Bab 25. Paket?

2115 Words
Saking terbawa emosinya, Gladis sampai menutup pintu kamarnya sedikit kuat. Di ruang tengah, Siti yang sedang menjahit terperanjat. Gladis mengganti pakaian yang dipinjamkan Abira dengan baju kaos dan celana biasa. Dia merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sebelum itu Gladis sempat mengambil n****+ terlebih dahulu dari atas meja belajarnya. Dia pulang ke rumah naik angkot. Dari rumah Abira hingga sekarang sudah tiba di rumahnya pun, rasa kesalnya hanya berkurang beberapa persen saja. Yang seharusnya ini menjadi hari liburnya, malah jadi diganggu gara-gara keanehan tingkah sahabatnya yang demi-demi ayam, rela pergi ke kampus meski tidak ada urusan. Terdengar suara pintu diketuk. Siti beranjak dari tempat kerjanya membukakan pintu. Kurir pengantar paket berdiri di depan rumah Gladis. “Dengan saudari Gladis?” tanya kurir itu ramah. “Oh, itu nama anak saya, Pak. Sebentar, ya, Pak.” Siti pergi ke kamar Gladis. Sampai di depan sana dia ketuk pintu kamar anaknya. “Gladis, Dis. Ada paket tuh buat kamu.” Gladis yang saat itu sudah mulai tenggelam dalam n****+ bacaannya menjawab, “Paket? Buat Gladis, Bu?” “Iya, buat kamu katanya.” “Paket? Paket dari siapa, ya?” gumamnya. Gladis turun dari tempat tidur, keluar ke depan rumah mendatangi kurir. “Dari siapa, ya, Pak?” Laki-laki yang umurnya berkisar 40 tahunan itu menggeleng tidak tahu. “Gak ada nama pengirimnya.” “Ya udah deh, Pak.” Gladis menerima paket itu. “Silakan tanda tangan di sini.” Kurir itu menyerahkan tanda terima untuk ditandatangani. “Terima kasih.” “Sama-sama, Pak.” Setelah menutup pintu, Siti bertanya paket yang diterima Gladis itu dari siapa. “Gladis juga gak tau, Bu. Gladis gak ada belanja online.” “Coba kamu periksa alamatnya. Ntar salah kirim.” Tidak ada yang salah. Alamat dan nama penerima paket itu memang benar atas nama Gladis. Box berukuran 20x10x8 itu diguncang Gladis di samping telinganya. Terdengar suara benda beradu di dinding box. “Bener buat kamu?” Gladis mengangguk. “Bener, Bu. Nama penerima dan alamatnya bener kok. Tapi dari siapa, ya?” “Palingan orang iseng yang mau kasih kejutan buat kamu.” Bisa jadi. Atau itu mungkin saja dari Abira sebagai permintaan maafnya atas pembohongan yang dia lakukan tadi. Kalau benar, maka Gladis tidak akan membuka paket itu sekarang sampai Abira meminta maaf sendiri. Gladis membawa masuk paket itu ke kamarnya. __00__ Pukul lima sore, Abira dan Monica turun dari taksi di depan rumah. Bi Ijah keluar dari rumah, membantu menurunkan barang-barang belanjaan. Ya, Monica ternyata mengajak Abira pergi ke mall untuk sekadar makan, nonton, dan setelah itu mereka belanja bulanan. Monica memang seperti itu, lebih sering dia yang belanja bulanan ketimbang Bi Ijah. Karena menurut Monica, memberikan tugas belanja bulanan malah membebani Bi Ijah. Satu tahun lagi genap usia Bi Ijah setengah abad. Pergi ke pasar, membawa banyak belanjaan, pasti akan menyusahkan wanita tua itu. Jadi, Monica berinisiatif meluangkan waktunya untuk belanja bulanan. Begitu masuk, Abira langsung duduk di sofa. Ini, adalah kali pertamanya ikut Monica belanja ke pasar. Jalanan padat, becek, sumpek, membuat Abira tidak nyaman. Di pasar, Abira merasa tidak betah. Bolak-balik dia meminta pulang kepada Monica, namun Monica tidak menggubris karena memang kegiatan belanja bulanan itu belum selesai. Dibantu satu kuli panggul yang usianya masih 16 tahun, barang-barang dapur seperti: beras, minyak, macam-macam sayuran, telur, dan banyak lagi dimasukkan ke dalam taksi. Ya, Taksi. Mobil Monica masih di bengkel. Seperti biasa, Monica selalu memberikan bayaran sepuluh kali lipat dari seharusnya kepada kuli panggul itu. Rasanya damai sekali dan bahagia ketika melihat kuli panggul itu tersenyum melihatnya tersenyum. Anak-anak seusia itu seharusnya duduk di bangku sekolah, namun karena faktor ekonomi, mengharuskannya merelakan bangku sekolah untuk diganti dengan bekerja. Seluruh badan Abira rasanya gatal dan lengket sekali. Ingin mandi, tapi masih terasa sekali letih tubuhnya. Juga pegal di kaki. Jadi, Abira memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak tubuhnya. Bi Ijah dan Monica sudah membawa semua barang belanjaan ke dapur. Monica ikut duduk di sofa ruang tengah. “Oh iya, Bu. Tadi ada orang nganterin paket. Katanya buat Non Abira.” Abira menegakkan tubuhnya. “Paket? Buat saya?” “Iya, Non. Bibi taruh di meja makan tuh.” Abira bangkit, berjalan ke meja makan. Kotak yang sama persis ukurannya dengan paket yang tadi di rumah Gladis dipegangnya sekarang. Abira memeriksa alamat dan nama penerima. Benar, paket itu memang ditujukan padanya. Aneh. Abira sama sekali tidak memesan apapun di aplikasi belanja luring. Dan dia juga tidak menerima pesan atau ada salah satu dari temannya bilang kalau mau mengiriminya paket. Sudahlah. Abira tidak merasa paket itu penting. Lagipula, buat apa juga dia memikirkan siapa pengirim paket itu. Baiklah, waktu istirahat sudah selesai. Abira harus segera naik ke atas untuk membersihkan tubuhnya dari debu yang lengket. Dia membawa paket itu bersamanya ke atas. Usai mandi, Abira memakai piyama berwarna merah. Badannya masih terasa pegal. Abira sampai sabunan dua kali, tapi menurutnya aroma pasar masih tercium pekat di tubuhnya. Jadi, Abira menyabuni badannya sekali lagi. Tiba-tiba dia teringat dengan Raka. Abira pun membuka jendelanya, melihat ke arah rumah Raka. Mobil Toyota fortuner putih masih belum ada di halaman rumah Raka. Artinya, Raka masih belum pulang. Tapi, kemana perginya Raka sampai sore begini belum pulang? __00__ Pukul 07.00 pagi. Nadira sudah sampai di rumah sakit lima belas menit yang lalu. Itu membuat Raka terkejut dan juga merasa tidak enakkan. Pasalnya, atas permintaan Vika tadi malam, dia jadi datang sepagi ini untuk membantu Vika pulang ke rumah. Tadi malam, dr. Nirmala memberitahukan kalau Vika boleh dibawa pulang esok hari. Raka senang mendengarnya karena Vika pulih dalam waktu yang terbilang singkat. Nadira juga ikut senang mendengarnya. Dr. Nirmala memberikan resep obat yang harus ditebus Raka. Malam itu, Vika meminta Nadira untuk datang pagi-pagi, membantunya beres-beres pulang. Raka tentu saja menolak ide Vika. Ide Vika itu malah merepotkan Nadira. Apalagi, besok bukan hari libur, masih hari sekolah. Namun, Nadira mengatakan tidak apa-apa. Nadira bilang kalau dia senang kalau bisa membantu Vika esok hari. Kalau Nadira sudah menyatakan kalau dirinya tidak keberatan, maka tidak ada yang bisa Raka lakukan selain menyetujui ide adiknya itu. Karena lokasi yang disarankan dr. Nirmala untuk menebus obat tidak sejalan dengan arah jalan pulang, Raka memutuskan untuk menebus obat malam itu juga. Lagian, saat itu masih pukul Sembilan malam, jadi masih sempat untuk menebus obat. Vika sudah berganti pakaian. Wajahnya sudah jauh lebih cerah daripada saat pertama kali datang ke rumah sakit ini. Wajah Vika sudah seperti biasa, terlihat ceria. “Ibu hari ini nginep di rumah Vika, ya.” Nadira tersenyum. Dia memasukkan baju kotor Vika ke dalam plastik. “I—” “Gak boleh gitu, Vika. Bu Nadira kan harus ngajar.” Vika menggelengkan kepala sambil memanyunkan bibir. “Pokoknya Vika mau Bu Nadira malam ini tidur sama Vika.” Nadira menganggukkan kepalanya, memberi kode kepada Raka untuk tidak melanjutkan membujuk Vika agar tidak meminta Nadira menginap di rumahnya. “Iya, iya. Ibu bakal tidur sama kamu.” Vika bersorak ria. Wajahnya yang masam langsung berubah cerah. Barang-barang Vika sudah beres semua. Nadira membantu Vika turun dari tempat tidur. Mereka berjalan bersama menuju mobil. __00__ Sama seperti Vika, pagi ini Rio juga sudah diperbolehkan pulang. Dengan catatan, tujuh hari ke depan Rio harus kembali ke rumah sakit untuk pemeriksaan jahitan di kepalanya. Jahitan di kepala Rio cukup lebar. Butuh hingga sepuluh jahitan. Lebih panjang daripada ukuran kelingking orang dewasa. Botol yang menghantam kepala Rio memang sudah dalam kondisi pecah separuh waktu itu. Dan yang kena adalah bagian yang tajamnya. Untung saja Rio saat itu sempat menghindar, jadi luka yang ditimbulkan tidak terlalu dalam. Karena shock dan terlalu banyak darah yang keluar, membuatnya pingsan. Fadli dan Bagas sudah datang. Tadi malam, Doni menyuruh mereka berdua pulang ke rumah masing-masing, biar dia seorang yang menunggui Rio. Karena sudah tidak ganti baju juga dari kemarin, Bagas dan Fadli langsung menolak tanpa berpikir dua kali. Pagi ini, atas permintaan Doni, mereka datang untuk menjemput Rio. “Emang lo mau ke mana?” tanya Bagas sambil memasukkan baju kotor Rio. Fadli duduk di sofa, sambil menyantap bubur ayam yang dia beli di sekitar rumah sakit sebelum masuk ke ruangan Rio. Dia menikmati buburnya sekalian menyimak pembicaraan. “Ada hal yang harus gue urus.” “Gue liat-liat belakangan ini lo sok sibuk, ya?” Bagas membantu Rio turun dari atas tempat tidur. Kepala Rio masih diperban. “Emang kenyataannya gue sibuk. Lo mau apa?” “Widih, galak amat!” “Gue ikut dong.” Fadli bangkit. Dia sudah selesai menyantap sarapannya. “Lo berdua gak boleh ikut. Lo berdua anterin Rio ke rumah.” “Curang lo!” Doni memberikan black card-nya kepada Rio. “Lo boleh beli apa pun yang lo butuhin. Ingat, hanya yang lo butuhin.” Rio tidak bereaksi. Dia menatap black card di tangannya. Kartu itu membuat Rio hendak meneteskan air matanya saat itu juga. “Gue boleh?” Bagas menaik-naikkan alis matanya. “Gue juga boleh, kan?” Fadli ikut menimpali. “Ye, lo kalo urusan uang aja pada gerceo. Lo berdua gak boleh lebih dari sepuluh juta.” Fadli mengepalkan tangannya seraya berkata yes! Bagas juga ikut senang. Ternyata dia dipaksa Doni bangun pagi-pagi ternyata ada juga untungnya. Sepuluh juta sudah lebih dari cukup untuk membayar uang kost-annya selama tujuh bulan. Dia hanya tinggal menambah lima ratus ribu saja. Doni pamit, lalu segera keluar dari rumah sakit menuju tempat di mana urusannya berada. __00__ Kuping Abira bergerak-gerak setelah mendengar suara mesin mobil yang sudah dua hari ini dia tunggu kepulangannya. Abira langsung melihat dari jendela kamarnya. Tidak salah, kuping Abira sudah bisa diandalkan sekarang. Mobil fortuner putih yang sudah dua hari tidak terparkir di depan rumah laki-laki incarannya itu akhirnya pulang. Senang sekali rasanya perasaan Abira saat itu. Akhirnya, dia bisa melihat Raka setelah dua hari wajahnya hadir dalam pikiran Abira. Senyum yang tadinya merekah, tiba-tiba lenyap dari wajah Abira. Perempuan yang mengenakan hijab biru dengan gamis merah maroon itu yang merenggut senyum Abira. Terlihat dari atas sana, perempuan itu tampak akrab dengan Raka. Bahkan Vika juga. Ada rasa yang sulit dijelaskan dalam diri Abira sekarang. Perasaan itu membuat mood-nya berubah drastic saat itu juga. Hati Abira terasa ditusuk sesuatu. Terasa perih, namun tidak tahu apa itu. Abira tidak mengerti kenapa tiba-tiba matanya berair sekarang. Bahkan, saat ini, Abira tengah berusaha menghentikan air mata di kelopak matanya untuk bertambah banyak. Abira mendongak. Dia mengipas matanya dengan telapak tangan, berharap air matanya bisa mengering. Tidak tahan melihat kejadian di luar, Abira memutuskan menutup jendelanya, kembali melanjutkan kegiatannya, bersiap-siap untuk pergi ke kampus. __00__ Raka mengeluarkan kunci dari saku celananya. Sejak keluar dari rumah sakit hingga sekarang, dia terus memegangi tangan Nadira. Bahkan di dalam mobil juga. Raka tidak bisa berbuat apa-apa. Selagi dengan itu Vika bisa jadi lebih baik dan senang, Raka harus mengikutinya. Meski … sebenarnya dia merasa tidak enakkan karena takut jika Vika malah membuat Nadira merasa tidak nyaman karena terus lengket dengannya. Memegang tas berisi barang-barang Vika, Nadira naik ke atas tangga, ikut ke kamar Vika. Raka langsung menuju dapur untuk memasak sarapan. Dia sudah ambil cuti hari ini, jadi dia bisa meluangkan waktunya di rumah untuk Vika. Satu lagi sumber rasa tidak enakkan Raka pada Nadira: gara-gara Vika, Nadira jadi ikut mengambil cuti mengajar. Entahlah. Tapi, dari apa yang Raka lihat, Nadira sepertinya senang melakukan itu. Entah itu memang yang Nadira rasakan atau hanya asumsi Raka belaka. Tapi, Raka berharap semoga asumsinya itu benar adanya. Karena kalau sampai itu hanya akting Nadira belaka, maka terbukti kalau Vika sudah membuat Nadira tidak nyaman. Raka menggulung lengan kemejanya. Dia membuka kulkas, melihat persediaan apa yang ada di dalam sana. Sekalian berpikir mau dimasak apa bahan masakan yang ada di kulkas. Ada tempe, tahu, sayur kol, wortel, dan labu jipang. Raka menyempatkan diri menggaruk kepalanya terlebih dahulu. Dia bingung mau diolah menjadi apa bahan-bahan barusan. Setelah berpikir beberapa menit, Raka memutuskan untuk memasak sambal tempe tahu, lalu membuat bakwan. Untuk kuah, Raka akan keluar mencari pedagang makanan. Raka belum berbelanja minggu ini. Ini adalah minggu keduanya di rumah baru. Tidak terasa, seminggu sudah proses Raka untuk melupakan kenangan yang membuatnya hampir tidak bisa tidur setiap malam. Setelah menginjak minggu kedua di rumah barunya itu, Raka mengalami perubahan yang sangat membantunya. Walau pun belum nyenyak seratus persen, tapi, setidaknya Raka sudah bisa tidur malam. Seiring berjalannya waktu, Raka pasti bisa melupakan kejadian itu. Tak terasa, dia sudah siap memotong kubus tempe dan tahu. Dia mencuci cabe, bawang, dan tomat, kemudian dipotong-potong, baru dihaluskan menggunakan blender. Ketika menumis sambal, aroma yang dihasilkan cukup kuat. Bahkan sampai masuk ke kamar Vika. Nadira yang saat itu tengah bercerita dengan Vika, berhenti sejenak, menikmati aroma masakan Raka yang tercium lezat. Nadira tidak menyangka kalau Raka bisa memasak sehebat itu. Aroma yang tercium tidak bohong. Pasti masakan Raka tervalidasi kelezatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD