Jangan Panggil Mama

1642 Words
Ternyata begini lah keseharian seorang ibu-ibu. Bangun lebih awal untuk melakukan pekerjaan rumah. Dulu sebelum menikah, aku biasanya bangun subuh dan bantu ibu ke pasar untuk jualan. Selebihnya ibu akan mengerjakan semuanya hingga siang hari. Sekarang, aku melakukan pekerjaan yang biasa ibu lakukan di rumah. Memasak, mencuci, menyiapkan sarapan, beberes rumah besar yang yah sebenarnya tidak terlalu kotor karena sudah dibersihkan oleh tukang cleaning service. Karena ini hari perdanaku tinggal di rumah orang, maka aku menyiapkan sarapan dengan bahan seadanya yang ada di kulkas. Setelah pulang dari kampus nanti katanya Aiman akan mengantarkan ku ke supermarket untuk belanja keperluan rumah. Jadi sementara, nasi goreng inilah yang kusiapkan untuk keluarga ini. “Ngapain Mel?” “Buat sarapan pak bos —“ Aku menoleh setelah mendengar suara Aiman yang khas pria dewasa bangun tidur. Mataku langsung auto focus dengan celana tidurnya yang entah terbuat dari bahan apa hingga mencetak jelas bagian tengah tubuhnya itu. Kulihat, benda pusakanya itu terbangun. Spontan, akupun tutup mata. “Kamu ngapain sih berdiri di situ? Mandi sana!” teriakku. “Kamu kenapa tutup mata? Malu sama tubuh suami sendiri?” ejeknya. Aku menodongkan spatula untuk mengusirnya dari dapur yang sempit ini. Maklum saja. Ini rumah kompleks ukuran yang tidak begitu luas. Jadi dapurnya lurus seperti lorong dan hanya menyisakan setengah meter untuk orang berlalu lalang. Tentu saja kurang luas bahkan sekedar untuk membuat kuda-kuda silat kalau-kalau om sompret ini melakukan sesuatu. “Ih..bukan yang itu! Tapi yang itu tuh,” tunjukku masih dengan menutup sedikit mataku. “Oh ini. Biasa lah, namanya juga hidup. Pasti dia butuh bangun.” Aiman tertawa, aku meringis karena jijik. “Jangan ngaco yah. Kamu juga kenapa buka baju? Bukannya tadi malam masih pakai kaos? Sengaja mau pamer roti sobek?” “Saya sering keringetan. Biarpun udah pake AC. Kamu kenapa sih Mel, kayak nggak pernah liat roti sobek aja.” Aiman duduk di meja makan sambil menyomot kerupuk yang baru saja kugoreng. “Pernah liat tapi masih enakan liat punya Kim Taehyung.” “Siapa tuh?” “Idol K-Pop. Ah om polisi mana tahu begitu-begitu,” sindirku. Aiman terkekeh, “Itu haram buat dilihat. Kalau yang ini halal loh. Kamu juga boleh pegang-pegang atau raba-raba. Nggak akan saya laporin sebagai pelecehan.” Aiman cengengesan lagi, aku yang kesal mendengarnya. Kulayangkan spatula yang kupegang ke arahnya, tapi nggak jadi karena ada makhluk astral lainnya yang juga tak mengenakan baju muncul di dapur. Siapa lagi kalau bukan Raka Rajaksa! “Tuh kan ada lagi!” pekikku. “Raka!” “A-apa om?” kagetnya. “Pake baju!” “Om sendiri nggak pake —“ Aiman langsung menyeret Raka keluar dari dapur dengan sebelah tangannya. Raka melambaikan tangan minta ampun karena tercekik lengan Aiman yang kekar. Gila sih. Kalau dipiting begitu bisa mati anak orang. Pagi-pagi sudah banyak sekali kejadian absurd di rumah ini. Pukul tujuh pagi, waktunya bangunin Gala untuk berangkat ke TK perdanannya. Bocah itu sudah selesai mandi sendiri dengan rambut basah bau khas sampo anak-anak. Aku membantunya untuk berpakaian agar cepat ke dapur untuk sarapan. “Mama balik badan dulu,” ocehnya. Aku mengeryit sekaligus masih risih dengan sebutan yang baru saja dia ucapkan tadi. “Panggil kakak aja yah, jangan mama.” “Kenapa? Kan kak Mela udah jadi mama Gala,” tanyanya bingung. Bagaimana yah menjelaskannya? Kalau aku bilang bahwa aku hanya mama sementara, nanti rahasia kami akan terbongkar. Tapi mendengarnya menyebut namaku seperti itu, rasanya juga belum terbiasa di telingaku. “Yah karena kakak belum terbiasa. Nanti kalau kakak udah siap baru panggil sebutan itu yah.” Gala mengangguk sambil mengenakan kaos putih dalamannya. “Oke ma!” Heh! Ternyata memang susah yah ngomong sama anak kecil. “Tadi kenapa disuruh balik badan?” “Gala malu karena mau pakai celana. Kata papa nggak boleh ditunjukkin ke orang.” Dia bilang nggak boleh ditunjukkin tapi Gala malah menunjuknya. Aku nyaris ingin tertawa tapi kuhargai keputusannya itu. Malah bagus karena masih sekecil itu Gala sudah tahu bagian tubuh mana yang tidak boleh dilihat orang lain dan mengerti arti rasa malu. Ternyata biarpun sibuk, Aiman tetap menjadi mentor anaknya dengan baik. “Udah.” Aku berbalik dan melihatnya sudah mengenakan sempat kecilnya. Kini aku tinggal membantunya mengenakan seragam kuning biru sebagai seragam resmi TKnya. “Good. Kita sarapan dulu baru berangkat.” Gala mengangguk sambil kusisir rambutnya dengan rapi. Kemudian kami beranjak ke meja makan yang di sana sudah ada Raka dengan Aiman yang sepertinya tengah membicarakan sesuatu dengan serius. Raka ternyata masih merengut karena habis dipiting oleh omnya sendiri. “Sekolah Gala dekat dari sini. Ada motor matic buat kamu anter jemput dia terus ke kampus juga. Tapi hari ini aku yang anterin kalian berdua.” “Kapan beli motornya? Ciee buat istri mah gercep yah,” ledek Raka. Gantian, aku yang meliriknya tajam. “Berisik!” jawab kami kompak. Raka semakin menjadi-jadi, “Cie kompak!” Tak lama Raka keselek sendiri karena daritadi terus tertawa. “Kamu kalau udah nggak males mending balik ke kos sana. Mau berduaan aja jadi susah karena ada kamu,”oceh Aiman yang nggak jelas. Gantian aku yang meliriknya tajam. “Iya...iya. Tapi sebelum balik, cerita dikit dong ketemunya gimana bisa langsung nikah. Kali aja ilmunya bisa aku pake buat dapetin cewek —“ “Masih jomblo?” “Iya nih tan. Ntar bantu cariin yah.” “Mela aja jomblo dari lahir. Baru laku sekarang,” ledeknya. “Idih, hampir laku. Tapi keburu ada om-om gila yang ngajak kawin,” tukasku tak mau kalah. Raka cuma nyengir di kursinya sambil mendengarkan kami berdebat. “Sama cowok waktu itu? Kalau kamu lihat Ka...kamu pasti lebih milih om daripada calon pacarnya Mela,” ujar om super kepedean ini. Kalau saja tidak ada Gala di sini, sudah dipastikan pisau roti ini kujejelin ke mulutnya. “Ya iyalah dia lebih milih kamu, kan kamu omnya!” sungutku. Raka tertawa terbahak-bahak hingga keselek mentimun. “Pasutri gaje banget sih kalian.” “Papa mama kenapa berantem?” Gala menginterupsi dengan nada sedih. Aku gelagapan karena bicara terlalu keras. Segera kuturunkan derajatku untuk membuat Gala nyaman. Karena memang logatku yang keras seperti itu makannya terlihat sedang marah. Padahal bukan marah, cuma kesal saja. “Nggak marah kok. Kita nggak berantem.” “Iya...papa sama Mama cuma ngobrol biasa saja.” Aku rasanya ingin muntah saat Aiman memanggilku dengan sebutan mama. “Sudah yuk. Kakak ajarin pake sepatu. Kita udah mau berangkat nih.” “Iya!” Gala bersemangat untuk bersekolah hari ini. Entah kenapa aku juga. Mungkin karena sebentar lagi aku akan menjadi maba. Karena nanti cuma keperluan untuk mendaftar ulang, akupun memilih untuk datang setelah kelas Gala berakhir pukul sebelas nanti. Raka juga sudah kembali ke kosnya untuk mengambil keperluan kuliah sebelum masuk kelas nanti. Karena ini tahun ajaran baru, sudah pasti TK Ramah Tamah dipenuhi oleh ibu-ibu yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Dan aku termenung saat menyadari bahwa rata-rata yang datang pun buka ibu-ibu biasa, melainkan ibu-ibu bhayangkari. “Kok kamu nggak bilang banyak ibu-ibu pejabat di sini?” bisikku. Rasanya enggan sekali turun dari mobil setelah melihat para ibu-ibu itu berdandan begitu elegan. Rok depan, sepatu pantofel, tas tangan serta rambut digulung. Sedangkan aku malah mengenakan kaos metal hitam dengan celana robek di dengkul. “Kamu sih. Kan tadi aku tanya kamu punya baju lain atau enggak. Kamunya ngeyel maunya pake baju ABG gitu.” “Kan aku memang masih ABG!” sungutku. Aiman tak mau mengalah, “ABG labil.” Iiissh tanpa sadar aku memukul lengannya yang malah diperhatikan dengan seksama oleh Gala yang ada di kursi belakang. “Hehe...yuk Gala kita turun,” ajakku sungkan. Gala turun dari mobil begitu pula dengan Aiman. Baru saja sampai gerbang, sudah ada ibu-ibu yang merapat memanggil Aiman seolah mereka sudah lama tidak bertemu. “Pak Kompol Aiman! Sudah balik ke Jakarta?” Aiman memberi salam hormat pada seorang pria yang sepertinya jabatannya itu lebih tinggi darinya. Istrinya cantik. Tapi sepertinya sudah berumur lebih dari tiga puluhan. Dia sedang membawa puteri cantiknya untuk masuk sekolah juga. “Iya pak. Besok pelantikan.” “Alhamdulillah. Akhirnya bisa gabung lagi. Kapan-kapan kita ngopi.” “Siap pak Herman.” Oh namanya pak Herman. Tak lama beliau juga tersenyum padaku. Membuatku menerka-nerka, apa yang sedang dia nilai dari keberadaan ku di sini. “Ini siapa? Adik atau asisten rumah?” Tuhkan! Sialan! Gara-gara baju metal sih! “Dia ini istri saya pak.” Bukan hanya pak Herman yang terkejut, istrinya pun ikut terbelalak. Yah memang sudah bisa diperkirakan reaksi mereka pasti akan seperti itu. “Oh maaf pak Aiman. Saya nggak tahu. Maaf ibu —“ “Nama saya Mela pak.” Pak Herman tertawa yang dibuat-buat. Aku tahu dia pasti sudah sangat malu. “Saya Rita.” Aku menyambut uluran tangan buk Rita dengan sungkan. “Masih muda pak. Kapan-kapan ajak ke balai ya.” Aku melirik Aiman bingung. Ke balai mana nih? Balai karya? “Iya, baik buk.” Buk Rita, suami dan anaknya pun pergi lebih dulu menuju kumpulan anak-anak yang sedang menunggu untuk mengikuti arahan para guru. Aku mengambil kesempatan itu untuk menarik lengan Aiman. “Harus banget yah ikut kumpulan ibu-ibu?” Kayaknya ini juga tidak ada di perjanjian. Jujur saja, aku malas berhubungan dengan perkumpulan seperti itu. “Ikut aja. Bagus kok kegiatannya,” ujar Aiman sambil mengacak-acak rambutku. “Issh! Jangan diacak-acak. Memangnya aku anak kecil?” Aiman memajukan wajahnya tanpa peduli orang sekitar melihati kami. “Bagi aku, kamu memang masih kecil Mel.” Aiman menatapku lekat-lekat. Membuatku malah salah tingkah. Nih om semakin lama semakin mengkhawatirkan. Jangan-jangan dia mau membatalkan semua persyaratan yang aku ajukan. “Ma! Udah mau mulai!” teriak Gala. Aku menatap bapaknya sinis lalu memberinya salam perpisahan dengan injakan kaki. “Jangan seenaknya! Daah!” Aku lari sekuat tenaga agar ia tak mengejarku. Tapi ya kulihat Aiman malah tersenyum sambil melambaikan tangannya. Dih! Dasar om ganjen!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD