Bab 11. Balikan?

2086 Words
Mobil yang dikemudikan Pak Tejo merapat ke pinggir jalan. “Terima kasih, ya, Pak. Sampaikan salam saya buat Tante Monica dan Abira juga, ya,” ucap Gladis sambil membuka pintu. Tak lupa dia juga mengeluarkan dua bingkisan yang tadi Monica titipkan untuk ibunya Gladis dan juga Naira—adik Gladis. “Iya, Neng. Ntar Bapak sampein.” Gladis menutup pintu, melangkah menuju rumahnya. Pak Tejo melajukan mobil. Rumah Gladis dan Abira ditempuh dalam waktu setengah jam. Berbeda dengan Abira, Gladis hanya anak dari seorang penjahit kecil. Tapi, mereka berdua masih memiliki kesamaan lain. Ya, dua-duanya sama-sama sudah tidak memiliki ayah. Ayah Gladis meninggal saat dia masih SMA. Sedangkan ayah Abira meninggal dua hari lalu karena kecelakaan. Saat pulang dari tempatnya bekerja, sebuah truk menabrak mobil ayahnya, kemudian melarikan diri. Mobil ayah Abira waktu itu rusak parah. Reno, begitu biasa dipanggil meninggal dunia di tempat. Kakinya terjepit, kepalanya pecah. Sangat mengenaskan. “Assalamualaikum,” tutur Gladis sembari mengetuk pintu. Rumah mereka tidak besar. Hanya ada ruang tamu ukuran 4x4, tiga kamar dengan ukuran yang sama, dapur kecil, dan satu kamar mandi. Adik Gladis, Naira sedang duduk di bangku tiga SD sekarang. Abang Gladis—Ryan sudah lulus kuliah dan sekarang sedang mengajar di MTs Darul Arifin sebagai guru IPA. Berhubung masih pukul sepuluh pagi, di rumah hanya ada ibunya Gladis—Siti Romlah. “Waalaikumsalam.” Siti yang saat itu tengah menjahit, bangkit, membukakan pintu untuk anak gadisnya. “Eh, udah pulang.” Gladis menyalami ibunya. “Ibu udah makan? Ini Gladis bawain makanan dan hadiah dari Tante Monica buat Ibu.” Siti tersenyum senang. “Aduh! Tante Monica itu baik banget, ya, sama kita.” “Bener, Bu. Gladis juga gak habis pikir.” Gladis masuk ke dalam rumah. Dia membawa bingkisan yang berisi makanan ke dapur, sedangkan satu bingkisan lagi yang berisi hadiah dia tinggal di atas kuris rotan. Gladis sendiri belum tahu apa isinya. Di dapur, Gladis membuka bingkisan yang berisi makanan. Kue coklat dan empat desert box. Tidak salah lagi, kue-kue ini pasti dari toko langganan Monica. Usai memotong kue coklat, Gladis membawa ke ruang tamu. “Nih, Bu, makan dulu.” __00__ “Assalamualaikum, Anak-anak. Selamat pagi!” Nadira—guru perempuan yang dilihat Raka tadi menyapa murid-murid yang ada di dalam kelas ramah sekali. Mereka yang tadinya bermain-main, sibuk dengan kegiatan masing-masing langsung berhamburan ke meja mereka, duduk rapi. “Vika … sini!” bisik Nadira memanggil Vika yang malah bersembunyi di balik pintu, takut. “Gak apa-apa.” Melihat wajah Nadira yang menenangkan berhasil membuat Vika sedikit berani. Meski pun berjalan sambil melihat lantai terus, Vika sekarang sudah berdiri di samping Bu Nadira, di depan murid-murid kelas delapan. “Anak-anak, ini ada murid baru. Vika, ayo perkenalkan diri kamu.” Vika mendongak, menatap wajah Nadira takut. Nadira mengangguk, meyakinkan Vika. “Na-ma sa … ya Vika Maharani. Biasa dipanggil Vika. Senang bertemu kalian.” Vika memperkenalkan dirinya dengan suara bergetar. “Vika duduk di sana, ya.” Nadira menunjuk meja nomor dua di barisan nomor empat dihitung dari pintu masuk. Ada satu murid berkacamata duduk seorang diri di sana. Vika mengangguk, mengayunkan kaki menuju tempat yang dikatakan Nadira tadi. __00__ “Terima kasih, Pak.” Kurir paket itu menerima pulpen kembali dari Raka, kemudian pergi. Raka masih diam sebentar di depan rumahnya, membolak-balik paket yang barusan saja dia terima. Tidak ada nama pengirim. Setelah puas memandangi paket itu, Raka masuk ke dalam rumah. Dia harus melanjutkan pekerjaannya tadi—memajang foto. Hari ini semua sisa pekerjaan rumah harus selesai karena besok dia harus mengajar. Raka meletakkan paket itu di meja kerja di kamarnya, kemudian ke ruang tengah, mencari detail tempat yang pas untuk meletakkan foto-foto. Foto pertama: Ada empat orang di dalam bingkai berukuran 20x24. Dua perempuan berhijab, mengenakan gamis serupa berwarna biru. Yang satu berusia sekitar 40 tahunan dan perempuan satunya lagi berusia 11 tahun. Satu laki-laki berusia 45 tahun dan seorang pria lajang berusia 24 tahun. Foto itu Raka tempelkan di dinding belakang sofa. Sempurna. Foto kedua: Foto seoarang pria dan wanita yang sedang tersenyum lebar sekali. Aura kebahagian sangat terasa sekali jika melihat foto itu. Lampu warna-warna, singgasana sehari, pasti sudah bisa memberitahu kalian semua foto apa yang dimaksud. Foto itu dimasukkan dalam bingkai berukuran 12x15. Sekarang, semua foto sudah dipajang di dinding. Total ada lima bingkai foto. Disusun dengan pola persegi. Sisa tiga foto lainnya adalah satu, foto Raka saat masih SD, satu lagi foto Vika saat masih SD, dan satu lagi foto lawas pernikahan dua orang yang paling berharga dalam hidup Raka dan Vika. Raka melipat kedua tangannya di d**a. Dia menatap kelima foto itu bergantian. Tanpa sadar, air mata berhasil lolos dari pusat penampungannya, mengalir membasahi pipi Raka. Air mata itu keluar begitu saja saat melihat foto lawas. Tidak lama. Raka segera menyedari air matanya tumpah, kemudian menghapusnya. Satu tarikan napas panjang, dibuang. Raka harus melanjutkan berberes. Buku selesai, foto selesai, sekarang baju-baju Raka. Ya. Dua hari yang lalu begitu sampai ke rumah barunya ini Raka belum sempat memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari. Dia harus mengurusi satu hal yang menjadi prioritasnya sekarang, dan mengurus lamarannya menjadi dosen di Universitas Gunamaju. Ada satu koper besar dan satu koper sedang. Semuanya berisi outfit Raka. Dan ada satu kardus kecil lagi. Itu diisi parfum dan segala macam benda Raka. Satu persatu baju dimasukkan ke dalam lemari hingga selesai dalam waktu satu setengah jam kemudian. Semua disusun rapi sekali. Baju kaos dengan baju kaos, kemeja dengan kemeja, celana dengan celana, jas, jaket, dan luaran semua digantung rapi. Selesai. Raka mengutip semua sampah, menjadikan satu di dalam plastik sampah hitam. Dia melirik jam dinding. Pukul setengah dua belas. Raka memutuskan untuk tidur siang. __00__ Abira sudah jauh lebih baik. Tenaganya pun sudah pulih. Kepalanya yang terasa berat sudah kembali normal. Suhu tubuhnya juga sudah turun drastis. Dia baru saja selesai mandi. Setelah mengeringkan rambutnya, Abira keluar kamar, turun ke bawah. Mendengar derap langkah di tangga membuat Monica yang saat itu tengah menonton televisi di ruang tengah menoleh. “Udah sehat, Ra?” tanya Monica. Dia mengecilkan volume tv. “Sudah, Ma,” jawab Abira. Suaranya masih sedikit lemas. Tidak ceria seperti biasanya. Abira duduk di samping mamanya, kemudian menyelonjorkan kaki. Paha Monica menjadi bantal kepala Abira sekarang. Dengan lembut Monica mengusap sembari memijat perlahan kepala anaknya. “Gimana rencana Mama? Lancar?” “Rencana? Rencana apa?” “Tapi Mama bilang mau buka cabang butik.” “Oh, itu. Udah, Sayang. Mama serahin sama Tante Levi. Dia yang ngurus sisanya.” __00__ Suara klakson mobil. Gladis yang saat itu tengah membaca jurnal di kamarnya buru-buru keluar kamar. Siti sudah membuka pintu lebih dulu. Seorang pria yang Gladis kenal betul berbicara dengan ibunya. Doni yang melihat Gladis segera melambaikan tangan, menyapanya. “Hai. Dis. Gue boleh kan main ke rumah lo?” “Eh, boleh dong,” Gladis menjawab canggung. Siti menyilahkan Doni masuk, kemudian berjalan ke dapur, berniat membuatkan teh hangat untuk Doni. “Kamu temenin temen kamu sana.” Ragu sebenarnya. Atau lebih tepatnya enggan. Mengingat Abira yang ketakutan bertemu dengan Doni membuat Gladis tidak ingin dekat-dekat lagi dengan mantan pacar sahabatnya itu. Gladis duduk di depan Doni. “Mau apa lo ke sini?” tanya Gladis. “Dis, cuman lo yang bisa bantu gue. Please bujuk Abira, bilang jangan putusin gue. Gue masih cinta sama dia, Dis, gue masih sayang. Kalo dia mau gue gak manja, gue siap kok.” Gladis meneguk ludahnya. Dia berusaha mencerna kalimat yang barusan keluar dari mulut Doni. Seumur-umur sahabatan sama Abira, baru kali ini ada mantan Abira yang tidak terima diputuskan oleh sahabatnya. “Gue gak salah denger? Lo ngomong apa barusan?” Gladis meminta Doni mengulang kembali. Jujur saja, dia masih belum percaya seratus persen dengan apa yang didengarnya tadi. “Gue mohon, Dis, gue mohon. Please bujuk Abira buat balikan sama gue. Gue sayang banget sama dia.” Gladis tidak tahu harus berbuat apa dan mengatakan apa. Yang pasti dia masih shock dengan ulah Doni sekarang. Hati kecil Gladis mengatakan agar dia membantu Doni. Dan juga hati kecil Gladis bilang kalau Doni kelihatannya sangat tulus mencintai Abira. “Dis, lo bisa kan bantu gue?” desak Doni. “Gue … gue gak tau bisa bantu lo apa nggak, Don.” Tentu saja jawaban itu yang akan keluar dari mulut Gladis. Urusan laki-laki, mau apa pun yang Gladis sampaikan, belum pernah Abira dengarkan sampai saat ini. Untuk urusan yang satu ini, Abira memang tidak pernah melibatkan orang lain. Semuanya keputusan yang dia ambil, tidak boleh didasari atas campur tangan orang lain. Itulah Abira. Jadi, bagaimana bisa Gladis membantu Doni membujuk Abira agar mau balikan dengannya? Doni terus mendesak Gladis. Yang didesak sedang menimbang-nimbang sekarang antara membantu atau mengatakan tidak. Jika Gladis memutuskan untuk membantu, maka dia akan membutuhkan effort yang cukup ekstra. Dan itu pun belum ada kemungkinan Abira akan mengabulkannya. Jika tidak membantu, maka Doni pasti tidak akan berhenti sampai di sini saja. Dia akan terus mengunjungi rumahnya, meminta bantuan Gladis. Gladis menghitung dalam hati. Hitungan ke sepuluh. “Oke. Gue bantu.” “Maka—” “Ada tapinya,” potong Gladis. Doni yang saat itu sudah tersenyum lebar kembali menyimpan senyumnya. “Lo jangan sampai ketemu sama Abira.” “Itu doang?” Gladis berpikir sejenak. “Untuk saat ini itu dulu. Kalo ada tambahan ntar gue kabarin.” “Makasih, Dis, makasih banyak.” Doni langsung berdiri, menjabat tangan Gladis, mengucapkan terima kasih sekali lagi. “Lho? Ini tehnya gimana?” Siti baru saja selesai membuatkan teh untuk Doni dan membawanya ke ruang tengah. __00__ Pukul satu siang. Ponsel Raka berdering. Raka membuka matanya, meraba tempat tidur, mencari ponselnya. “Halo?” suara Raka masih serak—suara khas orang bangun tidur. “Benar ini dengan Pak Raka?” Raka beranjak duduk. “Iya, Benar. Ini saya.” “Saya Nadira, Pak. Vika sudah pulang.” Mata Raka langsung cerah. Dia harus menjemput adiknya sekarang. Raka segera turun dari tempat tidur, ke kamar mandi, wudhu, menunaikan sholat terlebih dahulu. Setelah sholat Raka mengambil jaket hitam, membawanya ke mobil. Sampai mobil baru Raka memasang jaketnya ke tubuh. __00__ “Kamu mau makan apa siang ini, Ra?” tanya Monica. Mereka sudah bertukar tempat sekarang. Abira tiduran di sofa sambil nyemil kacang mete, sedangkan Monica di dapur membuka kulkan, memeriksa bahan-bahan di sana. “Kayaknya Abira pengen makan KFC deh, Ma.” “Itu aja?” Monica menutup kulkas. Bi Ijah baru kembali dari halaman belakang. “Hari ini masa kapa, Nyonya?” tanya Bi Ijah. “Bibi masak sayur sop aja, ya. Soalnya saya mau beli KFC hari ini.” “Baik, Nyonya.” Monica bergabung kembali ke sofa. Dia duduk di samping Abira, ikut memakan kacang mete. Selain coklat, kacang mete juga menjadi camilan wajib yang harus ada di rumah. Monica menyalakan ponselnya, memesan makanan yang diinginkan anaknya melalui aplikasi yang banyak orang gunakan sekarang. Monica memesan Whole Chicken isi Sembilan potong. Lima belas menit kemudian pesanan datang. Bi Ijah keluar mengambil pesanan setelah menerima uang dari Monica. “Sayurnya udah matang, Bi?” tanya Monica menerima pesanannya. “Belum, Nyonya. Kira-kira sepuluh menit lagi.” “Ya udah, Bi.” Bi Ijah pamit kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Monica membuka bingkisan. “Ini, Ra. Ayo dimakan.” Abira mengambil satu potong, menyantapnya. “Ma, Mama ada liat Pak Raka gak sih?” “Pak Raka? Belum. Tapi, kemarin Mama ke rumahnya.” Abira berhenti menguyah seketika. Mata membulat. “Ih, Mama. Mama kok gak ngajakin Bira, sih?” “Gimana mau ngajakin, kamu aja udah pergi ke kampus kemarin.” “Iya juga sih. Tapi Mama tau gak, kemarin Bira satu mobil sama Pak Raka!” “Beneran?” “Iya, Ma.” Abira meletakkan potongan ayamnya. “Tapi, Pak Raka cuek banget sama Bira, Ma. Gak asyik.” “Butuh proses, Bira. Mama dulu juga begitu. Papamu itu dingin benget kalo sama cewek.” __00__ Gladis tengah menatap layar ponselnya sekarang. Dia lagi-lagi menimbang. Ini kali kedua dia memikirkan apakah keputusan untuk membantu Doni tepat? Dan juga ada tanda tanya di kepalanya sekarang. Mengapa dia bersedia membantu Doni? Aneh! Layar ponselnya tengah menampilkan nomor Abira sekarang. Hanya tinggal menekan simbol telepon, maka tersambunglah dia dengan Abira. Tapi, Gladis takut-takut untuk melakukan itu. Pintu kamar diketuk. “Masuk.” Naira yang masih mengenakan seragam sekolah dan tas masih di punggungnya membuka pintu. Naira memegang bingkisan yang tadi Gladis bawa. “Kak, ini buat siapa?” “Oh itu, itu buat kamu sama Ibu.” “Beneran?” “Iya. Dari Tante Monica.” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD