Bab 10. Disekap

1715 Words
Gelap. Abira merasakan pusing luar biasa di kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit semua. Tulang-tulang Abira bahkan terasa seperti baru dipatahkan saking sakitnya. “Tolong,” Suara Abira nyaris tidak terdengar. Untuk mengeluarkan suara itu saja dia memaksakan diri. Tidak ada lagi tenaga tersisa. Abira menatap sekitar. Tidak ada apa-apa kecuali gelap yang terlihat. Pergelangan tangan Abira terasa perih. Sudah berulang kali dia berusaha melepaskan tangannya dari ikatan tali. Juga kakinya. Ikatan yang kencang pasti sudah membuat pergelangan tangan dan kaki Abira lecet. Tadi, mulut Abira juga disumpal kain. Setelah berusaha keras menyingkirkan kain dari mulutnya, akhirnya Abira bisa bernapas dengan lega sekarang. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak ada yang bisa dia dapatkan. Sudah sekitar lima jam lebih Abira dikurung di sana. Bugh! Abira langsung jatuh. Pukulan di wajahnya telak meruntuhkan keseimbangannya. “Lepasin!” Gladis yang melihat sahabatnya dipukul seperti itu berusaha meronta, melepaskan diri dari cengkraman dua laki-laki yang tengah memeganginya. “Kenapa?” Cuman segini kekuatan lo, ha?!” Bugh! Bukan lagi tangan sekarang yang bermain, tapi kaki. Laki-laki yang tadi meninju wajah Abira kini menendang wajahnya. Darah segar mengalir dari sudut bibir Abira. Rambutnya yang biasa anggun tak lagi seperti biasa. Ada tiga laki-laki di sana. Ketiga-tiganya mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan topeng senada yang menutup wajah mereka. Yang terlihat hanya mulut, hidung, dan mata. Saat Abira dan Gladis baru saja keluar dari toko kue, dua dari tiga laki-laki itu langsung menodongkan pisau ke leher mereka, memaksa masuk ke dalam mobil jeep hitam. Awalnya Abira ingin melawan, namun laki-laki itu lebih gesit. Dia membuat sayatan kecil di leher Abira. Kaget. Kedua laki-laki itu berhasil membawa masuk Abira dan Gladis ke dalam mobil. Sepanjang jalan Abira terus menatap jalanan, mengingat. Sedangkan Gladis terus memanjatkan doa dalam hati, memohon kepada Tuhan agar dia tidak meninggal hari itu juga. Masih ada ibu, abang, dan adiknya yang harus dia bahagiakan. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi. Hingga sekarang mereka sudah memasuki kawasan persawahan. Sawah yang padinya mulai menguning terhampar luas seluas mata memandang. Kanan-kiri jalan asli padi semua. Banyak juga petani yang sedang mengurusi padi mereka. Menyemprot, menebar pupuk, dll. Jangan lupakan orang-orangan sawah yang berdiri di tengah-tengah sawah. Abira tidak tahu di mana mereka sekarang. Terhitung sudah tiga jam mereka di dalam mobil. Pemandangan bertukar. Sekarang sepanjang jalan yang terlihat hanya pohon pisang. Jangankan rumah, tidak ada terlihat satu manusia pun sepanjang jalan. Lima belas menit kemudian mobil berhenti. Di depan sana ada rumah kayu tua. Cukup besar. Tampaknya rumah itu sudah lama sekali tidak dijamah tangan manusia. Laki-laki yang mengemudikan mobil turun lebih dulu. Dia menghubungi seseorang. Setelah memutuskan sambungan telepon, dia memberikan kode kepada dua laki-laki yang memegang Abira dan Gladis untuk keluar membawa dua gadis itu. Gladis berkeringat. Jantungnya berdegup kencang sekali. Berbeda dengan Abira. Wanita itu justru memandangi sekitar, melihat-lihat. Di kepalanya sekarang terus memikirkan bagaimana cara agar bisa melepaskan diri dari mereka. Sopir membuka pintu. Dia menyalakan flash ponselnya. Setelah berjalan beberapa langkah, sopir itu memerintahkan dua laki-laki mengikat Abira. Juga menyumpal mulutnya dengan kain. Tidak dengan Gladis. Sahabatnya itu justru dibawa masuk kembali ke dalam mobil. Hanya tinggal mereka berdua di sana—Abira dan laki-laki yang mengemudikan mobil jeep. Laki-laki itu mencengkram dagu Abira, menatapnya tajam. Mata mereka bertemu. Yang satu menantang, yang satu memandang remeh. Detik ketiga laki-laki itu meludahi wajah Abira. Dia tertawa. Abira mengencangkan gerahamnya. Dia ingin sekali melepaskan diri, kemudian membalas pukulan laki-laki itu tadi. Di luar dugaan. Laki-laki itu mencondongkan wajahnya ke wajah Abira. Jarak mereka sekarang hanya hitungan senti saja. Abira bisa merasakan napas laki-laki itu sekarang. Abira berusaha memalingkan wajahnya, menjauh dari wajah laki-laki itu. Namun, laki-laki itu justru menarik dagu Abira semakin kencang, kemudian menjilat bekas ludahnya di wajah Abira. Seketika Abira memberontak. Sia-sia. Tidak ada yang bisa dia lakukan dengan posisi diikat seperti itu. Laki-laki itu menjauhkan wajahnya dari wajah Abira. Tertawa. Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Empat pukulan di wajah tanpa jeda. Tadinya hanya sudut bibir sebelah kanan saja yang berdarah. Sekarang, sudut bibir bagian kiri juga mengalirkan darah. Sedangkan sudut bibir kanan kiat lebar robekannya. Abira meludah. Ludah Abira juga bercampur darah. Belum puas, laki-laki itu kini meninju perut dan d**a Abira. Belum puas juga, kepala Abira jadi sasaran. Kini, Abira benar-benar menjadi bulan-bulanan laki-laki itu. Berhenti. Laki-laki itu tertawa sambil menarik napas. Dia memeriksa ruas-ruas jarinya. Biru, usai meninju kepala Abira. “Keras juga kepala lo.” Abira sudah kehabisan tenaga. Kalau dari dia masih bisa memberontak, berusaha melepaskan diri, kini Abira hanya terduduk lemas di kursi. Ponsel berdering. Laki-laki itu mengangkat telepon. “Halo?” “…” “Oke. Gue ke sana sekarang.” Laki-laki itu menyempatkan diri meludahi wajah Abira sekali lagi. “Lo masih beruntung, Ra.” Abira meringis. Tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu nyeri setelah mencoba mengingat apa yang terjadi. Entah pukul berapa sekarang, Abira tidak tahu. Setelah kepergian laki-laki itu Abira pingsan dan baru siuman sekarang. “Abira!” Abira mendengar seseorang menjerit, menyebut namanya. “Abira!” Lagi. Jeritan kedua. Abira bisa mengenali suara siapa itu. “Mas Raka! Mas Raka!” Abira berusaha sekeras mungkin mengangkat suara, berharap Raka mendengar suaranya. “Ra, bangun, Ra, bangun!” Gladis mengguncang tubuh Abira. Saat itu dia tengah menggulir layar ponsel, membuka sosial media ketika tiba-tiba Abira menjerit menyebut nama Raka dalam tidurnya. “Ra, bangun, Ra!” Abira membuka mata, langsung duduk. Napasnya tersengal. Keringat membasahi wajah dan lehernya. “Lo kenapa? Lo mimpi apa?” tanya Gladis panik. Sejenak Abira tidak bereaksi. Dia menatap wajah Gladis dalam. Tidak terjadi apa-apa pada sahabatnya. Abira langsung menarik Gladis dalam pelukannya seraya berkata, “Lo gak kenapa-napa kan, Dis?” __00__ “Cocok,” ujar Raka saat melihat Vika mengenakan seragam yang barusan diberikan kepadanya. Seragam sekolah batik berwarna biru itu terlihat pas dan membuat Vika tampak cantik. Vika tersenyum lebar. Dia sangat senang mengenakan seragam barunya. “Ayo, Ibu antar ke kelas kamu.” Tadinya Raka sudah berpamitan hendak pulang. Namun Vika yang saat itu masih di ambang pintu langsung menghentikan, meminta Raka untuk menunggu sampai dia selesai mengenakan seragam baru. Raka mengiyakan. Sambil menunggu adiknya selesai memakai seragam, Raka meminum teh hangat yang disuguhkan untuknya. “Bapak baru pindah ke sini, ya?” tanya Pak Tri—Kepala Sekolah. Raka meneguk teh dalam mulutnya kemudian menjawab, “Iya, Pak. Saya baru pindah dua hari yang lalu.” Sekarang adiknya itu sudah mau menuju kelas barunya. Raka sudah bisa pulang. “Kalau begitu Mas pulang, ya.” “Iya, Mas. Hati-hati.” Raka menyejajarkan posisinya dengan Vika, mencium kening adiknya. “Belajar yang bener.” Vika memberi hormat ala-ala pramuka. “Siap, Mas!” Raka tersenyum sambil mengelus kepala adiknya. “Oh iya, Bu. Saya mau minta tolong, nanti kalau Vika sudah pulang kabari saya, ya. Vika hafal nomor saya.” “Baik, Pak. Saya akan telepon Bapak nanti.” __00__ Tiba di rumah Raka langsung membuka kardus-kardus di kamarnya. Ada banyak barang yang belum selesai Raka bereskan. Termasuk foto-foto keluarganya. Mulai dari kardus pertama. Buku-buku Raka. Raka menyusun buku dan n****+ di rak dekat meja kerjanya. Semua buku yang ada di rumah Raka dulu, dibawanya ke rumah baru ini. Bagi Raka buku adalah teman sejatinya. Sejak mengenal pepatah arab “Sebaik-baiknya teman duduk di setiap waktu adalah buku”, membuat Raka tidak berpisah dari buku hingga sekarang. Pepatah arab itu pertama kali dia dengar dari guru agamanya sewaktu SD. Sejak saat itu Raka dikenal sebagai kutu buku di sekolahnya. Dan sekarang, teman-teman Raka di sekolah dulu memanggilnya masih dengan panggilan yang sama. Si Kutu Buku. Buku selesai disusun rapi di rak. Berlanjut ke kardus kedua. Ada mainan mobil-mobilan, tokoh super hero avangers. Mainan yang biasa Raka jadikan hiasan di mejanya. Dan juga beberapa foto. Usai menyusun mainan-mainan, Raka keluar kamar, berniat memajang foto. Baru saja membuka pintu kamarnya, seseorang memencet bel. __00__ “Lo ngomong apaan, sih?” Gladis melepaskan diri dari pelukan Abira dengan wajah bingung. Barusan saja bangun sudah ngawur. Kira-kira begitu dalam hati Gladis. Abira memperhatikan sekitar. Dia tidak lagi berada dalam ruangan gelap. Dia berada di kamarnya sekarang. Gladis mengambilkan handuk baru yang tadi Monica bawakan. Dia mengelap wajah dan leher Abira. Sahabatnya itu masih dalam mode loading menyingkronkan pikirannya dan mimpinya barusan. “Lo mimpi apaan sih emangnya?” tanya Gladis sambil terus mengelap keringat Abira. “Gue mimpi gue disekap, Dis. Terus lo dibawa sama tiga laki-laki bertopeng.” “Terus lo ngapaian manggil-manggil Pak Raka? Mana pake Mas segala lagi.” Abira langsung menatap wajah Gladis, bingung. “Gue? Manggil Pak Raka pake Mas?” Gladis mengangguk. Pintu kamar dibuka. Monica masuk. Sudah tidak mengenakan celemek lagi. Senyuman langsung Monica hadirkan begitu melihat anaknya sudah bangun. Monica berjalan, duduk di pinggir tempat tidur, memeluk Abira. Juga mengecup keningnya. “Kamu sudah enakan, Sayang?” Abira mengangguk. “Syukurlah.” Monica memegang jidat anaknya, memeriksa kembali suhu tubuhnya. Monica menghela napas lega. Suhu tubuh anaknya sudah jauh turun. Sekarang hanya terasa hangat saja. Wajah Abira juga sudah tidak sepucat saat tidur tadi. Nampaknya obat yang baru diberikan dr. Herman tadi langsung bekerja. Sepertinya Gladis sudah bisa pulang sekarang. Abira sudah berangsur pulih. Monica juga ada di rumah. Juga ada Bi Ijah. “Kalau begitu Gladis pulang, ya, Tante.” Monica melepaskan pelukannya pada anak gadisnya. “Makasih, ya, Gladis udah mau bantuin Tante jagain Abira.” “Iya, Tante. Sama-sama.” “Kamu pulang dianter Pak Tejo aja, ya.” “Gak usah, Tan. Malah jadi ngerepotin,” tolak Gladis halus. “Gak papa. Gak usah sungkan sama Tante.” __00__ “Dengan Pak Raka?” tanya seorang pria berusia tiga puluh tahunan. Dia mengenakan seragam berwarna oranye—seragam kurir pengantar paket. Di tangannya ada sebuah bingkisan yang dibalut bubble wrap hitam. “Iya, dengan saya sendiri.” “Ini ada paket buat Bapak.” “Buat saya?” tanya Raka sedikit terkejut. Perasaan dia tidak membeli apa pun sejak sampai di rumah ini. Kalau pun adiknya, Vika pasti bilang kalau beli sesuatu. “Dari siapa, ya, Pak? “Saya juga gak tahu, Pak. Gak ada nama pengirimnya.” Raka berpikir sejenak apakah dia menerima paket itu atau tidak. “Silakan tanda tangan di sini, Pak.” Belum lagi dijawab apakah Raka akan menerima atau tidak, kurir itu sudah menyuruh Raka tanda tangan. Baiklah. Raka memutuskan menerima saja paket itu. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD