Bab 30. Foto

1505 Words
Hari sudah siang, dan Abira masih setia dengan kegiatannya yang tadi—memandangi layar ponsel, menunggu kedatangan Raka. Gladis sudah bosan mengatakan kalau Raka tidak akan datang. Tapi, Abira tidak percaya dan masih kekeuh, yakin kalau Raka pasti akan datang memenuhi undangannya. Waktu Abira mengundang Raka, harapannya saat itu sudah besar sekali kalau laki-laki incarannya itu pasti akan datang. Lagipula, acara itu bukan acaranya Abira, melainkan acara mamanya. Raka pasti segan kalau tidak datang. Itu dalam pikiran Abira, entah dalam pikiran Raka bagaimana. Tetapi, sekarang, Abira mulai goyah. Sudah siang dan Raka tak kunjung datang. Hingga sore hari pun, Raka tak kunjung datang. Tampaknya apa yang Gladis katakan ada benarnya. Raka memang tidak akan datang ke acara grand opening butik mamanya. Abira pun masuk ke dalam butik setelah hampir dua jama berdiri di luar menunggu Raka datang. Berdiri, memindai pandangan, beberapa kali mobil yang mirip punya Raka lewat. Setiap kali mobil terlihat dari kejauhan, Abira senang. Ketika mobil itu dekat, nomor platnya tidak sesuai dengan nomor plat mobil Raka, senyum Abira pudar kembali. Terhitung tiga kali Abira seperti itu. Sampai di dalam langsung disambut Gladis dengan pertanyaan yang membuat Abira malu sendiri untuk menjawabnya. “Mana Pak Raka? Gak dateng, kan? Kan udah gue bilang, lo-nya aja ngeyel.” Gladis sudah bolak-balik mengatakan kalau Raka tidak akan datang. Tapi, Abira tetap saja keras kepala, dan percaya kalau Raka akan datang. Kesal, akhirnya Gladis pun membiarkan Abira berdiri di depan butik seorang diri menunggu sosok yang tidak akan datang. Abira hanya bisa menghela napas. Dia hanya bisa pasrah. Gladis sepenuhnya benar. Dia saja yang terlalu berharap. Tapi tak apa, Abira masih akan terus berusaha mendapatkan hati Raka. Dia masih yakin, dia pasti bisa. __00__ Abira dan Monica sampai di rumah malam hari pukul Sembilan malam. Acara grand opening hari ini benar-benar di luar ekspektasi pokoknya. Rasa lelah mereka terbayarkan dengan itu. Sungguh, pengalaman acara hari ini tidak akan terlupakan. Sampai di rumah, Abira langsung mandi, membersihkan tubuhnya. Gladis sengaja pulang langsung ke rumahnya karena ibunya memintanya untuk mengantarkan jahitan ke pelanggan. Ibunya Abira tidak bisa naik motor. Dan kebetulan abangnya Gladis sedang keluar. Jadi, hanya Gladis-lah satu-satunya harapan Siti agar jahitan pelanggan diantar malam itu juga karena besok pagi sudah harus dipakai. Selesai mandi, Abira mengeringkan rambutnya. Di kepalanya, Abira sedang memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan hati Raka. Apakah dia harus seperti mamanya? Menunggu kejadian tak terduga terlebih dahulu baru kemudian Raka bisa menyukainya? Abira menggelengkan kepala. Tidak. Siapa yang tahu kalau kejadian itu justru akan berakhir bukan seperti apa yang terjadi pada papa dan mamanya? Maka, Abira harus berusaha agar Raka bisa jatuh hati padanya. Tiba-tiba muncul ide cemerlang di kepala Abira. Mamanya bilang kalau Raka punya adik, bukan? Kenapa Abira tidak mencoba untuk mengambil hari Vika untuk bisa mendapatkan hati Raka sekaligus? Abira menjentikkan kakinya. Itu ide bagus! Kalau Abira bisa dapat mendekati Vika, walaupun kemungkinannya belum diketahui, tapi, itu bisa dijadikan opsi untuk Abira lakukan. Baiklah. Abira akan mencobanya besok. Malam ini dia akan istirahat setelah satu harian berapa di butik. Besok, Abira akan kembali berjuang untuk mendapatkan hati Raka. __00__ Nadira berpamitan pulang. Sebelum itu, Nadira mengucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada Raka karena sudah memperbaiki motornya. Raka mengatakan kalau Abira tidak perlu Nadira tidak perlu berterima kasih. Justru Raka malah bilang anggap saja itu permintaan maafnya karena sudah membuat Nadira mengambil cuti. Nadira tertawa. "Bapak tidak perlu merasa tidak enakan seperti itu. Kan saya sudah bilang kalau saya senang melakukannya. Meski saya baru mengenal Vika beberapa hari saja, tapi bagi saya, Vika sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri." Seperti ditiup angin yang lembut dan menghanyutkan, seperti itulah perasaan Raka setalah mendengar kalimat setulus itu dari bibir Nadira. Tentram rasanya. Jadi, tidak heran mengapa Vika sangat menyukai Nadira. "Baiklah, Pak. Kalau begitu saya pamit. Terima kasih sudah mau mengajak saya piknik." "Sama-sama." Raka masuk ke dalam kamarnya setelah Nadira hilan ditelan kelokan. Sampai di dalam, Raka langsung berlari ketika melihat Vika sedang memegang amplop putih, mengeluarkannya dari jas yang tempo hari Raka gunakan untuk pergi ke rumah sakit. Vika, saat itu tengah membereskan bungkusan yang berisi pakaian kotor. Amplop transparan itu terjatuh ke lantai. Saat Vika menunduk, sedikit lagi tangannya menyentuh amplop, Raka lebih dahulu berhasil mengambil amplop itu. Vika bertanya kepada Raka amplop apakah itu? "Bukan amplop apa-apa, Vika. Kamu mau nyuci jas Mas, ya?" tanya Raka canggung. "Jangan." Raka mengambil jas dari tangan adiknya. "Kamu istirahat aja, ya. Biar Mas yang cuci semuanya." Tidak setuju, Vika mengambil kembali jas dari tangan Mas-nya. "Nggak apa-apa, Mas." Vika menggerak-gerakkan tubuhnya, meyakinkan kalau dia benar-benar sehat. "Liat, Vika udah fit kok, Mas." Raka memegang bahu Vika, membalik badannya. "Pokoknya gak boleh. Kamu harus istirahat." Raka menuntun Vika menuju kamarnya. Raka membuka pintu, menyuruh Vika masuk ke dalam kamar. Saat Raka hendak menutup pintu, Vika menahan dengan tangannya. "Tapi, Mas—" "Gak ada tapi-tapi. Kamu harus istirahat Vika. Biar Mas aja yang cuci. Oke?" Pintu ditutup. Raka menghela napasnya. Syukurlah Vika tidak sempat membuka amplop itu dan membaca surat yang ada di dalamnya. Sampai sekarang Raka masih merahasiakan isi amplop itu. Dia sendiri tidak tahu entah sampai kapan hal tersebut akan terus berlanjut. Tapi yang pasti, jika waktu yang tepat menurut Raka telah datang, dia pasti akan segera memberitahukan adiknya. __00__ Azan subuh lagi-lagi membangunkan Abira seperti biasa. Kegiatan pertama yang dia lakukan adalah beranjak dari tempat tidur, langsung membuka jendela, melongo sedikit melihat keluar. Setelah dua hari Abira melihat pemandangan kosong di luar, hari ini, dia kembali bisa melihat Raka pergi dengan pakaian sholatnya menuju masjid. Abira memanggil Raka. Raka mendengar seseorang menyebut namanya. Dia pun mencari sumber suara itu. “Pak Raka,” teriak Abira sambil melambaikan tangan. Setelah tahu siapa yang memanggilnya, Raka tidak bereaksi lebih dari melihat Abira saja. Raka kembali melanjutkan perjalanannya menuju masjid, mengabaikan Abira. Abira mendengus. “Liat aja, lo bakal jadi milik gue, Raka.” Pagi harinya setelah sarapan, Abira berniat untuk meminta tumpangan kedua kalinya dengan Raka. Meski saat ini belum ada muncul ide untuk jadi alasannya untuk meminta tumpangan, Abira tidak akan mundur. Pasti ada cara agar bisa menumpang dengan Raka. Abira berpamitan, mencium pipi kanan-kiri Monica. “Malam ini Mama pulang agak telat, ya, Ra.” “Emang Mama mau ke mana?” tanya Abira. “Kamu tau? Designer ibukota ngundang Mama makan malam!” Monica histeris saking senangnya. “Mama serius? Selama, ya, Ma!” Abira memeluk mamanya. Dia turut senang mendengar kalau designer ibukota, designer yang selama ini mamanya idam-idamkan ingin bertemu, akhirnya kesampaian. “Bira doain semoga Mama bisa cepet buka cabang lagi.” Monica memeluk Abira lagi. Dia sangat senang sekali karena impiannya untuk bertemu designer ibukota tercapai. Kabar mengenai butik baru Monica terdengar bahkan sampai diliput media. Mereka mengapresiasi keberhasilan Monica melebarkan sayap prestasinya di dunia busana. Bahkan, ada salah satu stasiun tv yang ingin mengundang Monica menjadi pembicara. Namun, itu masih dipertimbangkan olehnya. Monica juga belum memberitahukan hal itu kepada Abira. Besok atau lusa mungkin. “Bira berangkat, ya, Ma.” Monica memanggil Abira lagi saat melihat kunci mobil anaknya teronggok di atas meja makan. “Abira, kunci mobil.” Abira menoleh, mengedipkan matanya. Monica seketika paham. Dia tertawa. “Semoga berhasil!” Begitu Abira keluar dari rumahnya, mobil fortuner putih milik Raka berjalan, lewat dari depan rumahnya. Tidak ingin tertinggal, Abira langsung berlari, mencegat mobil itu di tengah jalan. Abira merentangkan tangannya. Di dalam mobil, Raka terkejut. Dia pun mengerem mendadak. Abira tersenyum lebar, mendatangi mobil Raka. Dia mengetuk kaca mobil. “Pak. Saya boleh numpang, ya?” Abira belum melunturkan senyumannya. Raka menarik napas. Masih pagi, dan gadis itu sudah membuatnya hampir termakan emosi. Kenapa Abira melakukan hal bodoh itu? Kalau dia tertabrak bagaimana? Raka enggan menurunkan kaca mobilnya. “Pak.” Abira mengetuk jendela mobil Raka lagi. “Saya mau numpang ke kampus. Boleh, ya.” Tidak. Cukup sekali saja Abira menumpang, Tidak boleh lebih. Raka menyalakan mesin mobilnya, pergi meninggalkan Abira. Abira berdecak. Ini sangat menyebalkan. Selama perjalanannya mendekati pria, baru Raka-lah yang bisa memperlakukan Abira seperti itu. Tapi entah kenapa, Abira alih-alih marah, dia justru semakin bersemangat untuk mengalahkan Raka. Adrenalinnya terpacu. Semakin cuek Raka, semakin berusaha keras Abira untuk memenangkan hatinya. Abira kembali ke rumahnya, meminta Pak Tejo untuk mengantarkannya ke kampus. Sengaja Abira tidak membawa mobilnya sendiri. Kalau pergi tidak bisa bersama Raka, maka pulang Abira harus bisa menumpang mobilnya. Tiba di kampus, Gladis menunggu Abira di pintu gerbang. “Ra, lo harus liat ini.” Gladis seperti orang panik. Dia menyalakan ponselnya, membuka menu galeri, menunjukkan foto-foto dari paket yang dia terima beberapa hari lalu. “Ini foto kecelakaan ayah gue, Ra. Sepuluh tahun lalu.” Mendengar itu membuat Abira terkejut. “Siapa yang ngirim? Buat apa?” “Beberapa hari yang lalu ada kurir yang nganter paket ke gue. Gue kira itu dari lo sebagai permintaan maaf karena udah ngerjain gue waktu itu. Tapi tadi, sebelum ke kampus gue keinget tu paket. Pak gue buka isinya ginian.” Paket? Beberapa hari lalu? “Atau jangan-jangan….” “Kenapa? Lo dapet paket juga?” Abira mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD