Bab 32. Menjemput Vika

1526 Words
Saking kesalnya, Abira menutup pintu mobilnya dengan kasar. Dia masuk ke rumah dengan hentakan kaki yang keras. Bi Ijah yang saat itu barusan saja selesai masak, memanggil Abira, menawarinya makan siang. “Non, gak makan?” tanya Bi Ijah. Tidak ada jawaban. Melihat wajah Abira memberikan jawaban kenapa Abira seperti itu. Wajah Abira ditekuk, tampaknya anak majikannya itu tengah kesal. Bi Ijah terperanjat ketika mendengar suara pintu kamar Abira ditutup keras. Bi Ijah hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau sudah kesal, rumah pun bisa rubuh dibuatnya. Karena Abira tidak jadi makan siang, maka Bi Ijah tidak meletakkan makanan di atas meja makan. Semuanya disimpan di dalam lemari. Nanti malam, kalau Monica dan Abira hendak makan, tinggal dipanaskan saja. Di dalam kamar, Abira duduk di depan meja hiasnya. Sambil menghapus make-up, Abira masih merasakan kepalanya memanas, otaknya mendidih. Nadira berhasil memancing emosinya. Setelah Bu Erna, datang lagi satu penghalang. Abira bukan tipe orang yang mengalah. Kalau ada yang mencoba mendekati laki-lakinya, maka akan berurusan dengannya. Abira menarik napas, mengembuskan, menarik lagi, mengembuskan lagi, hingga lima kali Abira mengulangi kegiatan tersebut. Sekarang, Abira hanya tinggal melihat bagaimana pergerakan Nadira selanjutnya. Sampai di mana Nadira bisa bertindak. Kalau sudah tiba masanya, maka Abira yang akan bertindak. __00__ Raka pulang dari kampus pukul tiga sore. Sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk belanja bahan-bahan dapur terlebih dahulu. Selain itu, Raka juga tidak lupa membeli kue coklat kesukaan adiknya. Tiba di rumah, Vika sudah di rumah dan ditemani Nadira. Dibantu Nadira dan Vika, Raka mengeluarkan barang-barang belanjaan dari mobil. Mereka meletakkan semua barang belanjaan di atas meja di dapur. “Ini buat kamu.” Raka menyerahkan kue coklat yang dia beli kepada Vika. “Apa ini, Mas?” Mata Vika langsung bercahaya ketika melihat isi plastik yang Mas-nya berikan adalah kue coklat—kue favoritnya. “Makasih, Mas!” Vika mengambil piring, mengeluarkan kue yang masih dalam kotak. Dibukanya, dipotongnya menjadi beberapa bagian. Vika langsung menyantap kue itu dengan hikmat. Tak lupa, dia juga menawarkannya kepada Nadira. “Maaf, Pak. Apakah Bapak menyuruh seseorang untuk menjemput Vika?” tanya Nadira. Dia memelankan volume suaranya, jaga-jaga agar tidak didengar Vika. Pasalnya, saat Vika bertanyaa mengenai kebenaran yang perempuan tadi katakan, Nadira mengiyakan kalau benar Mas-nya menyuruh wanita itu untuk menjemputnya. “Jemput Vika? Siapa?” Alih-alih menjawab, Raka malah balik tanya. Tapi, dia memang tidak menyuruh siapa-siapa untuk menjemput adiknya. “Tadi, ada perempuan, mungkin mahasiswa anda datang ke rumah saya, bilang kalau dia disuruh untuk menyusul Vika,” jelas Nadira. Entah mengapa tiba-tiba nama Abira muncul seketika di kepala Raka. Ya, tidak diragukan lagi. Wanita yang dimaksud pasti Abira. Gadis itu memang kurang kerjaan. Tadi pagi sebelum pergi sekolah, dia berusaha meminta tumpangan dengannya. Tidak berhasil, dia berusaha mendekati Vika dengan cara menjemputnya. Abira memang harus diberi pelajaran tampaknya. “Ada. Saya takut ngerepotin kamu, jadi, saya minta tolong ke salah satu mahasiswa saya buat nyusul Vika.” Jujur, Raka sendiri pun tidak tahu kenapa bibirnya malah berkata demikian. Terdengar helaan napas dari hidung Nadira. Dia lega karena perempuan yang tadi terlihat garang itu memang benar disuruh Raka untuk menyusul Vika. Kalau tidak, Nadira tidak akan tinggal diam. Dia akan memproses wanita itu karena menurutnya, Abira sudah kasar. Apalagi dia memaksa Vika untuk ikut dengannya. “Jadi, kamu izinkan?” Nadira menggeleng. “Nggak, Pak. Saya juga ragu tadi, makanya tidak saya izinkan Vika ikut pulang bersamanya.” Sekarang, dia mengerti akan dia bawa ke mana permainan Abira. Kalau Raka mengatakan yang sesungguhnya bahwa dia tidak ada menyuruh Abira, pasti Nadira bakal melakukan sesuatu. Terlihat dari gaya Nadira yang tidak suka ada orang lain yang mengatasnamakan Raka agar bisa menjemput Vika. Lagipula sekarang, Nadira sudah menganggap Vika adiknya. Pasti dia akan melakukan apa pun untuk memastikan keselamatannya. Setelah memastikan kebenaran itu, Nadira pun pamit pulang. __00__ Usai membereskan belanjaan, Raka berniat untuk membersihkan kamarnya. Vacum cleaner sudah dibawanya ke kamar. Raka sudah melepas jasnya, mengganti pakaian mengajarnya dengan kaos hitam dan celana training. Raka siap untuk bersih-bersih. Pertama, Raka mengganti sprei dan sarung bantal. Gorden dilepas, diganti gorden baru. Kaca dilap dan dibersihkan debu-debu yang menempel. Setelah semuanya dirasa selesai, mulai dari tempat tidur, jendela, meja, rak buku, barulah Raka menyalakan vacum cleaner, menyedot semua debu di lantai. Saat menyedot debu di bawah meja kerja, Raka melihat paket yang beberapa hari lalu diantar kurir ke rumahnya. Paket yang tidak diketahui siapa pengirimnya, Raka ambil dari bawah meja, memindahkannya ke atas meja. Tiba-tiba saja rasa penasarannya akan isi di dalamnya muncul. Raka pun membuka paket itu. Terlihat beberapa lembar kertas. Raka masih melihat dari atas saja, belum dilihatnya kertas apa itu. Sudah puas mengetahui isi dalamnya hanya kertas, Raka pun melanjutkan pekerjaannya. Yakin semuanya sudah bersih, Raka pun membersihkan dirinya. Saat sedang asyik-asyiknya mandi, tiba-tiba ponsel Raka berdering. Awalnya dibiarkan saja, namun, tidak cukup sekali. Ponsel Raka terus berdering dan sekarang sudah kali kesepuluh. Saat itu kepala Raka posisinya masih penuh busa. Juga badannya. Karena merasa mungkin ada sesuatu yang penting, Raka pun mengambil handuk, melilitkan di pinggangnya. Raka mengangkat telepon itu. Deretan angka yang belum disimpan Raka. “Halo? Dengan siapa?” Hening. Tidak ada suara terdengar dari seberang sana. “Halo?” ulang Raka. Masih sama. Tak lama terdengar suara kicauan burung. “Halo? Ini siapa?” Terdengar suara decihan. Sambungan telepon terputus. “Halo? Halo?” Raka melemparkan ponselnya ke tempat tidur karena busa shampoo masuk ke matanya. Cepat-cepat Raka masuk ke dalam kamar mandi lagi, membilas matanya. Yang meneleponnya barusan pasti orang salah sambung. Saat itu tidak terbesit sedikit pun pikiran aneh tentang nomor itu. Raka melanjutkan kegiatannya mandinya. Sesudah mandi, Raka hendak melanjutkan bacaannya. Melihat kotak paket itu di atas meja, rasanya menganggu. Raka pun keluar kamar, berniat membuang kotak tersebut. Saat kotak itu terjatuh ke dalam tong sampah, keluarlah isi-isi kertas itu. Raka melihat ada sesuatu yang berhasil menarik perhatiannya. Diambilnya kertas yang ukurannya seperti HVS. Tidak jelas tulisannya. Tulisan di atas kertas itu ditulis menggunakan pensil. Bentuk tulisannya pun bukan seperti yang ditulis orang dewasa, melainkan tulisan anak SD. Raka berusaha membaca tulisan di kertas itu. Sekeras apa pun Raka berusaha, tulisan itu tetap tidak bisa dia baca. Kecuali satu kata. Purnomo. Kata itu, kata itu membuat Raka mematung seketika, diam tidak bergerak di tempat. __00__ Syukurlah rasa kesal Abira perlahan sudah hilang dari dirinya. Merasa bosan di kamar, Abira turun ke bawah. Dia juga merasa lapar, berniat untuk makan masakan Bi Ijah tadi siang. Saat Abira turun, Bi Ijah sedang membersihkan meja ruang tengah. “Bi, makan bareng, yuk,” ajak Abira. Dia tahu kalau Bi Ijah pasti belum makan siang. Bi Ijah berdiri. “Gak usah, Non. Bibi udah makan kok,” tolak Bi Ijah halus. Sudah lima tahun, tapi rasa tidak enakan masih bedah berdiam diri di dalam tubuh Bi Ijah. Bi Ijah selalu saja begitu. Sudah hampir lima tahun bekerja di rumahnya, masih saja menolak saat diajak makan bareng. Kalau tidak ditarik, Bi Ijah pasti akan kekeuh menolak. Abira menghampiri Bi Ijah, menarik tangannya untuk ikut duduk di meja makan, menemani Abira makan. Abira menarikkan kursi untuk Bi Ijah, menyuruhnya duduk. “Bibi udah makan, Non.” “Pokoknya Bira gak nerima penolakan. Bira tau kok kalau Bibi belum makan.” Alasan klasik itu tidak akan lagi bekerja. Abira mencentongkan nasi, mengambilkan lauk untuk Bi Ijah. Penolakan Bi Ijah sama sekali tidak Abira gubris. Acara makan itu, lebih cocok untuk disebut pemaksaan. Tapi tak apa. Lagipula makan dengan Bi Ijah juga mengasyikkan. Mamanya pulang malam hari ini, jadi dengan adanya Bi Ijah di rumah, makan pasti jadi lebih mengasyikkan. Setelah makan nanti, Abira sudah berniat untuk datang ke rumah Raka. Kali ini alasan yang akan dia gunakan adalah bertanya mengenai materi kuliah. Abira akan pura-pura tidak paham materi. Selain itu, Abira juga punya tujuan lain. Yaitu: mendekati Vika. “Bi,” panggil Abira. “Ya, Non?” “Bibi dulu waktu muda pacaran gak?” Bi Ijah menggelengkan kepala. Masa mudanya dihabiskan di sawah, membajak, menanam padi. Masa muda Bi Ijah, dia tidak sempat untuk mengenal apa itu pacaran. “Nggak, Bi?” “Bibi dulu dijodohin.” Abira ber-oh. “Masa Bibi muda dulu, hanya orang-orang kaya aja yang punya waktu buat pacaran. Orang kayak Bibi mah masa mudahnya di sawah.” “Rasanya dijodohin gimana, Bi?” “Ya begitulah. Tapi, Bibi bersyukur dijodohin sama alm. Suami Bibi. Bibi beruntung bisa dapet laki-laki sebaik dia. Udah ah, entar Bibi jadi keinget.” Abira manggut-manggut. Kalau tadi Bi Ijah bilang dia pacaran dulunya, Abira hendak bertanya sesuatu tentang bagaimana gaya pacaran orang dulu. Siapa tahu Raka adalah jelmaan pemuda zaman dulu. Soalnya, dia sama sekali tidak terlihat seru. Raka juga sangat kaku. Makan siang di sore hari selesai. Abira naik ke atas, ke kamarnya. Dia hendak merias wajahnya sebelum pergi ke rumah Raka. Bi Ijah membereskan meja makan. Setelah bercermin, Abira merasa tidak perlu untuk ganti baju. Dia hanya melapisi wajahnya dengan sedikit bedak, kemudian mengoleskan lipstick di bibirnya. Abira siap berangkat. Tidak lupa, Abira membawa buku materi dan buku tulis sebagai senjatanya. Dia harus berhasil hari ini. Dia harus bisa masuk ke rumah Raka. Sampai di sana, Abira membunyikan bel rumah. Vika yang membukakan pintu. “Halo, Vika!” sapa Abira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD