Bab 22. Ke rumah Raka

1014 Words
Sesuai arahan Abira tadi untuk pindah tidur, Gladis melakukannya. Berjalan oyong, Gladis sampai juga di kamar Abira. Dia langsung menghamburkan tubuhnya ke tempat tidur, melanjutkan perjalanan tidurnya. Abira melemparkan tasnya di samping Gladis. Dia melepas kain putih, menjatuhkannya ke lantai. Abira duduk di depan meja rias. Dia membersihkan wajahnya dari make-up menyeramkan itu. Senang rasanya bisa membuat perhitungan dengan Bu Erna. Saat di kuliah nanti, dia tinggal memastikan apakah benar Bu Erna menepati janjinya untuk berubah atau tidak. Kalau misalnya tidak, Abira tinggal menakuti Bu Erna lagi. Selesai sudah membersihkan wajahnya. Waktunya untuk tidur. Abira tidak langsung memejamkan matanya. Entah kenapa tiba-tiba di kepalanya muncul wajah Raka. Saat itu Abira langsung tertawa ketika kejadian siang itu terbayang kembali di wajahnya. Ada-ada saja. Kenapa dia bisa tiba-tiba marah seperti itu hanya karena Raka tidak mau bilang terima kasih kepadanya. Tiba-tiba Abira menggeleng. "Nggak. Dia memang salah. Apa susahnya tinggal bilang terima kasih? Ah, sudahlah. Lebih baik Abira tidur saja. Dia juga sudah lelah setelah menakuti Bu Erna. __00__ Azan subuh dikumandangkan. Seperti biasa, Abira membuka matanya. Setiap kali azan subuh berkumandang, Abira selalu bangun saat itu juga. Abira beranjak duduk. Dia langsung membuka jendela kamarnya, menanti Raka keluar dari rumah untuk pergi ke masjid. Lama Abira berdiam di jendela. Namun Raka tak kunjung keluar dari rumahnya. Abira mendongak, melihat rumah Raka. Lampunya menyala, itu artinya dia ada di rumah. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum keluar juga untuk sholat subuh berjamaah di masjid. Atau jangan-jangan dia belum bangun? Abira memutuskan untuk menunggu lagi lima menit. Berharap semoga Raka keluar dari rumahnya. Orang-orang sudah berpulangan dari masjid. Abira memperhatikan satu persatu orang yang berjalan. Tidak ada Raka. Berarti benar, Raka pasti kesiangan. Sudahlah. Abira menutup jendela kembali. Dia hendak mandi. Ada hal yang harus dia lakukan pagi ini. Abira sengaja tidak membangunkan Gladis karena sahabatnya masih palang merah. Jadi, dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia harus terlihat cantik pagi ini. Juga wangi. Usai mandi, Abira langsung memilih pakaian terbaiknya. Hari ini jam kuliah Abira tidak pagi, melainkan nanti siang. Jadi, Gladis bisa tidur lebih lama lagi. Di depan cermin, Abira menghias wajahnya. Seperti biasa, hanya make-up tipis. Abira mengecapkan bibirnya. Selesai. Dia sudah siap untuk ketemu Raka pagi ini. Turun dari tangga, Monica sudah ada di dapur. Dia dan Bi Ijah tengah sibuk di dapur. Abira menghampiri. Dia memeluk ibunya dari belakang. Monica menoleh. "Kamu kok cantik banget hari ini?" Abira meletakkan kepalanya di pundak Monica. Tinggi Monica hanya 160 CM. Sedangkan Abira 170 CM. Tingginya yang proporsional itu membuat Abira semakin anggun. Kecantikan Abira sampai pernah menarik perhatian seorang fotografer. Abira ditawari untuk menjadi model waktu semester 1. Tapi dia menolak. Lebih tepatnya dia bilang ingin memikirkannya terlebih dahulu. Jadi model memang salah satu cita-cita yang pernah singgah di pikirannya. Mungkin, entah suatu saat nanti Abira akan menerima tawaran itu. Monica mencuci tangannya. Dia selesai memotong ayam dan mencucinya, kemudian memasukkannya ke dalam baskom. "Ini, Bi." Monica menyerahkan baskom ke BI Ijah. "Kamu mau ke mana sih? Pagi-pagi begini kok udah dandan." Monica melihat jam tangannya. "Masih jam enam pagi?" Abira menarik kursi, beranjak duduk. "Abira mau ke rumah Raka, Ma." Monica ikut duduk, memasang wajah menggoda. "Pantes kamu pagi-pagi udah seger aja!" Abira terkekeh. "Ma, kalau Abira nikah sama Raka masih kasih restu gak?" __00__ Dita mengetuk pintu kamar Doni. Dia sudah berada di puncak emosinya sekarang. Entah berapa kali ketukan sudah, anaknya itu tak kunjung membuka pintu. "Doni!" Ketukan di pintu semakin kasar. "Bangun, Don." Di kamar, Doni tengah menutup telinganya dengan bantal. Dia sudah bangun dari tadi ketika mamanya pertama kali mengetuk pintu kamarnya. Namun, karena takut dimarahi atau ditanya mengenai bagaimana kemajuan antara dirinya dan Abira, Doni jadi malas bertemu dengan mamanya. "Doni, Mama tau kamu udah bangun. Buka atau—" Doni segera melompat dari tempat tidurnya, berlari membukakan pintu. Dia berakting seolah-olah baru bangun tidur. Dita menjewer telinga anaknya. "Bagus kamu, ya." Doni kesakitan sambil berusaha melepaskan tangan Dita dari tangannya. "Ke mana aja kamu semalam, ha?" Dita berkacak pinggang. "Ke rumah temen, Ma." "Ke rumah temen? Awas kalo kamu ketahuan bohong, ya. Ayo turun, sarapan." Dita turun lebih dulu. Doni masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Dia hendak men-charge ponselnya baru turun. Sampai di bawah Bi Tiem sudah memasak sayur sop dan tempe orek. Doni menarik kursi, duduk. Sejauh ini Dita belum menunjukkan tanda-tanda akan bertanya mengenai Abira. Doni merasakan matanya masih panas. Dia baru tidur pukul tiga pagi. Doni baru pulang jam segitu. Setelah mengantarkan Monica pulang, mobilnya dan mobil Abira sempat berpapasan di jalan. Karena Gladis belum ada memberikan kabar tentang Abira, Doni memutuskan untuk tidak menghentikan mobilnya, mencegat Abira. Di perjalanan pulang menuju rumah, Rio menelepon Doni, mengajaknya bergabung di diskotek. Setelah menimbang-nimbang, Doni menetapkan menerima tawaran Rio. Lagipula pulang ke rumah pun tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan selain tidur. Lebih baik dia bersama teman-temannya have fun ketimbang dimarahi sama mamanya. Sebenarnya Doni akan tetap diteror akan dimarahi oleh mamanya sampai dia berhasil balikan dengan Abira. Tapi kembali lagi, hal itu bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, hanya soal waktu. Sebentar lagi Abira akan kembali menjadi pacarnya. Dan Doni akan terbebas dari mamanya. Untuk menuju diskotek yang akan Doni datangi, dia harus melewati rumah sakit terlebih dahulu. Saat itu Doni melihat Raka tengah berbincang dengan seorang perempuan. Perempuan yang Doni sangat kenal betul siapa dia. Seketika Doni langsung menghentikan mobilnya. Doni mengeluarkan ponsel dari saku, mengubungi nomor perempuan itu. Berdering. Tapi tidak diangkat. Terlihat dengan jelas perempuan itu mengeluarkan ponselnya dari tas, lalu memutuskan sambungan telepon Doni. Doni berdecih. Ternyata seperti itu cara mainnya. Baiklah, Doni akan membuat perhitungan dengannya nanti. Sampai di diskotek Doni langsung bergabung dengan Bagas, Rio, dan juga Fadli. Jangan lupakan tiga gadis yang masing-masing mereka rangkul. Sambil memegang gelas berisi minuman keras, mereka bertiga menyambut Doni ramah, setengah mabuk. "Hei, Bro. Lama banget lo." Doni tertawa kecil. "Sorry, Bro. Jalanan macet banget." Rio menuangkan segelas bir lalu memberikannya kepada Doni. "Cheers!" Suara dentingan gelas beradu terdengar indah di telinga. Tapi tidak dengan apa yang terjadi setelah itu. Botol bir melayang di udara, mendarat di kepala Rio.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD