Gala sudah mulai berbaur dengan teman-temannya. Mereka terlihat gemoy sekali mengikuti arahan sang guru. Beberapa ada yang masih belum bisa berpisah dengan ibunya. Ada yang juga menangis karena ketakutan dan lebih banyak juga yang seperti Gala yang mandiri seperti tidak ingat kalau ada aku di sini.
Kalau situasinya begini, besok aku tidak perlu lagi ikut ke sini kan? Rasanya aneh saja gitu daritadi menjadi pusat perhatian para ibu-ibu TK sejak kedatanganku ke sini.
Sedang asik memperhatikan Gala menyebut nama-nama binatang yang diperagakan oleh gurunya, aku tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan buk Rita yang cantik itu. Beliau duduk di sampingku sambil menyunggingkan senyumannya.
“Mereka itu lagi ngomongin kamu. Kenapa istri barunya pak Aiman bisa semuda ini.”
Sepertinya ibu Rita adalah tipe wanita yang suka berterus-terang. Entah dia kawan atau lawan, sebaiknya aku harus hati-hati dengan sikapnya itu.
“Hehe yah namanya juga jodoh.”
Buk Rita kembali tersenyum. Kemudian ia menceritakan dirinya sendiri tanpa kuminta. Satu hal yang kupelajari dari orang seperti ini. Biasanya mereka adalah orang yang selalu diabaikan. Tidak didengarkan ataupun penyendiri. Mereka cenderung akan bicara lebih dulu untuk mendapatkan perhatian.
“Itu anak pertama saya. Sudah sepuluh tahun penantian akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi anak.”
Aku bersimpati. Ternyata memang banyak orang seperti beliau. Di kampung ku juga ada satu dan yang lainnya. Berbanding terbalik sekali dengan orang yang suka berhubungan di luar nikah yang bisa mendapatkan anak dengan mudahnya tapi mereka malah menelantarkannya.
Miris. Di kampung ku juga ada yang seperti itu. Makannya bapak melarangku berpacaran selama masih sekolah. Alhasil aku diledek Aiman seperti tadi pagi. Jomblo sejak lahir.
“Cantik anaknya. Biarpun bukan anak kandung, tapi kalau dilihat mirip papanya.”
Buk Rita terkekeh. Aku mengikuti arah pandangannya yang sepertinya tengah sibuk memperhatikan putri kecilnya bermain bersama Gala.
Eh sejak kapan mereka akrab?
“Ternyata kamu jeli juga. Iya meskipun anak adopsi, secara biologisnya dia anak suami saya kok.”
Aku mengerutkan dahi bingung. Konspirasi apa lagi ini?
“Maksud ibu?”
“Dia anak selingkuhan suami saya. Waktu itu saya ancam perempuan itu karena telah berani selingkuh dengan mas Herman. Ternyata dia hamil dan mas Herman nggak tahu. Jadi saya bayar perempuan itu untuk melahirkan Tania dan saya besarkan sampai sekarang.”
Aku menelan ludah setelah mendengar plot twist kehidupan nyata dari seorang istri polisi satu ini. Tidak kusangka ada kejadian seperti itu dan beliau terlihat tenang dan licik.
Wah bahaya nih. Belum apa-apa kehidupan para abdi negara ini sudah terlihat pelik.
“Tapi ibu hebat. Secara tak langsung ibu menunjukkan kasih sayang yang besar pada anak-anak. Ibu mungkin kesal dengan perbuatan suami dan ibu kandung anak itu, tapi ibu berbesar hati untuk membesarkannya. Itu artinya ibu orang yang baik.”
Buk Rita terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, aku harap ia tak sedang berencana untuk melenyapkan ku karena sudah bicara yang bukan-bukan.
“Ini pertama kalinya ada orang yang memuji saya seperti itu. Orang lain akan bilang kalau aku wanita bodoh dan kejam. Tapi kamu punya pemikiran yang berbeda, Mela.”
Aku terperenyak. Tidak menyangka mendengar respon yang seperti itu dari beliau. Akupun hanya bisa tersenyum kikuk sambil melihat tanganku ditepuk-tepuk dengan lembut oleh beliau. Buk Rita juga menceritakan banyak lagi kisahnya yang tanpa kami sadari obrolan ini lebih seru daripada mengamati anak-anak beraktifitas.
Waktu pun berlalu begitu cepat. Seluruh murid TK Ramah Tamah pun mulai bersiap untuk pulang. Gala keluar dengan wajah berseri-seri, begitu pula dengan Tania yang sedang menghampiri maminya itu.
“Jangan lupa lusa ikut pelatihan yah. Kamu bisa belajar banyak untuk jadi ibu bhayangkari.”
Aku meringis. Entah aku bisa atau tidak melakukan peran ini. Bisa-bisa tugasku malah jadi lebih banyak dan bertambah.
“Iya. Nanti saya tanya suami dulu boleh ikut atau enggak.”
“Pasti Aiman setuju. Apalagi kalau saya yang ajak. Oke Mela selamat jadi pengantin baru yah. Kamu juga hebat karena semuda ini menerima sosok Gala yang bukan anak kandung kamu juga.”
Kata-katanya menyentuh hati. Walaupun sebenarnya ada udang dibalik batu makna dari pernikahan kami ini.
“Amiin terima kasih.”
Kami pun berpamitan. Setelah ini mungkin akan jarang bertemu karena waktuku untuk kuliah segera dekat.
Setelah menunggu beberapa menit, Aiman datang menaiki sebuah motor matic jenis nmax. Ia lantas memberikanku helm begitu pula dengan Gala. Aku terperangah dengan penampilannya. Seingatku tadi pagi motor ini belum ada di rumahnya tapi kenapa sekarang mendadak muncul?
Kuperhatikan juga tak terdapat plat nomor kendaraan, apa ini motor baru?
“Motor baru?”
“Iya. Buat kamu anter jemput terus kuliah juga,” jawabnya enteng.
“Aku kan nggak minta —“
“Jadi kamu maunya mobil? Atau jalan kaki?”
Pertanyaan yang membagongkan. Tadi malam dia memberiku dua kartu Atm-nya. Sekarang membelikanku motor. Apa ini semacam sogokan?
“Kamu nggak udah repot-repot. Tugas aku kan cuma jagain Gala. Aku nggak minta hadiah atau apapun.”
“Tapi secara tertulis kamu itu istri aku. Seorang suami wajib untuk memberi fasilitas dan nafkah yang nyaman untuk istrinya. Terlepas satu hari nanti kita akan berpisah.”
Mendengar penuturan Aiman itu membuatku tertegun. Apa memang semudah itu untuk menikah dan berpisah. Sepertinya aku telah melakukan dosa besar dengan mempermainkan pernikahan. Semoga saja aku tidak terkena azab seperti yang sering ibu tonton di rumah.
“Kok malah bengong? Ayo naik. Katanya mau ke kampus.”
Aku akhirnya menaiki motor baru itu dengan pikiran kosong. Aku masih memikirkan apakah aku pantas menerima semua ini.
“Nggak mau pegangan?”
Aku meliriknya sinis.
“Jangan ambil kesempatan ya om.”
“Masih aja manggil om. Kalau kamu susah buat manggil suamiku, ganti aja pake nama,” sungutnya.
Aku membuat gestur memukul di atas kepalanya. Untungnya dia tidak melihat hal itu.
“Abang aja lebih familiar.”
“Aku orang Jawa, panggil mas.”
“Ini kenapa kita debat soal panggilan sih?”
“Soalnya besok kamu mau saya bawa ke acara penting.”
Sontak aku langsung mencondongkan wajahku ke depan untuk mendengar ucapannya. Maklum, karena pakai helm dan terkena angin, aku jadi tak bisa mendengar jelas ucapannya.
“Tadi bilang apa?”
“Ajak kamu ke acara penting.”
“Acara apalagi?” protesku.
Aiman terkekeh sambil membelokkan stang motornya menuju ke gang rumah. Kalau dilihat dengan teliti, memang rumah dan sekolah Gala hanya melewati satu tikungan saja. Akupun bisa langsung hapal luar kepala dengan jalanan ini.
“Pelantikan di mabes. Kamu harus hadir karena kan statusnya sekarang aku sudah beristri lagi.”
Aku spontan menggetarkan bibirku karena malas. Lagi-lagi acara kumpul-kumpul yang sejak dulu aku tuh paling anti untuk ikutan dan sekarang malah akan sering aku datangi.
Apa yang paling kuhindari malah bakal sering muncul. Ini membuatku gugup untuk berbaur.
‘”Nggak bakal lama kan?”
“Tergantung. Pokoknya besok pagi bangun awal terus ke salon buat dandan.”
“Kayak ibu-ibu bhayang tadi?”
Aiman terkekeh mendengar protesku. Yang benar saja! Dia sepertinya memang senang aku menderita.
“Iya. Kamu kan juga ibu-ibu bhayang sekarang.”
“Ihhh!”
Motor berhenti di depan rumah. Aku masih merengut dengan penawaran yang Aiman katakan tadi.
“Jangan merengut. Beneran ini tuh acaranya cuma sebentar.”
“Yakin?”
“Iya. Jadi deal yah.”
Selang beberapa saat lewat tukang es krim keliling. Gala menarik tanganku sambil menunjuk-nunjuk arah mang es krim.
“Mau es krim?”
“Jangan nyogok.”
“Nyenengin anak sama istri kok dibilang nyogok sih?” tawanya.
Kayaknya om Aiman ini sudah terlalu mendalami peran. Sejak tadi pagi dia terus bilang soal istri istri dan istri.
Yah secara resmi aku memang istrinya. Tapi di belakang itu kan tidak.
Dua bungkus es krim diberikan padaku. Aku mengambil rasa cokelat sedangkan Gala dengan rasa vanilla.
“Nanti jadi belanja kan?”
Aiman tiba-tiba datang mendekat lalu menyentuh sudut bibirku. Sesaat, aku jadi mematung karena salah fokus dengan bibirnya karena tubuhku yang hanya sebatas dagunya itu. Sekarang apalagi aksinya? Aku refleks mundur saat ia semakin mendekat.
“Belepotan.”
Waktu seketika seperti berhenti berputar. Dan oh! Kenapa jantungku jedag jedug?