Bab 20. Misi

2004 Words
Di perjalanan. “Kita mau ke rumah sih, Ra?” tanya Gladis kali entah keberapa. Sudah di dalam mobil saat ini pun, Abira belum memberitahukan rencananya pada Gladis. Entah apa yang ingin Abira lakukan sebenarnya, Gladis tidak tahu. Tapi, yang pasti, Gladis masih tidak bisa melupakan kalau nyawanya ada di tangan Abira sekarang. Setelah Gladis seratus persen menyatakan bahwa dia akan ikut dalam rencana Abira, sahabatnya itu hanya tersenyum senang. Tadi, di kamar, Gladis melihat Abira memasukkan beberapa peralatan make-up ke dalam tasnya. Juga ada kain putih panjang. Mereka sudah setengah jam di perjalanan. Sepi. Langit sedang indah-indahnya sekarang. Di atas sana matahari hampir tenggelam, ingin bertugas tugas dengan bulan. Kalau saja situasinya lebih baik sekarang, Gladis pasti menikmati sunset sore hari itu. Gladis adalah salah satu penikmat senja. Menatap matahari sampai tenggelam merupakan salah satu kegiatan yang Gladis sukai. Dulu, waktu Gladis kecil, setiap kali berlibur ke kampung halaman alm ayahnya, Gladis pasti selalu menonton matahari tenggelam. Dengan jaket tebal dan membawa makanan ringan, Gladis akan menyeret tangan ayahnya ke pantai. Ya, kampung halaman ayah Gladis adalah sebuah perkampungan pesisir. Mendengarkan desiran ombak, Gladis sedikit mendongakkan kepalanya, menikmati detik-detik matahari sebelum ditelan kaki bumi. Tapi, itu hanya tinggal kenangan sekarang. Semenjak ayahnya Gladis meninggal, Gladis belum pernah datang ke kampung halaman ayahnya lagi. Rindu sebenarnya, tapi untuk bisa datang, Gladis tidak tahu bisa atau tidak. Tiba-tiba Abira menginjak rem perlahan. Mobil merapat ke pinggir jalan. “Kok berhenti, Ra?” tanya Gladis saat mobil sudah berhenti total. Apakah mereka sudah sampai tempat tujuan? “Lo mau tau kan kita ke mana sekarang?” Gladis mengangguk cepat. Dia memang benar-benar ingin tahu ke mana tempat tujuan mereka saat ini. “Kita mau ke rumah Bu Erna.” “Rumah Bu Erna? Ngapain?” Kaget adalah perasaan yang Gladis rasakan pertama kali. Setelah itu barulah perasaan takut menyusul setelahnya. Sungguh, sepertinya untuk saat ini Gladis bisa bilang kalau tidak selamanya keberanian seseorang menjadi nilai plus. Contohnya seperti keberanian yang Abira miliki. “Buat perhitunganlah, emang mau ngapain lagi?” jawab Abira tanpa merasa ada beban sama sekali. Enteng, tidak merasa berdosa. “Enggak, Ra.” Gladis tidak setuju. Tampaknya dia mulai bisa mengerti ke mana Abira hendak membawa permainan ini. Ini tidak boleh dibiarkan. Kalau sampai Abira benar-benar mewujudkan ide gilanya, habislah dia. “Enggak, Ra. Lo gak boleh ngelakuin itu.” Meski pun dalam lu “Gimana, sih? Tadi lo udah setuju.” “Ya tapi gak gini juga kali, Ra. Kalo Bu Intan punya riwayat penyakit jantung gimana?” Gladis tidak habis pikir dari apa sebenarnya terbuat mentalnya. Mengapa Abira bisa bertindak sampai sejauh ini? Abira mengacuhkan ucapan Gladis. Masa bodoh! Menurutnya apa yang ada di kepalanya sekarang adalah imbalan yang tepat untuk Bu Erna dapatkan. Suruh siapa berani mencari gara-gara dengannya? Kalau Bu Erna tidak nyenggol duluan dengan mendekati Raka, Abira pasti tidak akan berbuat sejauh ini. Satu lagi, ulah Bu Erna menyuruhnya untuk minta maaf, itu juga hal yang gak banget menurut Abira. Dan untuk semua yang Bu Erna lakukan, Abira hanya membalasnya dengan membuat Bu Erna takut, itu belum seberapa. “Ra, please, Ra. Jangan, ya.” Gladis memasang wajah memelas, memegangi kedua tangan Abira. Sungguh, sekarang, Gladis merasa bahwa keputusannya membantu Abira adalah keputusan paling berani yang dia ambil. Dan saat ini, Gladis merasa telah salah mengambil keputusan. Ini bukan lagi soal nyawanya, tapi soal rasa hormat. Tindakan ini sama saja Gladis berbuat kurang ajar kepada Bu Erna. “Oke, oke. Lo tinggal pilih, Bu Erna atau gue?” “Ra, jangan gitu dong.” “Nih ya Dis gue kasih tau. Orang kayak Bu Erna itu kalo gak dikasih pelajaran gak bakal berubah. Dia itu udah tua, Dis. Lo liat sendiri kan? Setiap ada mahasiswa ganteng, Bu Erna pasti kegatelan. Kalo gue kan beda. Gue masih muda, masih cocok buat begituan.” Andai sekarang situasinya berbeda, Gladis pasti sudah menjitak kepala Abira. Apa bedanya coba antara dirinya dan Bu Erna? Intinya mereka berdua sama-sama paling tidak bisa diam kalau sudah melihat pria tampan. Matahari sudah tenggelam di kaki langit. Langit yang oranye sudah digantikan dengan malam. Di tempat yang tadi, hanya satu-dua mobil yang lalu-lalang. Gladis sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain ikut andil dalam permainan yang Abira ciptakan. Abira menyalakan mobilnya. Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Erna. Mereka tiba di depan rumah Bu Erna. Rumah dua tingkat, berwarna putih dengan desain minimalis. Di sebelah rumah Bu Erna ada gang yang ukurannya muat untuk satu mobil. “Lo yakin dengan ide lo itu, Ra?” tanya Gladis sekali lagi dengan harapan Abira akan membatalkan rencananya. “Yakin.” Gladis menelan ludahnya sedikit susah. Sebenarnya dia sudah tahu kalau Abira tidak akan membatalkan rencana ini. Tapi, jauh dari dalam lubuk hati Gladis, dia masih berharap Abira berubah pikiran. Abira melakukan step berikutnya. Dimatikannya mesin mobil. Abira mengeluarkan kain putih panjang dan make-up yang sudah dia bawa dari rumah tadi. Dengan bantuan Gladis, wajah Abira dibedaki super tebal. Bagian matanya dibuat lingkaran. Kanan-kiri. Selesai. Abira memakai kain putih seperti memakai jilbab. Sisa kainnya dibuat untuk menutupi badannya. “Lo senyum napa. Cemberut aja dari tadi.” Abira mencoelkan bedak ke wajah Gladis. “Gimana gue gak cemberut, nyawa gue terancam gara-gara lo.” Abira terkekeh. “Lo tenang aja. Lo … gak bakal kenapa-napa. Setelah gue ngelakuin ini, Bu Erna bakalan kapok, Percaya deh sama gue.” “Terserah lo aja deh, Ra. Gue cuman bisa berharap semoga lo berhasil. Udah, itu aja.” Abira mencubit gemas pipi Gladis. “Ulu-ulu, lucu banget sih anaknya Bu Siti.” “Apaan sih.” Gladis menepis tangan Abira dari wajahnya. Abira terkekeh lagi. __00__ Makan malam sudah siap. Sejak digoda Raka tadi, hingga sekarang Vika belum juga keluar dari kamarnya. Raka sudah memindahkan sop ayam, tempe goreng, dan sambal pedas-masih ikan nila ke meja makan. Semua sudah siap. Saatnya mengajak Vika turun untuk makan malam. Sampai di depan pintu kamar Vika, Raka mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban. “Vika, turun makan, yuk.” Hening. Raka mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban. “Vika.” Jeda beberapa saat. “Vika, kamu gak kenapa-napa, kan?” Raka mulai panik. Sudah tiga kali ketukan, Vika juga belum merespon. Biasanya kalau pun Vika ngambek, dia akan menjawab panggilan ketiga Raka. Tapi kali ini tidak. Raka mundur dua langkah, mengambil ancang-ancang, bersiap mendobrak pintu. Percobaan pertama, gagal. Percobaan kedua, masih gagal. Percobaan ketika, pintu kamar Vika terbuka. Vika tergeletak di atas tempat tidur dengan posisi kepala menggantung, lewat dari bibir tempat tidur. Hidunya juga mengeluarkan darah. “Ya Allah, Vika!” Raka berlari menghampiri adiknya. Sigap, diangkatnya Vika, Raka membawa Vika ke rumah sakit segera. __00__ Di ruangan dr. Nirmala. Dr. Nirmala mengajak Raka ke ruangannya setelah memeriksa Vika. Di ruangan itu, Raka merasa khawatir sekali dengan keadaan adiknya. Keadaan cepat sekali berubah. Padahal, tadi siang, Raka sangat senang sampai lupa menjemput Vika. Sekarang, dia sudah kembali ke rumah sakit, dengan perasaan berbeda pula. “Bagaimana, Dok? Adik saya baik-baik saja, kan?” “Vika mengidap Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Sistem kekebalan tubuh Vika menganggap sel kepingan darah atau biasa disebut trombosit sebagai benda asing yang berbahaya, sehingga dibentuk antibodi untuk menyerang trombosit. Akibatnya, trombosit di tubuh Vika mengalami penurunan. “Tapi, Bapak tidak perlu khawatir. Sejuah ini kondisi Vika masih stabil. Kami akan menilai terlebih dahulu seberapa parah ITP yang dialami Vika. Pada ITP ringan, tidak diperlukan penanganan secara khusus. Namun, kami akan tetap memantau dan melakukan pemeriksaan trombosit secara rutin untuk mencegah pendarahan.” Raka menghela napasnya lega. Penjelasan dr. Nirmala cukup mudah untuk dimengerti. Berdasarkan penuturan dr. Nirmala, Raka setidaknya bisa merasa tenang. Tidak terjadi hal serius pada adiknya. “Baik, Dok, Terima kasih.” “Sama-sama, Pak.” Raka keluar dari ruangan dr. Nirmala, berjalan ke ruangan di mana Vika dirawat. Kata dr. Nirmala tadi Vika sudah bisa dijenguk. Duduk di kursi sebelah, Raka menatap wajah adiknya. Baru beberapa jam saja, dia sudah kembali lagi ke rumah sakit yang sama yang tadi siang dia datangi. Bedanya, suasana sekarang. Raka memegang tangan adiknya, mengelus perlahan dengan ibu jari. Perut Raka berbunyi. Dia baru ingat kalau sejak siang tadi dia belum makan. Dan setelah memasak tadi pun Raka tidak bisa makan karena Vika ditemukan pingsan. Raka memutuskan untuk turun keluar, mencari makan, kemudian kembali lagi nanti ke ruangan Vika. __00__ Suara alunan music pop kesukaan Doni mengalun merdu. Sambil menatap lurus ke depan, dia berusaha menyembunyikan senyumnya sekuat tenaga. Juga mengumpulkan keberanian. Pulang dari toko H. Mamat, Doni menawarkan diri untuk mengantarkan Monica ke butiknya. Monica awalanya juga masih menolak, namun setelah dipaksa Doni, Monica pun menerimanya. Di toko, Doni juga membantu Monica mencari barang-barang yang diperlukan di butik baru Monica. Dari yang kecil sampai manekin. Doni juga membantu menaikkan manekin ke dalam mobil box beserta barang-barang lainnya untuk diantar ke butik. Monica sangat berterima kasih kepada Doni karena sudah dibantu. “Oh, ya. Tante mau tanya,” ujar Monica memecah kesunyian. Kalau sekarang posisinya Doni sedang tidak menyetir, Doni pasti mengepalkan tangannya, bersorak. Namun, sekarang dia hanya mengatakan yes! dalam hati. Jangan lupakan kalau dia masih berusaha menyembunyikan senyum. “Mau tanya apa, Tante?” “Kamu kenapa bisa putus sama Abira?” Ini yang Doni tunggu dari tadi. Menunggu Monica bertanya perihal itu. Perihal mengapa anaknya bisa putus dengan Doni. Tapi Doni tidak akan mengatakan apa yang Abira ucapkan padanya tempo hari lalu. Alasan Abira memutuskannya itu membuat Doni merasa malu. Anak manja? Doni berdecih dalam hati. Lihat apa yang akan anak manja itu lakukan nanti. “Abira gak cerita, Tan?” kalimat ini yang keluar dari mulutnya. “Nggak tuh.” “Lebih baik Tante tau ceritanya dari Abira langsung deh, Tan. Takutnya apa yang saya sampaikan dan Abira sampaikan berbeda nantinya.” Sungguh, saat itu manis sekali Doni berbicara. “Baiklah. Nanti Tante tanyain ke Abira.” Setelah setengah jam di mobil mereka sampai di depan cabang butik Monica. “Terima kasih, Don. Maaf ya kalau Tante ngerepotin.” “Nggak, Tan. Tante gak ngerepotin kok.” “Tunggu, Tan.” Doni cepat-cepat keluar dari mobilnya, berlari ke sisi sebelahnya, membukakan pintu untuk Monica. Monica terkekeh kecil. Ada-ada saja ulah mantan pacar anaknya itu. __00__ Abira berjalan mengendap-endap ke rumah Bu Erna. Gladis tidak ikut, dia memilih untuk tetap berada di dalam mobil. Sepertinya keadaan berpihak pada Abira. Meteran listrik pas berada di atas pintu. Nampaknya kegiatan malam ini akan berjalan sesuai keinginan Abira. Kesempatan ini akan dia jadikan sebagai sebuah pendidikan untuk Bu Erna sekaligus pelajaran agar jangan berani untuk coba-coba mendekati laki-laki incarannya. Apalagi sampai menyuruh Abira meminta maaf. Itu adalah sebuah kesalahan besar. Abira mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi memberikan kode kepada Gladis yang ada di dalam mobil untuk lanjut ke step berikutnya. Sebelum keluar dari mobil, Abira sudah membagi tugas dengan Gladis. Setelah diacungkan jempol, Gladis harus menghubungi Bu Erna, menyamar sebagai pihak PLN. Dengan sebuah ponsel nokia jadul dari Abira, Gladis menekan deretan nomor ponsel Bu Erna, setelah itu langsung menekan tombol ‘telepon’. Jujur, Gladis ketakutan sebenarnya. Tapi, dia sudah terlalu jauh. Atau kata lainnya, Gladis sudah terlanjur basah, jadi lebih baik mandi sekalian. Tersambung. “Permisi. Dengan Bu Erna Kusuma?” Gladis membulatkan suaranya. Kalau tidak, Bu Erna bisa mengenali kalau yang menelponnya itu adalah Gladis. Gladis mengeluarkan effort untuk memastikan suaranya tidak bergetar dan terdengar meyakinkan. “Iya benar, dengan saya sendiri. Ini siapa?” balas Bu Erna di seberang sana. “Kami dari pihak PLN ingin memutus aliran listrik Ibu karena Ibu sudah menunggak pembayaran selama hampir setengah tahun.” Di dalam rumah, Bu Erna yang saat itu tengah duduk di depan laptop langsung kaget. “Saya? Saya sudah bayar tagihan listrik kok. Rutin setiap bulan.” “Maaf Ibu, tapi kami sama sekali tidak menerima pembayaran Ibu. Maka dengan beribu maaf, kami akan putuskan listrik Ibu malam ini.” Maafkan saya, Bu, batin Gladis. Gladis memutuskan sambungan telepon. Dia langsung menyandarkan tubuh ke jok mobil, kemudian menyalakan lampu sign sebagai tanda bahwa tugas Gladis selesai. Abira langsung mengotak-atik meteran. Seketika lampu rumah Bu Erna padam. Abira menahan suara cekikikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD