Bab 18. Minta bantuan

2067 Words
Gladis menghentikan taksi. Setelah masuk dia langsung menyebutkan ke mana tujuannya. Di dalam taksi, Gladis tak henti-hentinya menghubungi Abira. Masih tetap sama, ponsel Abira masih tidak bisa dihubungi. Kepala Gladis mau pecah rasanya. Dia juga tidak habis pikir kenapa Abira bisa bertindak sejauh itu. Tindakan yang Abira lakukan tadi, sama saja mengangkat bendera perang kepada Bu Erna. Selain terkenal galak dan juga genit setiap kali melihat pria tampan, Bu Erna juga tidak mudah memaafkan orang. Itu diketahui saat ada seorang mahasiswa yang pernah membicarakannya di belakang ketahuan olehnya. Tidak segan-segan, Bu Erna memberikan hukuman yang sangat berat. Karena itu, mahasiswa tersebut pindah kuliah. Semenjak kejadian itu, tidak ada lagi mahasiswa yang berani cari gara-gara dengan Bu Erna. Dan sekarang? Abira yang masih satu tahun lebih saja menjadi mahasiswa di Universitas Gunamaju berani mencari masalah dengan Bu Erna. Taksi melambat. “Kenapa, Pak?” tanya Gladis. Dia Ingin segera sampai ke rumah Abira. Tapi kenapa taksi justru malah melambat? “Wah, macet, Neng,” ujar sopir taksi sambil menatap ke depan. Gladis menepuk jidatnya kesal. Kenapa bisa macet sekarang? Dia harus bagaimana sekarang? Jarak rumah Abira masih jauh. “Keliatannya ada kecelakaan di depan, Neng,” sopir itu memberitahu. Sepertinya benar. Samar-samar Gladis mendengar suara sirine mobil ambulance dan mobil polisi. Gladis berusaha mencari cara. Empat puluh delapan jam semakin menipis. Dia harus segera bertemu Abira. __00__ Usai dari kantin, Erika terus mengikuti Doni. Entah berapa kali Doni membentak Erika, menyuruhnya untuk tidak mengikutinya. Tapi, Erika seakan menutup daun telinganya. Dia terus berjalan di belakang Doni. “Lo ngapain sih?” ketus Doni. Dia merasa ada yang aneh. Pasti Erika sedang merencanakan sesuatu. Tipe wanita seperti Erika sangat mudah untuk ditebak. “Lo lupa janji lo kemarin?” ujarnya. Kedua alisnya terangkat. “Janji?” beo Raka. Dia merasa tidak memiliki janji pada siapa pun kecuali pada mamanya—janji untuk balikan sama Abira. “Iya. Coba lo ingat apa yang lo bilang sama gue tadi malam.” Doni mencoba mengingat kembali apa yang terjadi tadi malam. Setelah melihat mamanya berbuat adegan panas, dia langsung masuk ke kamar untuk mandi. Setelah itu dia tidak bisa tidur. Akhirnya Doni memutuskan menghubungi Erika untuk menemaninya tidur. Setengah jam kemudian Erika datang, lalu dimulailah adegan panas itu. Tidak ada yang Doni ingat sama sekali. “Gue gak inget,” tuturnya malas. Erika melipat kedua tangannya di d**a, memasang wajah smirk. “Dasar! Lo pasti cuman inget kalo lo kalah sama gue, kan?” Doni berdecih. Kalimat itu adalah sindiran baginya karena Doni kalah tadi malam olehnya. “Lo jangan seneng dulu. Tunggu pembalasan gue.” Erika mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Doni, kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Doni. Doni langsung berusaha melepaskan tangan Erika dari pinggangnya, namun Erika justru menguatkan pelukannya. “Apaan sih, Ka? Lepas, ntar diliatin orang.” Erika berdecih. “Ternyata lo cuman berani di kamar aja, ya. Gue mau tagih janji lo tadi malam. Lo bilang lo mau ajak gue belanja.” Ah, itu ternyata. Doni mengingat perkataannya tadi malam. Sebelum melakukan adegan panas, dia berjanji pada Erika akan membawanya belanja. Iya, Doni sudah ingat. Tadi malam Erika sempat menolak untuk disuruh datang ke rumahnya, menemaninya tidur. Erika bilang sudah terlalu larut. Benar memang. Doni menghubungi Erika pukul dua pagi. Setelah Raka berjanji akan mengajaknya belanja, barulah Erika mau datang. Doni melepas paksa tangan Erika dari pinggangnya. “Oke. Gue ingat.” “Nah, gitu dong.” Erika tersenyum lebar kemudian mencubit pipi Doni gemas. Doni pun menyuruh Erika masuk ke mobilnya. Tujuan mereka adalah mall terdekat dari kampus. Sampai di mall, Doni membiarkan Erika membeli barang apa pun yang dia inginkan. Pertama, Erika menarik tangan Doni ke toko baju. Entah berapa baju yang dia ambil. Setelah itu ke toko tas. Satu tas best seller di sana Erika ambil. Setelah itu ke toko parfum. Lagi-lagi best seller di sana Erika ambil. Setelah ditotal, hampir seratus juta yang Doni keluarkan untuk Erika hari ini saja. Itu bukan masalah bagi Doni. Keuntungan yang akan dia peroleh jika berhasil balikan dengan Abira jauh lebih besar dari itu. Dan menyenangkan Erika adalah salah satu hal yang harus dia lakukan. Karena nasibnya sekarang ada di tangan Erika. Selain itu, Erika juga teman tidurnya. Mengeluarkan sedikit uang untuk menyenangkan Erika dengan apa yang Doni dapatkan itu adalah tindakan yang sebanding menurutnya. “Ada lagi?” tanya Doni. Mereka sudah dua jam keliling mencari barang-barang yang Erika inginkan. Masih ada hal yang harus Doni lakukan. Erika memperhatikan barang belanjaannya. Tampaknya untuk hari ini cukup segitu saja. Di tangan Doni ada empat tote bag dan di tangannya ada dua. Sudah cukup. Erika memasang senyum .”Cukup, Beib.” Doni dibuat geli dengan panggilan itu. Mereka berdua tidak ada hubungan selain rekan kerja dan rekan ‘tidur’. Tidak lebih dari itu. Erika tertawa melihat ekspresi Doni. Wajahnya gelinya itu terlihat menggemaskan di mata Erika. Sebagai seorang wanita, Erika tidak bohong kalau Doni ini memang berwajah tampan. Kulit sawo matang dan alis tebalnya membuat Doni kelihatan gagah. Apalagi dengan dompet super tebalnya, membuat Erika semakin tidak ingin jauh-jauh dan terus dekat dengannya. “Ayo pulang, gue ada urusan.” “Let,s go!” Erika menggandeng tangan Doni yang dibalas tepisan. Namun, Erika tidak peduli. Dia tetap menggandeng tangan Doni. __00__ Pukul satu siang. Bel dibunyikan tanda jam pelajaran telah usai. Vika memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. “Jangan lupa, tugas dikumpulkan minggu depan, ya,” ujar Lalita—guru bahasa Indonesia sekaligus sahabat Nadira. “Baik, Bu,” balas murid-murid nyaris serempak. Sebelum keluar dari kelas, Lalita menatap wajah Vika terlebih dahulu. Yang dilihat menundukkan kepalanya. Lalita terkekeh. Murid yang sekarang dekat dengan sahabatnya ternyata sedikit penakut. Lalita keluar dari ruangan. Setelah itu murid-murid juga ikut keluar. Vika menggendong tasnya, ikut keluar. Halaman sekolah dipenuhi murid yang berbondong-bondong keluar gerbang. Mobil-mobil dan sepeda motor sudah banyak yang bertengger di pinggir jalan di depan gerbang menunggu anak-anak mereka. Bukan hanya itu, angkot juga berbaris di pinggir jalan. Lima belas menit berlalu dan sekolah sudah sunyi. Tinggal Vika seorang diri yang berdiri di depan gerbang menunggu jemputan. Raka tak kunjung datang. Vika mulai merasakan pegal di kakinya. Satpam mendatanginya. “Kamu pasti pegal, kan? Ayo, duduk di tempat Bapak aja.” Pak Satpam memberi tawaran. Vika menoleh. Wajah Pak Budi yang ramah membuat Vika tidak perlu merasa takut. Tidak seperti tatapan Lalita tadi di kelas. Tatapan tajam Lalita membuat Vika merasa takut. Tanpa menjawab, dia mengikuti Pak Budi di belakang menuju pos satpam. “Kamu murid yang baru pindah kemarin itu, kan?” tanya Pak Budi. Vika menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. “Kamu mau?” Pak Budi mengangkat sebuah apel. Dia menawarkannya pada Vika. Tidak juga menjawab dengan suara. Vika menanggapi tawaran Pak Budi dengan gelengan kepala yang berarti tidak mau. Setelah duduk lima menit, Nadira keluar dengan sepeda motornya. Dia melihat Vika yang duduk di pos satpam, kemudian menghentikan sepeda motornya. “Vika.” “Bu Nadira.” Vika senang sekali melihat Nadira. “Kamu belum dijemput?” “Belum, Bu.” “Ayo, ikut Ibu.” “Tapi nanti kalau Mas jemput gimana, Bu?” “Tenang. Nanti Ibu bilangin ke Mas kamu.” Vika mengepalkan jarinya sambil berkata yes! dalam hati. Vika naik ke motor Nadira. “Nadira pulang, ya, Pak.” “Iya, Bu. Hati-hati.” Nadira menoleh ke belakang. “Pegangan, ya.” “Iya, Bu.” __00__ Tidak ada jalan lain. Kalau terus di dalam taksi, menunggu kemacetan selesai, maka dia akan lebih lama sampai ke rumah Abira. Gladis memutuskan keluar dari taksi, setelah memberikan ongkos. Dia berlari-lari kecil. Setelah lima belas menit, Gladis melihat pangakalan ojek. Dia pun segera menghampiri beberapa sopir ojek yang sedang bercakap-cakap satu sama lain. Gladis langsung menanyakan apakah bisa mengantarkannya ke lokasi rumah Abira atau tidak. Salah satu sopir ojek yang paling muda, usianya kira-kira 30 tahunan menjawab pertanyaan Gladis. Wajahnya lumayan tampan. Hidungnya mancung, kulitnya juga putih. Andai situasinya lebih bagus saat ini, Gladis pasti sudah terpukau oleh wajah tampan sopir ojek itu. "Berapa, Mas?" "Tiga puluh aja." "Ayo, Mas, saya buru-buru." Setelah berkendara setengah jam membelah kemacetan, Gladis sampai di depan rumah Abira. Dia pun memberikan uang pecahan lima puluh ribu ke sopir ojek itu. Saat sopir ojek hendak memberikan kembalian, Gladis sudah masuk ke pekarangan rumah Abira. "Mbak, kembaliannya." Gladis masih mendengar ucapan sopir ojek itu menoleh. "Ambil aja, Mas." Gladis membunyikan bel rumah. Firasatnya mengatakan kalau Abira pasti belum pulang ke rumahnya. Bi Ijah membukakan pintu. "Abira ada di rumah, Bi?" "Gak ada tuh. Non Abira belum pulang." Benar, kan? Mobil Abira tidak terlihat di depan. Entah ke mana perginya gadis gila itu. Merepotkan saja. Gladis masuk dan memutuskan untuk menunggu Abira pulang. Pukul 08.00 malam. Artinya sudah lima jam Gladis menunggu Abira. Sambil tiduran membaca n****+ yang ada di kamar Abira, Gladis tidak lupa untuk menghubungi Abira. Namun masih sama, ponsel Abira belum juga bisa dihubungi. Ini membuat Gladis semakin kesal. Hingga sekarang waktu yang tersisa tinggal empat puluh jam lagi. Terdengar suara mesin mobil. Gladis segera turun dari tempat tidur, melihat dari jendela. Toyota Agya merah milik Abira pulang. Abira langsung kaget melihat Gladis ada di kamarnya. "Lo ngapain?" tanyanya ketika yang Abira lihat di kamarnya adalah Gladis. Gladis menarik tangan Abira hingga tempat tidur. "Lo buruan gih minta maaf sama Bu Erna,” ucap Gladis setelah mendudukkan Abira. "Dih." Abira meletakkan tasnya di atas nakas. "Ngapain gue minta maaf sama tu orang?" "Bu Erna marah besar sama lo, Ra gara-gara lo gangguin." Abira beranjak duduk." Bukan urusan gue dia mau marah atau nggak. Lagian, punya hak apa tu orang marah-marah sama gue? Pak Raka milik gue. TITIK." Gladis menarik napas dalam. "Lo tau kan Bu Erna segila apa? Nyawa lo di kampus bakalan tamat kalo lo gak minta maaf, Ra." "Emang Dosen kegatelan itu bilang apa, sih?" Abira tidak habis pikir kenapa Gladis sampai sebegitu takutnya. Padahal, yang Abira lakukan tidak salah sama sekali. Dia hanya menyelamatkan laki-laki yang menjadi targetnya dari Dosen yang tidak sadar usia itu. "Bu Erna bilang kalo dalam waktu dua kali dua puluh empat jam lo gak minta maaf ke dia, dia bakal buat perhitungan sama lo." Abira terkekeh. Siapa Bu Erna itu sampai berani mengancamnya? Abira bukan tipe orang yang akan goyang begitu diancam. Lagipula, Bu Erna sendiri yang cari gara-gara dengannya. Kenapa dia mencoba mendekati laki-laki yang sedang menjadi target Abira? Satu lagi. Bu Erna harus disadarkan. Wanita yang usianya hampir setengah abad itu tidak sadar umur. Masih saja kegatalan menggoda laki-laki. "Lo kok malah ketawa, sih?" Abira menatap Gladis. "Gue butuh bantuan lo." Cepat-cepat Gladis menggelengkan kepalanya. Perasaannya tidak enak. Abira pasti sedang merencanakan rencana yang aneh di kepalanya sekarang. Tidak, dia harus mencegah ide gila Abira. "Nggak … gue gak mau." "Please, Dis. Gue butuh bantuan lo." "Gue gak mau ngebahayain hidup gue, Ra. Lo tau kan Bu Erna itu segila apa? Ntar kalo gue dikeluarin dari kampus gimana?" "Pokoknya lo tenang aja. Serahin semuanya sama gue. Gue cuman mau lo bantuin gue, udah itu aja." Gladis tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Tidak membantu Abira akan mengecewakannya. Tapi, kalau Gladis membantu Abira, maka taruhannya adalah nyawanya di kampus. "Lo mau, kan?" Gladis mengangguk pasrah. "Oke, gue mau." Semoga keputusannya membantu Abira tidak berakibat fatal nanti. __00__ Nadira membawa Vika ke rumahnya. Rumah Nadira tidak jauh dari masjid. Jaraknya hanya beberapa langkah saja. Itu mengapa waktu Vika ikut sholat subuh tempo hari, dia bertemu Nadira di masjid. Rumah Nadira tidak terlalu besar. Hanya ada ruang tamu, satu kamar tidur, dan dapur di belakang. Rumah dengan cat berwarna hijau itu terlihat sederhana. "Ayo Vika, masuk." Vika duduk di ruang tamu, di kursi rotan. Nadira masuk ke kamarnya, ganti baju. Setelah selesai mengganti seragam mengajarnya dengan pakaian rumahan, Nadira keluar kamar. "Kamu mau makan apa?" tanyanya. "Gak usah, Bu. Vika juga gak laper kok." "Kamu pasti gak mau ngerepotin Ibu, kan? Gak apa-apa, Vika. Ini kan kali pertama kamu ke rumah Ibu, masak iya gak makan." Nadira tahu saja kalau Vika takut merepotkannya. Setelah mendengar perkataan Nadira barusan membuat Vika berpikir sejenak menentukan menu yang dia inginkan. "Nasi goreng aja deh, Bu." "Oke. Tunggu sebentar, ya." Saat Nadira hendak melangkahkan kaki ke dapur Vika berkata, "Vika boleh bantuin gak, Bu?" "Beneran? Lebih baik kamu nonton tv aja." "Gak, Bu. Vika bantuin aja, ya?" Nadira menyetujui permintaan Vika. Gadis itu senang karena diperbolehkan untuk membantu. Vika melepas tasnya, meletakkan di kuris. Setelah itu dia menggandeng tangan Nadira, berjalan bersama menuju dapur. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD