Bab 19. Pencitraan

2120 Words
Doni mengantarkan Erika sampai di depan rumahnya. Wanita itu sempat bertanya apakah Doni mau singgah atau tidak. Doni menjawabnya dengan gelengan, lalu mengatakan bahwa dia punya urusan. “Emang urusan apa sih? Kok kayaknya penting banget?” tanya Erika. Di Mall tadi Doni sudah mengatakan kalau dia punya urusan makanya mengajak Erika pulang. Tapi, baru sekarang rasa penasarannya datang dan membuat Erika ingin tahu. “Ada deh. Pokoknya gak kalah penting sama misi kita.” “Gaya amat lu!” ledek Erika. “Oke, deh. Makasih ya belanjaannya. Ini gak yang terakhir, kan?” Doni menggelengkan kepala. “Asal lo bisa puasin gue, apa pun yang lo mau bakal gue kasih.” “Gak salah? Lo yang seharusnya puasin gue,” ledek Erika. Mengingat apa yang terjadi tadi malam, membuat Erika geli sendiri. Apalagi saat Doni menyatakan kalau dia resmi K.O tadi malam. Doni menyeringai. “Lo liat aja nanti, tunggu pembalasan gue.” Erika balas menyeringai. “Oke, gue tunggu.” Doni menaikkan kaca mobilnya, kemudian melajukan mobil ke tempat di mana urusannya berada. Erika melambaikan tangan, Doni melihatnya dari spion. Dalam hatinya mengatakan akan membalas perkataan Erika dan membuktikan bahwa dia bisa mengalahkan wanita itu. Jujur, Doni sebagai laki-laki merasa malu karena dikalahkan Erika. Jadi, dia tidak akan tinggal diam. Mulai sekarang dia akan mulai kembali datang ke gym—berolahraga. Demi bisa mengalahkan Erika, Doni harus mengurangi waktu bermain-mainnya. Pukul dua siang. Perut Doni berbunyi. Dia baru ingat kalau dia belum sarapan. Pagi tadi dia buru-buru pergi ke kampus. Dan sampai di sana, dia hanya minum saja. Doni memutuskan untuk drive thru di restoran cepat saji. Sepertinya keadaan berpihak padanya. Tak lama setelah perutnya bunyi, Doni melihat restoran yang menjual ayam goreng dan burger. Doni merapat, memesan satu burger dan satu ayam goreng. Setelah membayar, Doni makan sambil mengemudi. Itu adalah tindakan yang tidak dibenarkan sebenarnya. Tapi, Doni tidak menghiraukan itu. Mengemudikan mobil dengan satu tangan bukan masalah baginya. Setengah jam kemudian, Doni sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah sederhana setelah memasuki gang. Rumah yang beberapa hari lalu dia datangi untuk meminta bantuan guna menjalankan misinya. Rumah Gladis. Sebelum mematikan mesin mobil, Doni membunyikan klakson terlebih dahulu. Di dalam rumah, Siti saat itu sedang menaik-turunkan kakinya di mesin jahit, langsung mengintip dari jendela depan begitu mendengar suara klakson. Sebuah Toyota fortuner hitam, Siti ingat kalau mobil itu adalah mobil teman anaknya. Dia pun membuka pintu. Doni keluar dari mobil, berjalan mendekat ke rumah Gladis. “Nak Doni, kan?” Siti memastikan. Doni memasang senyum ramah. “Benar, Bu. Gladis-nya ada?” Inilah urusan yang Doni maksud. Dia datang ke rumah Gladis untuk menanyakan apakah dia berhasil membujuk Abira untuk mau balikan dengannya atau tidak. Meski pun Doni tahu bahwa kemungkinan itu kecil, tetap Doni masih mempunyai sedikit harapan kepada Gladis. “Gladis belum pulang, Nak.” “Ibu tau dia ke mana?” “Wah, Ibu juga ndak tau dia ke mana. Tapi biasanya kalau belum pulang, pasti mainnya di rumah Neng Abira.” Sebenarnya Doni sudah tahu kalau Gladis tidak ada di rumah, maka bisa dipastikan dia berada di rumah Abira. Tapi, agar terlihat baik, sopan, dan ramah di hadapan orang tua Gladis, Doni harus pura-pura mendengarkan. “Emang Nak Doni ada perlu apa?” Doni menggaruk kepalanya bingung sambil memikirkan jawaban apa yang harus dia hadirkan. “Eee … tugas kelompok, Bu,” jawab Doni disertai cengiran. Siti ber-oh panjang. “Tugas kelompok toh.” “Doni pamit, ya, Bu.” “Iya, iya. Nanti kalau Gladis pulang Ibu sampein.” Doni tidak akan lupa trik dasar untuk dicap ramah—menyalami sosok di depannya. “Terima kasih, Bu,” ucapnya setelah mencium punggung tangan Siti. Sopan sekali temennya Gladis, batin Siti. “Sama-sama. Hati-hati, ya.” “Iya, Bu.” Doni masuk ke dalam mobilnya. Siti tidak tahu bahwa sosok yang disebutnya sopan itu hanya sedang berakting menjadi anak baik id depannya saja. __00__ Sepanjang jalan senyum Raka tidak kunjung hilang dari wajahnya. Aura bahagia yang tidak bisa terlukiskan terus memancar dari wajah Raka. Setelah mendengar penjelasan dari dr. Nirmala, Raka sangat bersyukur sekali. Apalagi dr. Nirmala sempat mengatakan kalau yang terjadi adalah sebuah keajaiban. Dan dr. Nirmala bilang kalau kejadian seperti itu bisa dikatakan hampir jarang sekali terjadi di dunia medis. Sungguh, kalau ada di dunia ini ajang pencarian orang paling bahagia, maka Raka akan maju menjadi pemenangnya. Tidak akan ada seorang pun yang dapat mengalahkan rasa bahagianya Raka saat ini. Orang-orang yang berlalu lalang di rumah sakit, bisa melihat ekspresi bahagia Raka. Raka menekan tombol lift. Dia menatap sekali lagi amplop putih yang berisi laporan medis. Tidak lupa mengucap syukur di dalam hati. Setelah itu barulah Raka memasukkan amplop putih itu ke dalam saku jasnya. Sampai di luar, dia baru ingat kalau mobilnya masih tertinggal di kampus. Tidak, dia tidak boleh merusak perasaan bahagianya dengan mengingat kejadian yang menyebalkan, ulah Abira tadi. Raka mencari taksi. Dia langsung menuju ke kampus. Sampai di sana masih lumayan banyak mahasiswa. Mahasiswa yang masih ada jam sampai sore masih berada di kampus. Raka membayar ongkos, kemudian segera ke lokasi parkir di mana mobilnya berada. Saat hendak menyalakan mesin, tiba-tiba dia teringat satu hal. Raka belum menjemput Vika. Dia melihat jam tangannya, sudah pukul tiga sore. Raka pun menghubungi Nadira. “Halo, Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam. Pak Raka?” balas Nadira di seberang sana. “Benar, Bu. Ini saya. Vika sudah pulang, Bu?” “Bapak tenang saja. Vika ikut saya ke rumah.” Raka menghela napas lega terlebih dahulu sebelum melanjutkan percakapan. “Syukurlah. Bisa kirimkan lokasi Ibu, saya ke sana sekarang.” “Baik, Pa. Saya kirim via chat, ya.” “Baik, Bu. Terima kasih. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Raka lega karena Vika bersama Bu Nadira. Raka menyalakan mesin mobilnya, segera menuju ke rumah Nadira. __00__ Ponsel Gladis terus berdering. Ini sudah kali ke sepuluh, dan Bu Erna belum juga bosan menghubunginya. Rasa panik Gladis terus bertambah seiring bertambahnya jumlah panggilan dari Bu Erna. “Ra, Please, lo jangan aneh-aneh deh. Lo yang buat masalah, gue yang takut,” ujar Gladis dengan tatapan penuh harap. Saat Bu Erna tiba-tiba menghubungi Gladis, awalnya dia hendak mengangkat. Namun, tiba-tiba Abira mengambil ponsel Gladis, dan membiarkan telepon itu tidak diangkat. Dan sekarang, sudah kali ke sepuluh. Entah rencana apa yang ada di kepala Abira sekarang, Gladis sama sekali tidak tahu. Tapi, yang pasti, jantung Gladis sudah dipompa dua kali lebih cepat oleh perasaan takutnya. “Ra, lo sebenarnya ngerencanain apa sih? Lo minta bantuan gue, tapi gak mau kasih tau gue. Lo yang sportif dong.” “Hust!” Abira meletakkan jarinya di depan bibir, mengisyaratkan kepada Gladis agar tidak banyak bicara. “Pokoknya lo tenang aja. Lo gak bakal kenapa-napa kok. Lo tenang, ya.” Gladis meraup wajahnya frustasi. “Gimana gue bisa tenang, Abira … yang lo ajak duel bukan orang sembarangan. Ini Bu Erna lho, crazy dosen Universitas Gunamaju. Dan lo dengan beraninya cari gara-gara sama dia?” Gladis sudah kehabisan kata-kata saking geramnya dengan sahabatnya itu. “Lo gila, Ra. Lo bener-bener gila!” Panggilan kelima belas. Sampai sejauh ini Abira belum ada niatan untuk menjawab panggilan dari Bu Erna. Abira ingin melihat sejauh mana yang bisa Bu Erna perbuat. Abira akan menilainya agar bisa memberikan perlawanan yang setimpal. Tidak seru bukan kalau dalam sebuah pertandingan sudah diketahui siapa pemenangnya? Maka dari itu Abira memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada Bu Erna. Di atas tempat tidur, Gladis sudah kehilangan semangat hidupnya. Reputasinya, kariernya, perjalanan pendidikannya sedang terancam sekarang. Dia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan. Maka satu-satunya cara yang bisa Gladis lakukan adalah ikut dalam permainan itu. Menang. Itu yang harus Gladis lakukan. Dia dan Abira harus memang melawan Bu Erna. Panggilan kedua puluh. Tidak lagi ada panggilan setelah itu. Abira berdecih. “Cuman segini yang bisa perempuan tua yang gak tau diri itu?” Gladis merampas ponselnya dari tangan Abira. “Sekarang apa rencana lo?” tanya Gladis. Perlahan, Gladis mulai menukar rasa takutnya dengan keberanian. Lebih cepat dieksekusi lebih baik, bukan? “Kesambet apaan lo?” “Udah buruan, gua udah terlanjur basah. Tanggung.” Abira menggandeng tangan Gladis. “Ini baru sahabat gue.” Gladis menghela napas. Sekali lagi dia berharap semoga yang dia lakukan adalah keputusan yang tepat. __00__ Setelah mengikuti panduan google maps sepuluh menit, Raka baru sadar kalau arah yang disarankan oleh aplikasi itu ternyata searah dengan rumahnya. Raka memperhatikan peta sekali lagi, benar, tidak salah lagi. Jalan menuju rumah Nadira satu arah dengan rumah Raka. Raka pun menyudahi menggunakan aplikasi peta itu, kemudian fokus pada hafalan jalannya saja. Raka memarkirkan mobil di depan halaman masjid karena tidak lagi ada jalan yang bisa masuk ke depan rumah Nadira. Begitu turun dari mobil, Raka langsung melihat adiknya melambai-lambaikan tangan memanggilnya. Pantas saja waktu itu Vika bilang kalau dia bertemu dengan Nadira di masjid. Ternyata rumahnya dekat sekali dengan masjid. Kalau istilah orang yang di kampung halamannya sering bilang ‘kepeleset nyampe’. Raka berdiri di depan rumah bercat hijau yang terlihat sederhana. “Maafin, Mas, ya.” “Gak apa-apa, Mas. Lagian Vika juga seneng kok di sini. Dimasakin nasi goreng lagi.” Memberitahukan apa saja yang Vika rasakan membuat Raka selalu merasa senang. Apalagi kalau Vika sudah pamer sesuatu. Rasanya Raka tidak ingin jauh-jauh dengan salah satu sumber kekuatan hidupnya. Nadira keluar dari rumah. Dia baru saja selesai mencuci piring. “Terima kasih, Bu. Maaf kalau ngerepotin.” “Tidak perlu berterima kasih, Pak. Vika juga sudah saya anggap adik sendiri, kok.” Nadira menutup mulut spontan setelah menyadari kalau kalimatnya barusan mengandung makna ambigu. Vika tertawa cekikikan. Itu membuat Nadira semakin merasa salah tingkah. Pipinya juga merona. Raka berdeham. “Ayo Vika, kita pulang.” Vika menghentikan tawanya untuk disambung nanti di mobil, menggoda Mas-nya. Vika mencium punggung tangan Nadira, kemudian menggandeng tangan Raka, ikut ke mobil. “Dadah, Bu Nadira.” Nadira ikut melambaikan tangan, membalas lambaian tangan Vika. Sampai di rumah Vika tak kunjung puas menggoda Raka. Di mobil tadi Raka sampai pusing kepalanya digoda terus oleh adiknya itu. Dan sekarang, Vika juga belum selesai-selesai. “Mas nunggu apa lagi, sih? Bu Nadira udah kasih kode barusan. Masak iya sih cewek yang kasih kode duluan? Mas gak malu apa?” Raka membuka kulkas, mengeluarkan botol air mineral, menuang ke dalam gelas. “Bu Nadira bukan kasih kode, Vika. Dia memang bener-bener menganggap kamu adiknya.” “Alah, itu kan kata Mas aja. Bilang aja kalau Mas malu. Ini Vika lho, Mas, Vika, adiknya Mas. Vika tau mana yang beneran atau mana yang kode.” Sambil meneguk air, Raka hanya bisa membiarkan adiknya itu terus mengoceh. Yang Raka herankan, dari mana pula adiknya itu belajar soal perkara kasih kode? Raka tidak menduga adiknya yang masih kelas dua MTs sudah mengerti hal semacam itu. Setelah memasukkan kembali botol air mineral ke dalam kulkas, Raka mengambil wortel, kentang, kol, dan ayam. Makan malam hari ini, Raka berniat memasak sayur sop. “Mas dengerin Vika gak, sih?” Vika mulai kelihatan kesal karena godaannya sudah tidak ditanggapi Raka lagi. “Nggak,” jawab Raka. Kali ini gentian dia yang menggoda Vika. Cemberut di wajah Vika semakin menjadi. Kesal, dia pun naik ke atas, ke kamarnya. Sambil memotong sayur, Raka menahan kekehannya sampai Vika menutup pintu kamarnya. Barulah Raka melepas tawanya. __00__ Saat di perjalan pulang, Doni seperti melihat sosok yang dia kenal. Wanita berambut seleher, sedang berusaha menghubungi seseorang. Doni meminggirkan mobilnya, merapatkan ke jalan. Dia keluar dari mobil. Tidak salah lagi, itu adalah mamanya Abira. “Tante Monica?” Melihat Doni, Monica tersenyum. “Doni? Kamu apa kabar?” Doni lagi-lagi melakukan pencitraan, dia mencium punggung tangan Monica. “Baik, Tan. Tante sehat, kan?” “Sehat, Alhamdulillah.” Doni memperhatikan mobil hitam Monica. Ban belakangnya kempis ternyata. “Tante mau ke mana? Biar Doni anter.” Monica langsung menolak halus, “Gak usah. Tante juga lagi telpon Pak Tejo ini.” Dilihat dari gayanya, tampanya Pak Tejo tidak mengangkat telepon Monica. Doni tidak boleh sampai kehilangan kesempatan ini. Kalau dia bisa mengambil hati mamanya Abira, pasti dia akan punya koneksi orang dalam, bukan? Setidaknya, pasti mamanya Abira bisa membantu sedikit-banyak. “Gak usah takut ngerepotin Doni, Tante. Doni juga kosong kok. Tante mau ke mana?” “Beneran gak apa-apa?” tanya Monica memastikan. “Iya, Tante. Nanti mobilnya biar temen Doni aja yang urus. Bengkel temen Doni kebetulan ada di sekitar sini.” Tidak sia-sia. Doni berhasil meyakinkan Monica. “Tante mau ke toko Haji Mamat, kamu tau?” “Tau, Tan.” Dono berlari-lari kecil, membukakan pintu mobil untuk Monica. Monica tertawa tipis melihat tingkah Doni. Diperlakukan Doni seperti itu mengingatkan Monica akan mendiang suaminya. Mau kapan pun dan di mana pun, Reno tidak pernah membiarkan Monica membuka pintu mobil sendiri saat berpergian bersamanya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD