MABA

1128 Words
“Belepotan,” katanya. Aku meliriknya tajam. Menangkis segera tangannya yang tadi sempat bertengger di sudut bibirku yang masih perawan tinting ini. Sembilan belas tahun, aku mempertahankan sentuhan-sentuhan dari lawan jenis. Datang om-om ini malah main pegang-pegang seenaknya! “Saya bisa bersihin sendiri. Yuk ah katanya mau anterin saya ke kampus.” Aiman melihatiku bingung. Tapi kemudian ia mengakhirinya dengan mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam. “Ya udah sana ganti baju.” Akupun membawa Gala serta untuk mengganti pakaiannya juga. Sedangkan Aiman menunggu di ruang tengah untuk menghabiskan es krimnya. Selesai berganti pakaian, kami berangkat menuju kampus ternamaan Indonesia ini. Kampus yang bisa dituju dengan krl ini, memiliki fakultas yang begitu lengkap dan ternama. Sebagai anak kampung tentu saja aku bangga bisa masuk ke sini. Maka sudah kucatat dalam planning masa depan, bahwa aku harus bisa lulus dari sini walaupun sudah menikah. Empat tahun akan kuusahakan bisa selesai kuliah dan tinggal bersama duda beranak satu ini. “Ini sekolah mama?” celetuk Gala ketika kami baru saja sampai di parkiran utama kampus. Aku terkekeh mendengar kata sekolah yang Gala ucapkan itu. “Iya. Gede kan?” “Iya gede.” “Nanti pulang jam berapa?” sambung Aiman yang enggan turun dari motornya. “Ya belum tahu. Nanti kalau udah selesai bisa pulang sendiri kok.” “Emang kamu hapal jalannya?” tanya Aiman meremehkan. “Ya ingetlah. Kalau enggak nanti kamu ngeledek aku lagi,” sindirku. Yang disindir malah cengengesan. “Suka banget nyindir orang –“ “Kan bener, kan?” “Telepon aja. Nanti saya jemput sekalian kita belanja keperluan rumah,” ajaknya. Aku mengangguk setuju dengan idenya. Tanpa mau berlama-lama, akupun bergegas masuk ke kampus untuk mendaftar ulang. Gala terlihat melambaikan tangannya melihatku hendak pergi ke dalam kemudian papanya menyalakan motor maticnya dan pergi dari parkiran. Sampai di dalam, aku seperti butiran debu. Aku tersesat dan tak tahu arah pulang. Tempatnya begitu luas dan banyak pintu masuk dan keluarnya. Sudah memperhatikan map pun tetap saja aku nyasar ke fakultas lain. Karena malu bertanya nantinya malah sesat di jalan, akupun memaksakan diri untuk bertanya pada orang-orang secara random. Salah satunya adalah orang yang akan melewatiku ini. Aku harap dia orang baik yang akan memberikanku petunjuk, amin. “Kak maaf. Numpang tanya sebentar.” Dia cowok. Mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna cokelat terang sebagai outer. Gaya-gaya anak kampus kekinian di Jakarta, tentu saja orang yang sedang kujegat langkahnya juga sekeren itu. Dia berkacamata dan sepertinya baik. Semoga saja aku tak salah pilih orang untuk kutanyai jalan. “Iya, kenapa yah?” “Gini kak, aku udah muter-muter daritadi tapi nggak ketemu ini dimana,” tanyaku setengah memelas. Cowok yang kutanyai ini mengambil kertas peta yang sejak tadi kubawa. Setelah memperhatikannya dengan seksama, ia kemudian menatapku sejenak. “Kamu maba Arsitektur Interior?” “Iya kak! Hari ini mau daftar ulang.” “Ayo ikut saya. Kebetulan ini mau ke sana.” “Kakak juga di fakultas AI?” Cowok yang ternyata memiliki ginsul di gigi kirinya itu mengangguk sambil menyunggingkan senyumnya padaku. Membuatku tertegun sebentar karena beliau ini terlihat manis sekali. “Iya.” “Alhamdulillah akhirnya. Makasih kak mau dianterin.” “Sama-sama.” Akhirnya aku mengikuti langkahnya ke fakultas yang dituju. Ternyata memang tidak begitu jauh dari tempatku beristirahat tadi. Aku menyesalkan diriku sendiri karena tak mau berusaha lebih keras untuk mencari. Sesampainya di sana sudah ada yang menunggu untuk menerima pendaftaran kembali calon-calon mahasiswa baru. Dan aku langsung saja menyelesaikan pendaftaran dan tinggal menunggu jadwal untuk masuk ke kampus di hari pertama penerimaan nanti. Di sini aku mendapatkan sks yang aku pilih lalu baju almamater kuning yang terkenal itu. Tanpa sadar aku memeluk dan mencium jas kebanggan universitas ternama ini. Aku segera mengenakannya dan berswafoto dengannya. Karena terlalu asik, aku tidak tahu kalau cowok yang mengantarku tadi masih ada di sana. Ia menghampiriku yang sedang asik sendiri. “Udah selesai?” “I-iya kak. Makasih ya kak. Kalau nggak ada kakak aku pasti nyasar kemana-mana.” “Iya. Kuliah yang rajin nanti yah.” Aku mengacungkan dua jempolku padanya. Dan oh ya, aku lupa menanyakan hal ini padanya. “Maaf kak, kalau boleh tahu namanya siapa? Kapan-kapan aku traktir kopi.” Awalnya ia menolak tawaranku. Tapi setelah kubujuk sedemikian rupa akhirnya dia mau menyebutkan namanya dan menerima ajakan minum kopiku tadi. “Rendi. Panggil aja Rendi. Kalau kamu?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Mela. Salam kenal ya kak.” Lagi-lagi ginsul dan senyumnya mengalihkan perhatianku. Ah seandainya aku masih jomblo, sudah kudekati kakak kelas ini. Sayangnya kau sudah diikat oleh om-om sompret itu Mela. Ingatlah dirimu kalau sudah milik orang! Berhasil melewati sulitnya mencari kelas sendiri, akhirnya aku bisa pulang dengan tenang. Setelah menelpon Aiman, tak lama om polisi itu datang menjemput. Tapi kali ini bukan naik motor yang baru dia beli, tapi dengan mobil. Aku membuka pintu sambil meliriknya bingung. Gala terlihat duduk di kursi belakang sambil bermain dengan boneka kesayangannya. “Kok pakai mobil?” “Kan kita mau belanja. Gimana tadi di kampus?” “Oke sih.” “Nggak nyasar emangnya?” ledeknya. Sial! Kayaknya, Aiman memang punya skill membaca pikiran orang. Kenapa dia selalu saja bisa membuatku tak berdaya? “Pasti nyasar –“ “Iya iya. Kayaknya kamu seneng banget deh ngeledek.” Aiman tertawa seperti tidak punya beban hidup. Ia kemudian menyalakan mobilnya dan melajukannya dengan perlahan ke jalanan utama. Setelah percakapan tadi, tak ada lagi yang kami bicarakan. Aku melamun sambil memperhatikan padatnya jalanan. Sedangkan Gala di belakang masih asik dengan mainan dan cemilannya. Sesekali aku juga menganggunya sampai Aiman menegurku karena dia hendak menerima telepon. Aku pun langsung duduk diam sambil mengamati jalanan yang ada di sampingku lagi. Sedangkan Aiman di sana terlihat serius sekali dengan ponselnya yang sejak tadi terus berdering. “Waalaikum salam,” jawab Aiman lembut. Tapi tetap saja wajahnya mengeras serius. “Ada. Gala di belakang lagi main.” Mendengar ucapan papanya itu, Gala segera menjulangkan tubuhnya ke depan untuk mendengarkan. “Pa! pa! itu mama Susan yah?” Aku melirik terkejut. Jadi yang tengah bicara dengan Aiman itu mantan istrinya? Mereka masih berhubungan? “Iya. Gala mau ngomong sama mama?” “Mau! Mau!” ucap Gala semangat. Aiman lantas memberikannya airpod yang tadi ia kenakan pada putera semata wayangnya itu. Setelah itu, Aiman melirikku dengan wajah datarnya. “Susan itu mamanya Gala.” Aku terdiam. Entah kenapa aku merasa tak nyaman dengan caranya memberitahuku. “Oh,” jawabku singkat. Kenapa aku harus kesal yah? Apalagi mendengar Gala banyak bicara dengan mantan istrinya Aiman itu. Alhasil selama di perjalanan, aku hanya diam sambil mendengarkan Gala bercerita. Apalagi Aiman juga menyahut seolah mereka bertiga berada di sampingku sekarang. Ini aneh. Kenapa aku tak nyaman sepeti ini? kenapa aku terganggu saat Gala dan Aiman sibuk bersama masa lalu mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD