu dari hadapan ibu-ibu yang masih bengong mendengar ucapannya. Mereka tidak menyangka mendapat jawaban telak seperti itu. "Dasar ibu-ibu tukang gosip, tidak bisa liat yang aneh-aneh sedikit. Yang begini ini yang bikin orang menderita, terkena depresi dan gangguan psikosomatis," Bagas menggerutu sambil melenggang pulang ke rumahnya. Ia tidak terpengaruhi dengan gosip itu, justru kesal karena diuntit seperti maling yang hendak mencuri. *** Ningsih meraih ponselnya, segera menghubungi suaminya. Dua kali ditelepon Danu belum mengangkatnya, setelah ketiga kalinya barulah telepon itu tersambung. "Assalamu'alaikum, sayang, bagaimana kabarnya?" suara lembut dan tenang Danu membuat Ningsih rasanya tidak sanggup mengatakan kenyataan yang ia alami. "Wa'alaikumsalam, Mas. Mas lagi sibuk?" "Nggak, Dik. Kamu kenapa suaranya seperti habis nangis gitu? Masih sedih ya Mas nggak jadi pulang?" "Bukan itu, Mas. Sebenarnya...." Ningsih ragu untuk melanjutkan ucapannya, terdengar Daru berdehem sebagai tanda antusias mendengarkan. " Sebenarnya di desa lagi ada gosip besar, Mas. Orang-orang gosipin aku dekat sama Kang Bagas. Padahal aku tidak pernah dekat sama dia, nggak tau dari mana mereka dapat bahan untuk gosip begitu." Ningsih kembali terisak. Sesaat hening, belum ada jawaban dari Danu, hanya deru napas yang terdengar gemerisik ditelepon. "Ning, maafin Mas nggak bisa jagain kamu ya. Pasti berat buat kamu menanggung semuanya. Mas cuma bisa berpesa agar kamu tetap kuat, tetap jaga diri, tetap jadi Ningsih yang buat Mas bangga. Selama gosip itu tidak benar, kamu tidak usah pedulikan, tetap fokus memperbaiki diri dan mengembangkan bisnis kamu." "Satu lagi, Mas." Ningsih mulai mengeluarkan suara manjanya, artinya hatinya sudah lebih tenang setelah mendengar nasihat suaminya. "Hem, ada lagi?" "Winda sekarang ngejauhin aku, nggak tau kenapa tiba-tiba dia berubah, kayak benci banget sama aku, Mas. Jadi sekarang aku sendirian, nggak punya teman, nggak punya tempat berbagi. Mas, rasanya aku sudah mau jatuh berkali-kali." Ningsih mulai bercerosos, kebiasaannya ketika menelepon yang tidak pernah berubah. "Kok bisa? Ya udah, kalau pun semua orang ninggalin kamu, ada Allah tempat mengadu, kan? Manusia memang nggak bisa diharapkan sepenuhnya, suatu saat dia pasti ninggalin kita. Kalau sedih atau ada masalah mengadu sama Yang Kuasa, ya? Mas yakin, istri Mas yang paling cantik pasti kuat dan bisa lewatin semuanya. Dan Mas selalu percaya sama kamu, jadi nggak usah sedih lagi, oke sayang?" Hati Ningsih terasa lega, bagai disiram air hujan setelah puluhan tahun kemarau. Satu-satunya yang membuatnya kuat adalah dukungan dan keperluan dari Danu. Meskipun dia tidak pernah pulang tapi nasihatnya selalu datang, perhatiannya selalu terlimpahkan. Ia bahkan tidak seujungkuku pun menaruh kecurigaan macam-macam pada suaminya itu. Setelah berbagi rasa dan melepas kerinduan ditelepon, akhirnya obrolan di telepon diakhiri. Ningsih merasa lega, ia kembali bersemangat, tidak mau pusing lagi dengan gosip murahan itu, juga tidak mau ambil pusing dengan sikap Winda. Ia hanya akan menanyakannya sebatas hubungan dekatnya selama ini, karena bagaimana pun mereka sudah seperti saudara, lalu kenapa Winda tiba-tiba berubah drastis begitu? Ningsih berjalan keluar kamar, melihat-lihat bisnis yang sedang dijalankannya. Keripik di dalam tong besar harus segera dikemas, tanaman hidroponik sudah beberapa hari terbengkalai. Ia duduk menatap tanamannya di bawah sinar bulan, merasa sedih karena Winda dan gosip itu membuatnya tidak lagi fokus mengurus tanamannya. Kerasnya kehidupan terkadang membuat lalai dari apa yang seharusnya menjadi tugas utama. Mimpi besar terkadang harus terkubur karena menuruti omongan orang. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... masih setia membaca hingga part ini... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF n****+ online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF n****+ ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD