Bab 31. Buka Paket

1591 Words
Dibangunkan Siti susah payah, akhirnya Gladis beranjak dari tempat tidurnya, mandi, siap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah memakai pakaian, Gladis membereskan tasnya dengan buku-buku materi yang harus dia bawa hari ini. Selesai, Gladis keluar kamar untuk sarapan. Tidak ada pembicaraan khusus sewaktu sarapan itu. Siti bertanya tentang apa yang pelanggannya katakana pada anaknya waktu mengantarkan pakaian. Gladis menyampaikan kalau pelanggan itu puas dengan hasil jahitan ibunya. Juga dalam waktu dekat akan kembali menempa di sana. Naira menikmati nasi gorengnya dengan hikmat. Abangnya Gladis juga sama. “Randy, kamu temenin Ibu nanti sore bisa?” tanya Siti. Randy menelan nasi goreng dalam mulutnya. “Ke mana, Bu? Belanja kain?” Siti mengangguk. “Oke, Bu.” Selesai sarapan, Gladis kembali ke kamarnya karena ponselnya tertinggal di kamar. Begitu masuk ke dalam kamar, tiba-tiba pandangannya tertuju ke paket yang tempo hari Gladis terima. Di bawah meja belajarnya, Gladis mengambil paket itu, membawanya ke atas tempat tidur. Sebelum membuka, Gladis sempat memperhatikan sejenak paket itu. Dia tengah memikirkan siapa kira-kira orang yang mengirimkan paket itu padanya. Dan untuk apa? Diangkatnya paket itu. Dibungkus selotip kuning seluruh bagiannya, Gladis mengguncang kembali. Tidak terdengar apa-apa kecuali hanya sedikit bunyi gesekan. Gladis pun membuka paket itu dengan pisau cutter mini yang memang selalu ada di kamarnya, untuk meraut pensil atau memotong benda-benda lainnya. Saat dibuka, Gladis langsung dikagetkan dengan beberapa foto yang mengingatkannya akan tragedi sepuluh tahun lalu. Tangan Gladis bergetar. Dia memberanikan diri untuk mengeluarkan beberapa foto itu dari dalam sana. Darah, bagian-bagian mobil yang berceceran, semua itu seketika membuat Gladis menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Dia harus memberitahukan perihal ini kepada Abira. Diambilnya ponsel di atas nakas, Gladis memotret satu persatu foto. Setelah selesai mengambil gambar, Gladis memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam kotak paket, kemudian menyimpannya di bawah tempat tidur. Gladis keluar kamar. Dia memesan ojek online untuk pergi ke kampus. __00__ Di kelas, Abira dan Gladis tidak fokus. Terutama Abira. Foto-foto yang Gladis tunjukkan, juga membuatnya mengingat kembali tragedi 10 tahun lalu itu. Kalau Gladis mendapatkan paket yang sama dengannya, yang isinya ternyata foto-foto di lokasi kecelakaan, itu artinya paket yang dia terima tempo hari dari orang yang tidak dikenal, berpotensi besar isinya juga foto yang sama. Begitu Bu Erna selesai menerangkan materi, Gladis dan Abira langsung pulang. Masih ada tiga kelas lagi sebenarnya, tapi, mereka harus melihat paket yang ada di rumah Abira. Sampai di rumah, Abira dan Gladis langsung masuk ke kamar, membuka paket itu. Abira terkejut dan Gladis dibuat terkejut dua kali. Benar dugaan Abira. Isi paketnya sama dengan isi paket yang Gladis terima. Foto-foto itu. Siapa yang mengirimkannya pada mereka? Untuk apa? Apa yang diinginkan si Pengirim Paket dengan mengirimkan foto-foto itu pada Abira dan Gladis? Gladis menatap Abira. “Siapa dalangnya, Ra?” “Gue juga gak tau, Dis. Tapi, gue ngerasa ada sesuatu yang diinginkan oleh pengirim paket ini.” “Maksud lo?” tanya Gladis tidak mengerti. “Kita liat aja gimana perkembangannya. Lo masih inget kan, korban dalam kecelakaan itu bukan kita berdua aja. Masih ada dua keluarga lagi. Tugas kita sekarang, kita harus cari tau dua keluarga itu lagi.” Gladis setuju. Dia ingat kalau sepuluh tahun lalu, ada empat keluarga yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Dua di antaranya adalah dua ayah mereka. “Untuk sekarang, kita harus bertingkah seperti gak terjadi apa-apa. Lo harus inget itu, Dis.” Gladis mengangguk. Dia paham apa yang mau Abira maksudkan. Kalau mereka bertindak atau memberitahukan orang-orang mengenai kiriman foto itu, pasti si Pengirim Foto akan merasa rencananya berhasil. Oleh sebab itu, mereka harus bertingkah biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. “Terus kita harus apa sekarang?” “Ya seperti biasa, gue bakal jalanin rutinitas gue buat ngedapetin Raka. Dan lo fokus bantuin nyokap lo kayak biasa. Kita tunggu apa pergerakan orang itu selanjutnya. Hari menjelang siang. Gladis sudah kembali ke rumahnya. Dia mendapat pesan dari abangnya kalau dia tidak bisa menemani Siti berbelanja kain. Kebetulan Gladis juga sudah keluar dari kampus, jadi dia memutuskan untuk menemani ibunya belanja kain. Abira sudah menyimpan foto-foto tadi ke dalam sebuah kotak mainannya dulu. Kardus paket sudah dia buang. Harus Abira katakana bahwa dia tengah memikirkan siapa gerangan orang yang mengirimkan foto itu. Saat ini, masih sama sekali belum ada petunjuk terlihat. Semuanya masih abu-abu. Oleh sebab itu, dia mengambil tindakan untuk menunggu pergerakan selanjutnya. Sembari memikirkan itu, Abira mencari tahu di mana lokasi sekolah adiknya Raka. Sebentar lagi pukul satu siang. Abira berniat untuk menjemput Vika di sekolahnya. Ketemu. MTs Darul Arifin. Abira tahu lokasi sekolah itu. Pukul setengah satu siang, waktunya berangkat. Bi Ijah memanggil Abira ketika menginjak anak tangga terakhir. “Non, mau ke mana? Gak makan dulu?” “Nanti aja, Bi. Saya ada urusan.” “Oh, ya sudah.” Abira masuk ke dalam mobilnya, melaju menuju lokasi di mana adiknya Raka bersekolah. Sampai di sana, masih pukul satu kurang lima sepuluh menit. Jarak tempuh hanya dua puluh menit. Abira menunggu di area penjemputan yang disediakan sekolah, di depan gerbang. Sudah ada juga beberapa mobil yang berbaris menunggu anak-anak mereka. Bel berbunyi. Gerbang sekolah pun dibuka. Anak-anak berhamburan keluar. Mereka mendatangi mobil-mobil orang tua mereka. Juga ada beberapa orang tua yang menyusul anaknya mengendarai sepeda motor. Hingga tidak lagi ada anak sekolah yang keluar dari gerbang, Vika juga belum kelihatan. Abira memutuskan untuk keluar dari mobilnya, mendatangi pos satpam. “Permisi, Pak. Liat Vika?” tanyanya. “Vika? Vika murid baru itu, ya?” “Ee… Iya, Pak.” “Palingan masih di ruangan Bu Nadira, Mbak.” “Bu Nadira? Bu Nadira siapa?” Pak Galuh melihat Nadira hendak keluar gerbang dengan motornya. Vika dibonceng di belakang. “Itu dia.” Tunjuk Pak Galuh. Abira melihat scoopy putih dengan gadis berhijab sebagai pengemudinya. Di belakangnya terlihat anak perempuan yang juga berhijab, memeluk Nadira. “Saya pulang, Pak,” ujar Nadira. Dia juga sempat melempar senyum kepada Abira. Kepala Abira berputar mengikuti arah Nadira. Tanpa sadar, Abira mengepalkan tangannya kesal. Siapa lagi gadis itu? Berani sekali dia mendekati adiknya Raka! Untuk apa? Untuk mendapatkan hatinya? Tidak akan Abira biarkan. Abira masuk ke dalam mobilnya, berniat untuk mengejar Nadira. Saking kesalnya, Abira sampai lupa bilang terima kasih kepada Pak Galuh. Abira sedikit terkejut ketika tahu kalau rumah Nadira ternyata tidak jauh dari rumahnya. Pantas dia bisa ketemu dengan Raka, rumahnya di samping masjid. Abira semakin kesal karena Nadira tidak langsung mengantarkan Vika ke rumahnya. Untuk apa membawa Vika ke rumahnya? Cari perhatian? Tidak bisa dibiarkan. Abira keluar dari mobilnya, mendatangi rumah Nadira. Abira mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh Vika. Abira yang saat itu tengah memasang wajah kesal, langsung memasang senyum. “Halo, Vika!” Vika bersembunyi di balik pintu. Ini kali pertamanya melihat Abira. Setiap kali bertemu orang baru, Vika akan terlihat seperti orang ketakutan. “Eh, gak apa-apa. Kamu udah makan?” tanya Abira. Dia berusaha memasang wajah seramah mungkin. “Siapa—” Omongan Nadira berhenti ketika melihat sosok Abira di depan rumahnya. “Maaf, Mbak siapa, ya?” “Perkenalkan, nama saya Abira. Saya ke sini ingin menjemput Abira atas perintah Pak Raka.” “Perintah Pak Raka? Anda mahasiswa Pak Raka? Tapi maaf, Pak Raka sendiri tidak ada mengabari saya kalau Vika akan dijemput orang lain. Saya tidak bisa membiarkan anda membawa Vika.” Mendengar itu membuat rasa kesal Abira naik dua kali lipat. “Tapi ini atas perintah Pak Raka sendiri.” “Vika, kamu masuk ke dalam, ya.” Nadira tidak tahu menahu siapa wanita yang mengaku diperintah Raka untuk menjemput Vika. Sama seperti Abira, ini juga kali pertama Nadira bertemu dengan Abira. Lalu tiba-tiba dia mengaku disuruh oleh Raka untuk menjemput adiknya? Itu mustahil! Lagipula, Raka tidak mengonfirmasi bahwa akan ada yang menjemput adiknya. “Maaf, Mbak silakan pergi dari rumah saya.” “Saya tidak akan pergi sebelum membawa Vika pulang.” “Saya tegaskan, saya tidak akan membiarkan Vika dibawa pulang oleh anda.” Abira ingin melampiaskan kemarahannya di tempat saat itu juga, namun, urung. Akal sehatnya langsung memberikan sinyal bahwa dia harus mundur. Kalau Abira bertindak jauh saat itu juga, maka bukannya bisa mendapatkan hati Raka, yang ada malah Raka akan semakin jauh dengannya. Abira memandang Nadira dengan tatapan tidak suka. Merasa terintimidasi, membuat Nadira angkat bicara. “Mbak pulang sekarang, atau saya laporkan ke Pak Raka?” Abira memilih untuk mengalah. Dia masuk ke dalam mobil, pulang ke rumahnya. Hingga mobil Abira tidak terlihat, barulah Nadira masuk ke dalam rumahnya. Nadira tidak habis pikir siapa wanita yang mengaku-ngaku disuruh Raka untuk menjemput adiknya itu. Terbesit di kepalanya untuk segera melaporkan kejadian barusan kepada Raka. Namun, tiba-tiba saja Nadira juga kepikiran kalau dia melaporkannya sekarang malah akan mengganggu kerja Raka. Nadira mengurungkan niatanya. Dia masuk ke dalam rumah. Vika bertanya kepada Nadira siapa wanita itu. “Dia mahasiswa Mas kamu. Dia disuruh Mas kamu buat nyusul kamu. Tapi, Ibu bilang kalo kamu masih ada kelas sama Ibu. Jadi belum bisa pulang. “Tapi, kenapa kelihatannya kasar sekali, Bu?” Nadira tertawa. “Bukan kasar, tapi tegas. Dia hanya ingin melaksanakan tugas yang Mas kamu berikan. Wajar kalau begitu.” Nadira harus berkata demikian agar Vika tidak berpikiran macam-macam terhadap Abira. Meski memang yang Vika katakan ada benarnya. Cara Abira berbicara tadi memang sangat menakutkan untuk anak seperti Vika. __00__ Di dalam mobil, Abira memandangi rumah Nadira dengan kesal. Dia baru saja menyingkirkan Bu Erna. Dan sekarang sudah ada lagi target yang harus dia singkirkan. Abira akan melihat bagaimana perkembangan wanita itu. Kalau sampai terlalu dekat atau berani-berani mendekati Raka. Abira tidak akan segan untuk berbuat hal serupa seperti yang dia lakukan pada Bu Erna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD