Bab 23. Utang

1957 Words
Dari kepala yang terkena lemparan botol minuman keras, langsung mengalir darah segar dari sana. Rio merasakan pandangannya kabur. Perlahan, dia melihat tangannya setelah diletakkan di kepala. Itu benar darah. Dua detik kemudian, tubuh Rio terhuyung ke depan. Doni yang saat itu masih segar, belum mabuk, dengan sigap menangkap tubuhnya. Doni menyuruh mereka yang duduk di sofa bangkit, membaringkan tubuh Rio. "Lo sumbat luka Rio, Gas!" ujarnya sedikit panik. Satu diskotek yang tadinya meriah dengan jogetan seirama dengan musik seketika langsung senyap. Mereka berhenti berjoget semuanya. Perlahan kerumunan bergerak menyediakan jalan untuk orang dari belakang. Terlihat ada tiga laki-laki yang memakai pakaian khas preman. Ketiganya berbadan besar dan berotot. Wajah yang menyeramkan, tatapan elang, juga tato yang sedikit terlihat dari d**a, dan otot lengan. Mereka memang cukup menakutkan. Doni merasakan geram. Dia menggulung lengan kemejanya. Tiga pria itu sama sesekali tidak menakutkan bagi Doni. "Darahnya gak mau berhenti, Don," lapor Bagas. Dia juga tak kalah panik melihat darah terus mengalir dari kepala Rio. Sudah ditekan kuat-kuat bagian kepala Rio yang terluka, tapi darah tetap mengalir dari sana. Sekarang, Rio sudah tidak sadarkan diri lagi. Doni menoleh. "Bawa Rio ke rumah sakit, sekarang!" Bagas dan Fadli membopong Rio keluar. Tiga wanita seksi yang tadi bergabung bersama mereka langsung lari begitu salah satu dari tiga preman mendekati Doni. Dia membuka kacamata yang dia kenakan. Terlihat salah satu matanya rusak. Dia mengangkat tangannya, seperti meminta sesuatu kepada Doni. "Lo temennya, kan? Dia punya utang 100 juta. Ayo, bayar," ujarnya. Tidak terlihat tanda-tanda sedikit kalau sosok pria di depannya ingin beramah-tamah terlebih dahulu. Doni berdecih. Dia melangkah tiga langkah. Wajah mereka berdekatan sekarang. Doni … kalah besar tubuhnya dibandingkan laki-laki itu. "100 juta?" ucapnya. Preman itu mengangguk. "Gue akan bayar utangnya. Tapi … sebelum itu." Bugh! Doni memukul perut preman itu membuatnya tubuhnya sedikit terdorong ke depan. Laki-laki itu langsung sesak napas merasakan kuatnya pukulan Doni di tengah-tengah perutnya. Dua temannya langsung mengarahkan pukulan ke Doni secara bersamaan. Bisa menebak itu akan terjadi, Doni menangkap kedua tangan itu, memelintirnya berlawan arah jarum jam. Mereka berdua meringis. Doni melompat, mendorongkan kakinya tepat ke kedua wajah preman itu. Setelah mendarat, Doni memukuli wajah laki-laki mata rusak bertubi-tubi sampai lemas. Setelah itu Doni menghajar dua sisanya. Entah berapa pukulan, tiga laki-laki yang badannya lebih besar dari Doni, ketiganya dibuat K.O. Mereka yang berkunjung saat itu ikut meringis melihat bagaimana Doni menghajar ketiganya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di kepala mereka yang sering datang ke sana melihat tiga preman itu dipukuli Doni dengan mudah. Tiga preman itu memang sering berkunjung ke sana untuk menagih orang yang berhutang pada bos mereka. Tak jarang, aksi pukul memukul seperti sekarang ini terjadi di diskotek itu. Tapi, baru sekarang ada yang bisa memukuli mereka bertiga. Setelah puas, Doni mengeluarkan ponselnya. Dia membuka m-banking miliknya. Setelah memasukkan nominal yang disebutkan tadi, dia menyerahkan ponselnya ke preman mata rusak, memintanya untuk memasukkan nomor rekeningnya. Dengan gerak lambat karena sakit tubuhnya, laki-laki itu menerima ponsel Doni, memasukkan nomor rekeningnya, kemudian mengembalikannya ke Doni. "Gue udah lunasin utangnya. Dan lo jangan berani-berani coba usik dia lagi atau gue bakal buat lebih parah dari ini," ancam Doni. Dia tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu apalagi sampai melukai sahabatnya. Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku, Doni bergegas keluar dari diskotek, menyusul Rio yang sudah dibawa Bagas dan Fadli ke rumah sakit lebih dulu. Doni mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Pasalnya, botol yang mengenai kepalanya itu cukup tebal. Darah yang mengalir juga cukup banyak. Begitu sampai, Doni langsung masuk ke rumah sakit. Dia menanyai pusat informasi di mana Rio dirawat. Setelah diberitahu, Doni langsung masuk lift, naik menuju ruangan di mana Rio dirawat. "Gimana keadaan Rio?" tanyanya pada Bagas begitu sampai di ruangan. Rio dengan seragam pasien, terbaring di atas brankar. Kepalanya dililit perban. Selang infus menggantung di sebelah tempat tidur. "Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kepalanya hanya bocor," terang Bagas. Mendengar itu membuat Doni sedikit lega. Dia mendudukkan tubuhnya ke sofa di sebelah Fadli yang saat itu tengah tidur. Syukurlah tidak terjadi hal-hal yang lebih menakutkan lagi. Doni melihat buku-buku jarinya. Merah, itu yang terlihat. Dia memukuli ketiga preman tadi dengan sekuat tenaga karena amarah yang memuncak. Melihat darah segar mengalir dari kepala Rio membuat darah Doni mendidih. Dia tidak terima melihat bagaimana perlakuan tiga preman itu pada Rio. Meski sahabatnya itu memiliki utang, tetap perlakuan ketiganya barusan tidak bisa ditolerir. Untuk pertama kalinya, laki-laki yang Abira sebut manja itu mengeluarkan keahliannya di depan umum. Hasil latihannya berlatih tinju selama tiga tahun dilihat semua orang yang ada diskotek. Ya, sejak tiga tahun lalu Doni sering latihan tinju di depan boxing. Tidak ada alasan yang menarik, dia hanya bosan. Itu saja. Selain itu, Doni juga mantan peraih medali emas waktu SMP. Dia menguasai beladiri silat. Bagas terlihat menguap. Doni bangkit, menghampirinya. "Lo tidur aja sana, biar Rio gue yang tungguin." Bagas setuju. Dia bertukar tempat dengan Doni. Kepalanya juga sudah terasa berat sekali. Mereka sudah sempat setengah mabuk tadi di diskotek. Disuruh bertukar tempat oleh Doni, tidak perlu berpikir dua kali. Begitu bokongnya menyentuh sofa, Bagas langsung tidur. __00__ Menurut Abira sarapan pagi hari ini enak sekali. Nasi goreng yang mamanya masak terasa nikmat di mulutnya. Kolaborasi memasak antara mamanya dan Bi Ijah layak untuk diberi nilai sempurna. Monica memang pintar memasak. Abira meletakkan gelas di atas meja setelah menenggak habis isinya. Perutnya sudah terisi penuh sekali. Makannya lahap hari ini. "Gimana? Enak gak?" tanya Monica. Abira menggelengkan kepalanya seolah mengatakan luar biasa. Tak lupa acungan jempol juga dia sertakan. Abira memang tidak bohong. Ayam goreng bumbu hasil kerjasama Monica dan Bi Ijah benaran enak sekali. Abira sebagai pecinta ayam, belum pernah makan ayam goreng senikmat itu. Dia sampai habis tiga potong paha besar. Monica dan Bi Ijah langsung tos! Mereka sangat senang karena hasil masakan mereka berhasil dan Abira sangat suka. Melihat Abira makan dengan lahap membuat keduanya mempunyai pikiran untuk memasak bersama lagi Melihat masih tersisa empat potong lagi di piring, Abira kepikiran membawakan ayah itu untuk Raka. Dia bertanya kepada Monica. "Untuk Raka? Boleh, boleh," jawab Monica. Ternyata anak gadisnya pagi-pagi sudah rapi karena ingin berkunjung ke rumah Raka. Pantas saja. Seolah peka, Bi Ijah langsung mengambilkan tempat untuk Abira, memasukkan empat potong ayam yang tersisa. Setelah menerima tempat berisi ayam, Abira bangkit. "Abira ke rumah calon suami dulu, ya, Ma." Dia mencium pipi mamanya. Bi Ijah geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat Abira. Kebiasaan Abira yang selalu mengatakan kalau pacarnya calon suaminya itu membuat Bi Ijah merasa geli. "Sampaikan salam Mama ke Raka, ya." Abira mengangkat tangannya, membuat simbol oke. Sampai di depan rumah Raka, Abira memencet bel rumah. Hanya suara bel yang terdengar. Tidak ada yang membukakan pintu. "Aneh, mobilnya ke mana?" gumam Abira. Abira pun memencet bel kali kedua. Belum ada juga yang membukakan pintu. Abira masih menunggu di depan pintu. Setelah satu menit, kali ketiga dia memencet bel. Tetap tidak ada yang menyambutnya. "Atau jangan-jangan Pak Raka belum pulang dari kemarin?" gumamnya. Abira memutuskan untuk pulang saja. Memang kelihatannya Raka tidak ada di rumah. Entah ke mana perginya. Mungkin ada kegiatan yang mengharuskannya tidak pulang. Tapi, kemana perginya Vika kalau Raka tidak ada di rumah? Sampai di kamar, Abira membangunkan Gladis. Jangan berharap bisa dibangunkan dengan cepat. Setelah memukulkan bantal guling ke tubuh Gladis beberapa kali, barulah dia bersuara. Itu pun masih dengan kondisi mata tertutup. "Bangun, Dis. Lo temenin gue." "Kemana?" tanya Gladis dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Masih tetap dengan posisi telungkup dan mata tertutup. "Udah lo buruan bangun. Ayo temenin gue." Abira menarik tubuh Gladis sampai dia terduduk. Masih dengan mata tertutup rapat. __00__ Dan sekarang Doni tengah menyantap sup buatan Bi Tiem. Dia menatap wajah mamanya, Dita terlihat ikut menikmati masakan Bi Tiem. Tepat pukul 2 pagi, Raka tertidur di kursi dengan kepala diletakkannya di samping tubuh Rio. Bagas membangunkannya, menyuruh Doni untuk pulang karena dia tahu Doni pasti akan dicari mamanya kenapa jam segitu belum pulang. Doni menurut. Sampai di rumah dia langsung menyambung tidurnya. Belum puas tidur, sudah dibangunkan saja oleh Dita. "Habis ini kamu mau ke mana?" tanya Dita. Sebelum menjawab, Doni menyempatkan diri untuk menghela napas lega terlebih dahulu. Dia bersyukur sekali karena mamanya tidak membahas soal Abira pagi ini. Doni juga masih berharap semoga tidak ada terbesit sedikit pun di kepala mamanya itu nama Abira. "Mau ke rumah sakit, Ma." "Ke rumah sakit?" Dita meminum s**u. "Mama ingat Rio kan?" "Temen kamu? Inget. Emang kenapa?" "Dia di rumah sakit sekarang, Ma. Tadi malam tiga preman datang lalu ngelempar Rio pake botol, terus kepalanya bocor. Sekarang di rumah sakit." Doni menyendok supnya. "Ya ampun! Terus Rio-nya baik-baik aja, kan?" Dita terkejut setelah mendengar kabar tentang Rio. Dita tidak menyangka kalau Rio bisa dipukuli seperti itu. "Syukurlah, Ma, gak ada yang perlu dikhawatirkan." "Emang ada masalah apa sampai didatangi preman begitu?" "Rio punya utang Ma, seratus juta. Tapi udah Doni bayar kok." Dita mengangguk setuju dengan apa yang anaknya lakukan. Dia senang mendengarnya. Itu membuktikan bahwa sifat peduli anaknya masih ada. "Bagus deh." "Emang kenapa Mama nanya Doni mau ke mana setelah ini?" tanya Doni ketika teringat kalau mamanya tadi bertanya tentang agendanya setelah sarapan pagi. "Nggak. Mama cuman nanya doang." Usai sarapan, Doni langsung bersiap. Mandi dan berganti pakaian. Setelah itu dia langsung menuju rumah sakit untuk menjenguk Rio. Tiba di sana, Rio sudah sadarkan diri dan tengah disuapi oleh Fadli. Dan Bagas terlihat sedang tidur di sofa. Tampaknya dia baru saja tidur setelah semalaman menunggui Rio. Doni meletakkan buah dan tiga kotak bubur yang dia beli tadi di tengah jalan. "Gimana keadaan lo, Bro?" tanya Doni. Rio terkekeh pelan. "Gue baik-baik aja. Kayak mau mati aja. Btw, makasih, ya, Don." "Gak usah berterima kasih juga kali. Lagian lo kan sahabat gue. Gak mungkin gue bakal ngebiarin lo diperlakukan kayak gitu." Doni mengambil alih menyuapi Rio. Dia menyuruh Fadli untuk sarapan. "Gue janji gue bakal berusaha keras bantuin lo biar bisa balikan sama Abira." Doni terkekeh. Tidak biasanya Rio dalam mode serius seperti itu. Doni melanjutkan menyuapi Rio. "Lo kenapa ketawa?" tanya Rio. Dia heran kenapa Doni malah tertawa setelah mendengar ucapannya barusan. Padahal dia mengatakan itu benar-benar dari lubuk hati yang terdalam sebagai ucapan rasa terima kasihnya. "Lo gak usah jadi serius gitu. Gue malah takut lo mati, Yo." Doni terkekeh. "Anjir lo!" __00__ Vika membuka matanya perlahan. Mengetahui itu langsung membuat Raka bangkit dari sofa, duduk di sebelah brankar adiknya. "Alhamdulillah kamu udah sadar." "Mas, Vika di mana?" tanyanya. Suara Vika terdengar lemas sekali. Tampaknya stamina adiknya masih belum pulih. "Kamu di rumah sakit," ujar Raka. Dia memegang tangan adiknya, mengelus lembut dengan ibu jari. Dr. Nirmala masuk ke ruangan. Dia membawakan nampan berisi makanan rumah sakit. Tidak lupa juga memasang senyum untuk Vika. Raka menerima bawaan dr. Nirmala dan mengucapkan terima kasih. "Selamat pagi, Vika. Gimana? Udah enakan?" tanya dr. Nirmala. Vika menjawab sapaan dr. Nirmala dengan anggukan kepala. Itu pun samar. Untuk bicara Vika masih belum leluasa karena kerongkongannya terasa serak. "Setelah menyuapi Vika, Bapak ke ruangan saya, ya," titah dr. Nirmala. Raka mengangguk. "Baik, Dok." Saat itu juga rasa khawatir Raka datang. Entah apa yang akan dr. Nirmala sampaikan nanti, Raka tidak tahu. Tapi yang pasti, dia berharap semoga kabar baik yang akan disampaikan. Vika tidak boleh sakit. Dia harus sehat. Raka sudah menghubungi pihak kantor kalau dia mungkin akan cuti dua-tiga hari sampai adiknya benar-benar pulih. Raka juga sudah menghubungi Nadira, meminta izin kalau adiknya tidak bisa sekolah. Setelah tahu kalau Vika sakit, Nadira hendak mengunjungi Vika di rumah sakit. Nadira meminta Raka untuk mengabarinya sore hari andaikata mereka belum pulang dari sana. Vika tidak berselera makan. Setelah dibujuk Raka, akhirnya Vika mau makan meski hanya beberapa suap. Raka bertanya apakah Vika ingin buah atau sesuatu? Vika menggeleng. Lidahnya terasa pahit, itu membuatnya tidak mau makan apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD