Bab 21. Jahil

2062 Words
Di mobil Abira tak henti-hentinya terkekeh. Ekspresi ketakutan Bu Erna terus menggelitik hatinya. Lucu sekaligus puas. Itu yang Abira rasakan saat ini. Setelah memastikan saklar listrik, Abira mengendap-endap masuk ke dalam rumahnya. Bersembunyi di balik sofa, Abira berjongkok sambil menunggu Bu Erna keluar dari kamarnya. Di kamar, Bu Erna mengutuk pihak PLN yang berani-beraninya memutus aliran listrik rumahnya. Setiap bulan Bu Erna rutin membayar tagihan listrik dari aplikasi. Tapi, bagaimana bisa pihak PLN mengatakan kalau dia belum bayar tagihan listrik sama sekali. Bu Erna menyalakan flash ponselnya. Dia membuka pintu, keluar dari kamar berjalan menuju dapur. Bu Erna hendak mencari lilin untuk menerangi dalam rumahnya. Saat mendengar suara knop pintu, Abira berusaha sekuat tenaga menutup mulut agar suara cekikikannya tidak terdengar. Bisa gagal rencananya menakut-nakuti Bu Erna kalau sampai ketahuan. Terdengar suara piring jatuh. Bu Erna tanpa sengaja menyenggol piring di meja makan, terjatuh hingga berserakan di lantai.  "Ya ampun. Kenapa bisa jatuh, sih?" geram Bu Erna. Di saat dia sedang sibuk-sibuknya mencari lilin, malah jatuh piringnya. Kan jadi bertambah kerjaan Bu Erna.  Bu Erna meneruskan pencarian lilinnya terlebih dahulu. Setelah lilinnya ketemu, baru dia membersihkan pecahan kaca. Bu Erna membuka laci satu persatu. Lagi paling bawah, barulah dia temukan lilin.  Abira sudah tidak lagi berada di balik sofa. Dia sudah berpindah tempat. Sekarang Abira sedang berada di balik kulkas dua pintu. Karena cahayanya remang-remang, Bu Erna tidak bisa melihat Abira. Lagipula, kulkas dua pintu itu lebih dari cukup untuk menjadi bersembunyi bagi Abira. Lilin sudah menyala. Sekarang waktunya membersihkan pecahan kaca. Sambil membawa lilin yang sudah dilekatkan di piring kecil, Bu Erna berjalan ke pintu, mengambil sapu. Dia menyapu perlahan, mengumpulkan pecahan beling. Setelah itu Bu Erna membungkukkan badannya, menggunakan sekop sampah kecil. Dikutipnya pertama kali pecahan beling yang besar. Tinggal yang kecil-kecil, Bu Erna menggunakan sapu, didorong ke serokan. Setelah itu semua pecahan beling dimasukkan ke tong sampah. Selesai. Sekarang saatnya. Abira akan menjalankan inti rencananya. Abira menirukan suara tawa kuntilanak. Seketika lilin dan piringnya jatuh ke lantai, terlepas dari pegangan tangan Bu Erna. Bulu roma Bu Erna naik seketika. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya dipompa berkali-kali lipat. Kaki Bu Erna bergetar karena ketakutan. Abira menirukan tawa kuntilanak sekali lagi.  Bu Erna langsung duduk bersimpuh, menyatukan kedua tangannya. "Ampun, Mbah, ampuni saya." "Kamu berani sekali mengganggu cucuku." Suara Abira sengaja dibulatkan dengan tujuan untuk membuat efek seram. "Maaf, Mbah. Cucu Mbak siapa?" Bu Erna hampir menangis mengatakan itu. Dia benar-benar kejerian saat ini. "Raka … dia cucuku." "Ampun, Mbah, ampun. Saya berjanji tidak akan mengganggu Pak Raka lagi. Saya janji." Abira tertawa. "Baiklah. Tapi sebelum itu aku punya satu syarat lagi." "A-apa itu, Mbah?" "Tolong berubahlah. Kau sudah tua. Jangan jadi perempuan gatal lagi." "Baik, Mbah, baik. Saya janji akan berubah menjadi perempuan baik-baik. Saya tidak akan menggatal jika bertemu dengan pria-pria tampan." Abira menahan tawanya. Sungguh, dia sangat-sangat senang saat ini. "Baiklah. Aku akan pergi." Abira berjinjit, berusaha sebaik mungkin agar jangan sampai suara langkahnya terdengar. Berhasil! Begitu sampai di luar rumah, dia langsung menyalakan listrik Bu Erna kembali. Abira tidak pergi lewat depan, dia lewat belakang. Gladis sudah Abira perintahkan untuk melajukan mobil agak jauhan dari rumah Bu Erna. Peristiwa itu terus berulang-ulang di kepala Abira. Bahkan hingga sekarang, sudah separuh perjalan menuju rumah, Abira masih tidak berhenti tertawa. Hatinya terasa seperti digelitik terus-menerus. Perutnya sampai sakit sekarang. Gladis hanya bisa geleng-geleng kepala. Abira benar-benar sudah gila. Hanya dialah seorang mahasiswa yang berani menjahili dosennya. "Lo kok gak ketawa sih, Dis?" Gladis meneguk habis air dalam mulutnya, baru kemudian menjawab. "Lo udah kelewatan, Ra." "Ah lu mah gak asyik. Seru tau!" Masih mengenakan kain putih, wajah putih dan lingkar mata hitam seperti panda, Abira mengemudikan mobilnya menuju rumah. Dia betul-betul puas saat ini setelah membalas perbuatan Bu Erna. Setelah ini Bu Erna tidak akan lagi mengganggu Raka. Bu Erna juga tidak akan lagi jadi dosen penggoda mahasiswa-mahasiswa tampan.  Menurut Abira ini bukan sekadar aksi jahil saja. Tapi, dengan idenya ini Bu Erna akan berubah menjadi layaknya wanita seumurannya. Seharusnya di usianya yang hampir setengah abad itu, Bu Erna tidak lagi menggoda lelaki. Jadi, kalau ini sebuah tindakan kelewatan seperti yang dikatakan Gladis, ya … mungkin ada benarnya juga. Abira juga tidak bisa menafikan itu.  Terlepas dari semuanya, yang pasti Abira bahagia sekarang karena sudah selesai membuat perhitungan dengan Bu Erna. Masalah Bu Erna sudah selesai. Abira tinggal memikirkan bagaimana caranya agar Raka tertarik padanya. Itu yang akan menjadi fokus Abira selanjutnya. Abira belum mengetahui Raka sepenuhnya. Mereka baru bertemu seminggu saja. Hal yang harus Abira lakukan pertama kali adalah mengetahui apa-apa saja yang Raka sukai dan seperti apa dirinya. Itu yang terpenting. Tapi, mau seperti apapun Raka, yang namanya laki-laki tidak akan kuat jika sudah berkaitan dengan kecantikan dan goals body. Begitu dalam pikiran Abira. "Gue laper. Lo mau apa, Dis?" Gladis kehilangan selera makannya saat ini. Meski Abira sudah berhasil, dia masih belum tenang kalau belum melihat apa yang akan Bu Erna putuskan. Empat puluh delapan jam yang Bu Erna berikan sudah terpakai 8 jam. Tersisa empat puluh jam lagi. Sampai waktu yang Bu Erna berikan itu selesai, Gladis belum bisa plong sepenuhnya. "Lo masih mikirin Bu Erna?" Abira tertawa. "Have fun, Dis. Gue harus berapa kali sih yakinin lo?" "Gue gak segila la, Ra. Kalo lo dikeluarin dari kampus lo masih bisa makan, masih bisa hidup. Lah gue?" "Ya ampun. Lo masih takut sama tu orang ternyata. Pokoknya lo tenang aja. Semua bakalan baik-baik aja. Percaya deh sama gue." "Semoga." Gladis menyandarkan kepalanya di jok, memejamkan mata. Merilekskan diri adalah hal yang paling tepat dilakukan sekarang ketimbang terus menerka-nerka apa yang akan terjadi ke depannya.  Abira paham bagaimana perasaan Gladis sekarang. Jadi, dia lebih memilih untuk membiarkan dirinya merilekskan pikiran. Terus dibahas pun akan membuat Gladis terus memikirkan Bu Erna dan jadinya malah menebak-nebak apa yang akan terjadi nantinya. Abira sudah berhenti tertawa. Dia memfokuskan pandangannya ke depan, mengemudikan mobil dengan baik. Dengan kecepatan sedang, mereka sebentar lagi akan sampai di rumah. Malam ini jalanan kota Jakarta tidak terlalu padat. Lampu-lampu jalanan membuat indah dan memanjakan mata. Lampu-lampu kendaraan yang saling ada kecepatan terlihat menawan dari atas.  Abira menghirup udara malam. Dingin, sejuk, menenangkan.  __00__ Raka mencari pedagang kaki lima yang menjajakan makanan di sekitaran rumah sakit. Dia memilih membeli sate dengan lontong. Setelah membeli, Raka kembali ke ruangan Vika. Dia membuka bungkus sate, memakannya satu persatu. Sambil menatap wajah Vika, Raka merasakan semakin bertambahnya usia wajah Vika mirip dengan ibunya. Raka jadi teringat bagaimana wajah gembulnya Vika saat dia masih duduk di bangku SD. Sudah jauh berbeda dari sekarang. Dulu, saat masih SD, kulit Vika sawo matang. Sekarang, sudah berubah jadi putih.  Raka berharap semoga adiknya itu bisa cepat sembuh dan pulang ke rumah. Semoga hasil pemeriksaan globin Vika bagus, tidak menunjukkan adanya penyakit atau sesuatu yang harus Raka khawatirkan.  Raka melirik jam tangannya. Pukul sembilan malam. Dia ingin menghirup udara segar. Raka memutuskan untuk naik ke roof top, menatap kota Jakarta dari atas. Raka keluar dari ruangan, berjalan menuju lift. Sampai di atas, dia langsung berjalan mendekati palang besi berwarna putih. Roff top rumah sakit itu luasnya hampir setengah lapangan sepak bola. Raka memasukkan tangannya ke saku celana, memejamkan mata, menarik napas dalam, menghirup udara sebanyak mungkin. Tahan dua detik, kemudian Raka keluarkan. Nikmat sekali rasanya. Otaknya mengirimkan perasaan tenang ke seluruh tubuh Raka. Dinginnya angin malam membuat Raka sedikit menggigil. Dia hanya mengenakan celana bahan berwarna abu-abu dan kemeja putih. Ya, Raka belum mengganti pakaiannya selepas pulang mengajar tadi. Karena buru-buru membawa Vika ke rumah sakit, dia tidak sempat mengambil jas atau pun jaket. Lampu gedung-gedung pencakar langit terlihat seperti berlomba ingin menampilkan mana yang paling menawan. Dari atas, mobil-mobil terlihat seperti semut berbaris. Raka mendongak, menatap bintang. Meski sudah berada di atas gedung, langit masih terasa tinggi dan jauh sekali untuk digapai. Namun, pemandangan jadi lebih indah. Bintang-bintang yang bertengger di langit sana memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Terdengar suara pintu dibuka. "Dr. Nirmala?" Raka kaget melihat dokter yang sudah dia temui dua kali dalam sehari ini naik ke atas roof top. "Pak Raka?" Dr. Nirmala melangkahkan kaki, mendekati Raka. "Sudah lama?" "Palingan sepuluh menit, Dok." Dr. Nirmala melakukan seperti apa yang Raka lakukan tadi. Menarik napas dalam, menghembuskan perlahan.  "Saya memang sering kemari setiap kali merasa bosan atau lelah. Menikmati angin malam sambil merilekskan tubuh dan pikiran adalah sebuah kenikmatan." Ternyata dr. Nirmala dan Raka punya solusi yang sama untuk melepas penat. "Ah iya, saya sudah periksa hemoglobin Vika. Trombosit Vika masih dalam jumlah normal. Saya akan hanya akan meresepkan obat saja." "Terima kasih, Dok." "Sama-sama, Pak." Syukurlah. Raka lega mendengar bahwa tidak terjadi hal-hal mengkhawatirkan pada adiknya. Itu adalah sebuah kabar yang tak kalah membahagiakan dari kabar tadi siang. Doa Raka terkabul. Dia mendapatkan dua kabar baik setelah dua kali datang ke rumah sakit ini. "Kapan Vika boleh pulang, Dok?" "Satu atau dua hari ke depan, Pak. Kami akan memeriksa Vika sekali lagi, memastikan kalau dia benar-benar aman untuk dibawa pulang." "Baik, Dok. Terima kasih banyak, terima kasih banyak." Tanpa terasa, mereka sudah berada di atas sana hampir satu jam. Kalau ponsel dr. Nirmala tidak berdering, mereka mungkin masih asyik mengobrol sampai larut malam. "Halo?" Dr. Nirmala menampilkan air muka serius sekali. Nampaknya ada hal yang sifatnya urgent. "Baik, saya ke sana sekarang." Dr. Nirmala memasukkan ponselnya ke saku jas dokter. "Saya duluan, Pak." "Oh iya, Dok. Silakan." Dr. Nirmala pun pergi meninggalkan Raka di sana. Setelah lima belas menit, Raka berpikiran untuk menyudahi kegiatan malamnya itu. Sudah pukul sepuluh lewat, dia harus kembali ke ruangan Vika. __00__ Akhirnya mereka sampai di rumah. Monica yang saat itu tengah duduk di sofa keluar menyambut Abira. Monica langsung terkejut begitu melihat wajah anaknya. "Astaga. Kamu abis ngapain?" Abira terkekeh, menghamburkan tubuh memeluk mamanya. "Abira habis helloween-an, Ma," ucap Abira asal. "Helloween-an? Ini bulan apa?" Abira tertawa. "Bukan, Ma. Abira habis main-main aja kok. Mama pulang sama siapa? Dijemput Pak Tejo?" "Nggak. Mama dianter Doni." "Doni? Kok bisa? Dia bilang sesuatu sama Mama?" "Nggak ada. Emang kenapa?" "Gak apa-apa, Ma." Gladis belum turun dari mobil. Tampaknya dia ketiduran di dalam sana. Melihat Abira seorang diri, Monica bertanya. "Kamu sendirian? Tadi Bi Ijah bilang kamu pergi bareng Gladis?" Abira menoleh ke belakang. Tidak ditemukan Gladis. Abira membuka pintu penumpang mobilnya. Benar, Gladis tertidur. Abira mengguncang tubuh Gladis. Seperti biasa, tidak ada jawaban. Abira mendengus. Entah kapan penyakit cosplay babi mati setiap kali tidur Gladis ini hilang. "Dis, bangun. Udah sampe." Mungkin guncangan kesepuluh, Gladis baru membuka matanya. Abira sudah tidak tahu lagi itu guncangan ke berapa pada tubuh Gladis. Dia sudah kesal dengan Gladis. Padahal belum lama dia tertidur, tapi tetap saja susah dibangunkan. Gladis mengucek matanya. Setelah nyawanya terkumpul kembali, masuk ke dalam tubuhnya, barulah dia turun dari mobil. Monica sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu saat Abira sibuk membangunkan Gladis. Dia masuk ke dalam teringat kalau dia punya bubur kacang ijo di kulkas.  Gladis masih lingkung, khas orang baru bangun tidur. Matanya yang merah, wajah bantal. "Lo ke kamar sana, sambung tidur." Gladis diam saja, tidak berekspresi. Tiga detik setelah itu, barulah dia berhasil mencerna kalimat Abira yang menyuruhnya untuk ke kamar, melanjutkan tidur. Abira mengunci mobilnya, barulah dia masuk ke dalam. Begitu masuk, Abira melihat mamanya tengah menyantap bubur kacang ijo. Kebetulan perutnya juga sedang lapar. Abira langsung ikut bergabung dengan mamanya di meja makan. "Ma, Abira mau dong." Monica langsung menyuapi Abira.  "Enak, Ma." "Pastinya dong. Buatan Bi Ijah." Yang disebut namanya senyum-senyum sendiri di wastafel cuci piring. Bi Ijah senang karena majikannya itu menyukai masakannya. "Lagi, Ma." Abira ketagihan. Monica menyuapi anaknya lagi. Tidak puas makan disuapi seperti itu, Abira memutuskan untuk makan di piring sendiri. Dia mengambil piring, kemudian memindahkan bubur kacang hijau dari pan yang masih hangat, kemudian bergabung bersama mamanya di meja makan. Biarlah nanti saja dia membersihkan wajahnya. Yang harus diutamakan adalah perutnya. Pak Tejo yang baru dari dari garasi kaget ketika melihat wajah Abira. Bi Ijah, Monica, dan Abira terkekeh melihat ekspresi kaget Pak Tejo. "Ini Abira, Pak." "Saya kira hantu beneran tadi." "Ayo, Bi, Pak, gabung sini," ajak Monica. "Masih banyak tuh." Dia menunjuk pan di depannya di atas meja makan. "Beneran, Bu?"  "Iya sini. Ayo, Pak." Bi Ijah dan Pak Tejo saling tatap terlebih dahulu, barulah memutuskan bergabung di satu meja dengan majikan mereka. Meski Monica dan Tiara sudah hampir setiap hari mengajak mereka untuk bergabung bersama di meja makan, mereka masih tetap saja merasa canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD