Bab 24. Bubur Kacang Ijo

1053 Words
Suara pintu ditutup. Raka menghela napasnya lega. Syukurlah, tidak ada hal buruk yang terjadi. Dr. Nirmala mengatakan kalau Vika sudah perlahan membaik dan bisa dibawa pulak besok atau lusa. Mereka akan memeriksa Vika terlebih dahulu, memastikan kalau dia benar-benar sudah bisa dibawa pulang. Dr. Nirmala bilang kalau Vika hanya butuh istirahat yang cukup dan minum obat yang sudah dia resepkan saja. Maka, Vika akan segera pulih seratus persen. Azan ashar berkumandang. Raka menunda dulu niatnya untuk kembali keruangan Vika. Setelah sholat ashar, barulah dia kembali ke sana. Satu alasan kenapa Raka sangat suka sekali rumah sakit ini. Selain bersih dan lengkap serta pelayanan dari pihak rumah sakit yang memuaskan, rumah sakit ini juga menyediakan musholla. Jadi, Raka tidak perlu untuk turun keluar mencari masjid jika hendak menunaikan sholat. Raka bertindak menjadi imam. Total ada sepuluh makmum di belakang, terdiri dari empat orang tua, tiga remaja, dan tiga anak-anak. Musholla rumah sakit tidak terlalu luas, mungkin muat 15-20 orang saja. Usai menunaikan sholat, barulah Raka kembali ke ruangan Vika. “Hai, Mas!” sapa Vika sambil melambaikan tangannya ke arah Raka. Wajah Vika tidak terlihat lesu seperti saat dia hendak menyuapinya tadi. Vika sudah bisa tersenyum dan bercakap-cakap. Itu terlihat dari sapaan Vika barusan. Satu lagi, suaranya juga sudah bertenaga. Nadira duduk di kursi di sebelah tempat tidur Vika. Di tangannya memegang sebuah mangkuk yang berisi bubur kacang hijau. Nadira memasang senyum di wajahnya membuat Raka menundukkan pandangan, tidak berani menatap senyum indah itu. Raka berjalan menuju sofa, duduk. “Bapak mau?” tawar Nadira. Dia memberikan mangkuk bubur yang dipegangnya ke Vika. Nadira berdiri, membuka bungkusan di atas nakas. “Saya bawa banyak lho, Pak. Bapak makan, ya.” Raka bingung harus menjawab apa. Kalau menolak, nanti tidak enak kesannya. Kalau makan, pasti akan membuat situasi semakin tidak terjelaskan karena pasti Vika akan memulai menggodanya. Pasti. Nadira sudah selesai memindahkan bubur dari bungkus plastik ke mangkuk yang dia bawa sendiri. Dia menyerahkan bubur itu kepada Raka. “Silakan dinikmati, Pak.” Raka mengangguk takzim, menerima bubur itu. “Mas cobain deh. Enak banget!” Raka memasukkan satu sendok ke dalam mulutnya. Benar kata Vika. Bubur kacang ijo buatan Nadira terasa enak di lidahnya. Dan bubur itu mengingatkan Raka pada seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Suapan kedua, Raka terdiam beberapa saat. Bubur buatan Nadira, persis mirip bubur buatan sosok yang pernah mengisi hatinya. “Gimana, Mas? Enakkan?” tanya Vika. Dia membuka mulutnya, menerima suapan dari Nadira. Raka diam. “Mas.” “I-iya, iya. Enak!” Vika senang mendengar kalau Mas-nya juga berpendapat sama dengannya kalau bubur buatan Nadira enak. Lidah Vika sudah tidak terasa pahit lagi seperti tadi pagi. Itu artinya, Vika berangsur pulih dalam waktu cepat. Mendengar Raka memuji buburnya membuat Nadira merasa senang. Dia ingin tersenyum sebenarnya, tapi, karena posisinya sedang dekat sekali dengan Vika, dia takut Vika akan menggodanya nanti kalau sampai tahu dia tersenyum. Jadi, Nadira berusaha agar jangan sampai Vika tahu apa yang dirasakan Nadira saat ini. Usai mendapat kabar kalau Vika sakit, Nadira tidak tenang mengajar. Rasanya dia ingin sekali cepat menyelesaikan pekerjaannya di sekolah dan buru-buru menjenguk Vika. Begitu bel sekolah berbunyi, Nadira langsung pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, dia langsung memasak bubur kacang ijo untuk dibawa ke rumah sakit. Tidak mungkin bukan ke rumah sakit menjenguk orang sakit, tapi tidak membawa apa-apa. Setelah bubur matang dan sudah dimasukkan ke dalam bungkus plastik, Nadira mengganti bajunya dengan gamis biru tua dan jilbab hitam. Sesudah itu, Nadira langsung menuju rumah sakit mengendarai motor scoopy-nya. Nadira sudah mendengar penjalasan Vika sakit apa dari Raka. Dia menghela napas lapang. Untung saja Vika tidak terkena penyakit yang serius. Dalam hatinya, Vika mengatakan akan menjaga Vika lebih baik lagi. Bagi Nadira, Vika sudah seperti adiknya sekarang. Itu mengapa saat mendengar Vika sakit, rasanya Nadira ingin cepat-cepat datang menjenguk. Raka senang karena Vika sudah mau makan. Itu mungkin belum terjadi kalau bukan Nadira yang datang ke sana. Hadirnya Nadira juga membuat Vika jadi lebih riang. Beban pikiran Raka otomatis berkurang karena itu. Nampaknya, jika kondisi Vika terus seperti ini, besok dia sudah bisa dibawa pulang. __00__ Gladis sudah selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan baju dari Abira. Setelah dipaksa, akhirnya Gladis mau menemani Abira untuk pergi ke kampus. “Lo tinggal pilih, nemenin gue atau jatah traktiran lo gue potong.” Kalau Abira sudah mengeluarkan jurus andalannya itu, maka tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan Abira. Gladis harus berpikir dua kali, jangan sampai jatah traktirannya dipotong Abira. Bisa gawat nanti perutnya. “Mau ke mana? Bukannya kamu gak ada kelas hari ini?” tanya Monica heran melihat Abira dan Gladis berpamitan dengannya. Saat itu Monica tengah membuka majalah busana. Gladis menguap, dia masih ngantuk. “Mau ke kampus, Ma. Abira mau coba cari Raka di sana.” “Cari Raka? Kenapa gak ditunggu pulang aja?” “Gak bisa, Ma. Soalnya ntar ayamnya keburu dingin.” Seketika mata Gladis melotot. Tadi, saat Abira bilang dia memintanya untuk menemaninya ke kampus mencari Raka karena ada hal yang mendesak. Abira bilang seperti itu. Itulah mengapa dengan terpaksa, Gladis menuruti keinginan sahabatnya itu. Setelah mendengar kalau ke kampus hanya ingin memberikan ayam saja, sontak membuat Gladis membulatkan matanya. “Lo bilang ada hal penting. Ini hal pentingnya? Ayam?” Abira memamerkan gigi rapinya. “Ini penting, Dis. Kalo ayamnya dingin gimana? Kan jadi gak mantep lagi sensasinya di lidah.” Monica tertawa melihat dua anak remaja di depannya. “Gak ngerti lagi gue jalan pikiran lo gimana, Ra.” Gladis geleng-geleng kepala. Dia menyalami Monica setelah itu. “Gladis pamit pulang, Tante.” “Pulang? Terus gue ke kampus sama siapa?” Gladis melangkahkan kaki, tidak acuh. “Sama ayam lo tu sana!” Monica terkekeh. “Udah, lain kali aja kasih ayamnya ke Raka. Mending kamu ikut Mama, yuk.” Abira lesu. Dia meletakkan tempat berisi ayam di atas meja kaca, kemudian menghamburkan tubuhnya ke sofa. Rencananya gagal. Padahal, dia ingin mencoba memulai untuk mendapatkan hatinya Raka. Dia sudah mandi pagi-pagi, ke rumah Raka, tapi malah tidak dapat apa-apa. Monica mengelus kepala Abira. “Mau gak?” Abira membetulkan posisi duduknya. “Ke mana, Ma?” “Udah ikut aja. Kamu pasti suka.” “Oke, deh,” jawab Abira. Tidak ada salahnya, ketimbang dia di rumah, suntuk seharian karena tidak jadi ketemu Raka, lebih baik dia pergi ikut mamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD