Bab 12. Belajar dari Mama

2164 Words
“Emang Papa dulu sedingin apa sih, Ma?” Abira bertanya, penasaran setelah mendengar perkataan mamanya bahwa dia butuh yang namanya proses untuk mendekati Raka. “Parah banget papa kamu, Ra.” “Ya parahnya itu gimana, Ma?” Abira mendesak. Sudah berjalan dua tahun sejak meninggalnya Reno. Rasa rindu, pasti Abira rasakan. Mungkin, dengan mendengar kisah mamanya dulu mendekati papanya bisa mengobati sedikit rasa rindu Abira. __00__ Suara lonceng dipukul. Murid-murid sibuk berhamburan keluar untuk mengikuti apel pagi. Ini hari senin. Upacara akan segera dilangsungkan. SMA Mawar Melati—SMA kebanggaan ibukota. Reno—ketua osis sekaligus pemimpin upacara berdiri tegak di tengah-tengah lapangan. Sedangkan seseorang yang bernama Monica sengaja mengambil barisan terdepan agar bisa menatap wajah tampan Reno. Itulah kebiasaan Monica sejak masuk SMA. Pertemuannya pertama kali dengan Reno saat hari kedua mereka bersekolah di SMA Mawar Melati. Saat itu Monica datang terlambat. Begitu juga dengan Reno. Bedanya Reno terlambat karena harus membantu orang tuanya berdagang sayur, sedangkan Monica karena terlalu suka begadang, jadi sering bangun kesiangan. Satpam membolehkan Reno dan Monica masuk. Dengan catatan mereka berdua harus melapor ke guru BK waktu itu. Alih-alih ikut bersama Reno menuju ruang BK, Monica justru kabur, berlari menuju ruang kelasnya. Tidak ada jeritan atau panggilan dari Reno. Anak yang saat itu berusia 16 tahun langsung mengejar Monica, menarik paksa tangannya ikut bersamanya ke ruang BK. Itulah pertemuan mereka berdua. Sejak saat itu Monica perlahan mulai menaruh hati pada Reno. Sosok yang memiliki wajah tampan itu ternyata juga murid yang berprestasi. Selain itu Reno juga jago dalam seni beladiri, basket, dan juga sepakbola. Setiap kali ada pertandingan antar sekolah, Monica pasti akan menjadi perempuan yang paling semangat menyorakkan nama Reno di kursi penonton. Waktu pun berlalu. Setelah semua yang Monica lakukan, Reno tetap tidak menggubris sama sekali. Bahkan, setiap kali Monica datang untuk mengajaknya bicara, Reno selalu menghindar. Tapi, Monica tidak berhenti sampai di situ saja. Sifat inilah yang dia turunkan kepada Abira. Bedanya Monica tidak gonta-ganti pacar. Dua bulan sebelum ujian semester genap kelas 11, Monica belajar giat sekali agar bisa masuk ke kelas 12 A—kelasnya para murid-murid yang memiliki nilai rata-rata 8,5 waktu itu. Siang-malam, Monica gunakan waktunya seefisien mungkin untuk belajar. Monica yang biasanya begadang untuk melakukan hal-hal yang random, kini dia pergunakan waktunya itu untuk belajar. Latar belakang Monica sebagai anak orang kaya waktu itu dia gunakan juga dengan baik. Monica meminta ibunya untuk mencarikannya guru les privat. Dua bulan berlalu, kini tiba waktunya ujian semester genap dilangsungkan. Monica berusaha sekeras mungkin menjawab semua soal yang diberikan. Hingga tiba saat pembagian rapot, Monica tidak bisa berhadir. Kalian pasti tahu kenapa. Ya, dia drop. Tepat sehari sebelum pembagian raport kenaikan kelas, Monica terkena tipus. Mamanya waktu itu yang mengambilkan raport Monica. Terkejut. Monica yang biasanya hanya mendapat peringkat lima belas naik menjadi peringkat satu di kelasnya. Monica berhasil meraih nilai rata-rata 8.7. Dengan itu Monica berhasil. Dia menjadi murid kelas 12 A—kelas unggulan. Begitu menerima raport dari mamanya, Monica yang sebelumnya terbaring tidak bertenaga di atas kasur tiba-tiba meloncat kegirangan. Tentu saja. Usahanya belajar mati-matian membuahkan hasil. Monica berhasil satu kelas dengan Reno. Masih cuek juga. Berulang kali Monica mencoba mencari perhatian Reno. Namun Reno belum merespon. Hingga suatu hari kejadian yang tak terduga menimpa Reno. Saat pulang sekolah Reno hampir saja tertabrak mobil. Saat itu kepalanya pusing sekali. Pandangannya juga kabur, ditambah lagi Reno belum sarapan. Monica berlari kencang untuk menyelamatkan Reno. Disambarnya tangan Reno, dibawa Monica ke pinggir jalan. Monica terjatuh, lututnya lecet tergores aspal. Sedangkan Reno hanya terduduk di aspal. Kejadian tidak terduga itu justru membuat mereka berdua menjadi dekat. Sejak saat itu Reno dan Monica resmi berpacaran. __00__ Abira bertepuk tangan. Mendengar kisah perjuangan mamanya berusaha mendekati alm. Papanya sangat berkesan di hati Abira. Jika mamanya saja bisa, dia juga pasti bisa, bukan? Dan di situ Abira sadar bahwa dia belum melakukan apapun. Masih seujung kuku upaya yang Abira kerahkan untuk mencoba mendekati tetangga barunya itu. “Terus Mama sama Papa kan kuliah di beda universitas. Itu gimana?” tanya Abira lagi. Dia ingin lebih dalam mengetahui bagaimana proses perjalanan hubungan mamanya dan alm. Papanya hingga menikah. “Mama kuliah di Universitas Merita dan papamu di Universitas tempat kamu sekarang. Papamu pasti sibuk sekali waktu itu. Menjadi dokter memang menjadi cita-citanya sejak kecil. Papamu bilang, dia ingin kalau nanti orang-orang yang dia sayangi sakit, dia yang mengobati. Nah, setiap hari minggu, kamu selalu ketemuan di kafe. Seminggu sekali pokoknya. Itu agenda wajib kami.” “Tanpa terasa waktu berjalan cepat, papa dan mama lulus. Papamu menyuruh mama untuk bersabar sampai dia selesai mengambil spesialis. Mama mengiyakan. Lagian papamu juga sudah berjanji tidak akan selingkuh dari Mama.” Abira tersenyum mendengar kalimat “papamu tidak akan selingkuh dari Mama”. Abira menyenggol-nyenggol bahu mamanya, menggoda. “Bener. Itu yang papamu bilang ke Mama,” bela Monica. “Terus, Ma, terus.” “Ya sudah. Dua tahun kemudian papamu selesai spesialis dan mendapatkan pekerjaan di RS. Mulya. Baru setelah itu kami menikah.” Indah sekali perjuangan cinta mama dan papanya. Abira sedikit merasa iri. Dia sudah entah berapa kali gonta-ganti pacar. Jujur, rasa bosan mulai hadir dalam diri Abira sekarang. Dia ingin segera menemukan pria yang benar-benar menjadi jodohnya. “Sopnya sudah matang, Nyonya,” lapor Bi Ijah. “Ayo, Ra, kita makan.” Monica berdiri, membawa sisa ayam ke meja makan. __00__ Raka mematikan mesin mobil. Dia bergegas turun. Nadira dan Vika sudah menunggu di depan gerbang sekolah yang sudah ditutup. “Maaf, ya. Mas ketiduran,” ujar Raka. “Maaf juga, ya, Bu Nadira jadi ngerepotin.” “Gak apa-apa, Pak.” “Mas, ayo pulang.” “Terima kasih, Bu.” __00__ “Mas tau, Bu Nadira ternyata masih jomblo lho,” oceh Vika membuat Raka yang tadi fokus ke jalan, jadi menoleh. “Emang kenapa kalau Bu Nadira masih jomblo?” “Vika pengen punya Kakak lagi.” Raka geleng-geleng kepala mendengar penuturan adiknya barusan, kemudian tertawa. “Mas kok malah ketawa, sih? Vika serius tau!” “Bu Nadira itu pasti cari yang lebih dari Mas.” “Emang Mas tau dari mana?” Vika melotot, tidak setuju dengan argumen Raka barusan. “Mas yakinnya begitu.” “Ah, Mas gak seru.” Raka hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah adiknya itu. Setiap kali melihat wanita yang menurutnya baik, Vika pasti akan langsung bilang bahwa dia pengin punya Kakak. Sampai di rumah, Vika masih membawa rasa kesalnya. Dia masuk ke kamarnya, mengunci pintu. Raka hanya tertawa kecil. Dia duduk di sofa di ruang tengah, memesan makanan dari aplikasi online. __00__ Setelah menatap deretan angka nomor telepon Abira cukup lama, akhirnya Gladis selesai mengambil keputusan. Baiklah, dia akan membantu Doni, membujuk Abira agar mau balikan. Gladis turun dari tempat tidur, dia bersiap-siap untuk pergi ke rumah Abira. Pintu kamar dibuka. Naira masuk. “Kak, ini seriusan buat Naira?” Gadis berusia 11 tahun itu menunjukkan kalung emas kepada Gladis. Mata Gladis sontak membulat melihat perhiasan yang adiknya tunjukkan. Dias ama sekali tidak tahu kalau isi bingkisan yang satu lagi adalah perhiasan. “Ibu juga lho, Kak, dapet kalung juga,” sambung Naira. Baik sekali Monica kepada keluarga Gladis. Abira saja sudah cukup baik terhadap Gladis dan keluarganya. Dan sekarang, Monica juga memperlakukan Gladis beserta keluarganya seperti keluarga sendiri. Gladis mengangguk. “Iya, itu buat kamu sama Ibu. Dijaga, ya.” “Iya, Kak. Naira jadi pengin deh ketemu sama Tante Monica, mau bilang terima kasih,” ujar Naira. Dia tersenyum sambil memandangi kalungnya. Naira kembali ke kamarnya. Gladis mempercepat sisiran rambutnya. Tiga menit kemudian. Selesai. Saatnya pergi ke rumah Abira. __00__ Di kamar Abira. Gladis tiduran di atas tempat tidur, sambil membaca sebuah artikel dari ponselnya. Abira duduk di depan meja belajar, membaca buku materi kuliah. Sudah hampir dua jam Gladis di rumah Abira, namun dia belum memiliki keberanian mau mulai dari mana. “Ra, gue mau nanya.” Percayalah. Saat itu Gladis merasa jantungnya mau keluar dari tempat. Dia bingung bagaimana cara membahas Doni sekarang. “Hm?” Abira menoleh. Diam. “Woi, Dis, apaan?” “Mm … menurut lo, kenapa Newton gak menikah?” “Ha?” Abira terkejut mendengar pertanyaan Gladis barusan. Kesambet apa sahabatnya sampai menanyakan pertanyaan random itu. “Lo sehat kan, Dis?” “Sehat,” pungkas Gladis cepat. Dia harus terlihat biasa aja. Dia sendiri tidak tahu bagaimana bisa mulutnya malah menanyakan hal tersebut. Padahal, tujuannya datang ke rumah Abira bukan untuk itu. “Lo tau jawabannya?” “Yang gue tau Isaac Newton mengalami masalah keluarga yang cukup rumit. Ayahnya meninggal saat Newton masih dalam kandungan. Di umur ketiga, ibunya menikah lagi. Nah, di situlah ketidakharmonisan terjadi. Katanya, Newton sangat membenci ayah tirinya. Kebencian itu menemukan puncaknya saat ibunya Newton jadi korban, sampai-sampai dia ingin membakar rumahnya sendiri. Mungkin dari situ kenapa dia gak mau nikah. Ya … gue juga gak tau pasti, sih. Tapi, yang gue baca begitu.” Gladis ber-oh panjang sambil menganggukkan kepala. Dan sekarang … dia tidak tahu harus melakukan apa lagi. __00__ Raka naik ke atas, menyuruh Vika turun untuk makan siang. Sudah lima menit Raka berdiri di depan pintu sambil mengetuk benda persegi panjang itu. Tidak ada jawaban sama sekali. “Vika, ayo turun, makan.” Hening. “Vika,” Raka masih membujuk. “Ntar Mas ajak jalan-jalan, deh. Kemarin itu gak jadi, kan? Nah, siap makan kita jalan-jalan.” Raka menempelkan telingannya ke daun pintu. Terdengar suara grasak-grusuk. Di dalam sana, Vika yang semula tiduran telungkup, bermuka masam, bergegas turun setelah diiming-imingi akan jalan-jalan sesuai makan siang. Raka menarik kembali telinganya menjauh dari daun pintu. Pintu kamar dibuka. “Beneran lho, Mas, selesai makan kita jalan-jalan.” Raka mencubit pipi adiknya gemas. “Iya, Vika. Mas janji.” Raka membuat simbol dua jari. “Oke.” Vika memasang wajah cool. Dia turun menuju meja makan. __00__ “Lo sebenarnya mau ngomong apa, sih? Perasaan dari tadi habis ke selatan ke barat. Habis ke barat ke timur.” Gladis beranjak duduk. Dia memainkan kuku jarinya, bimbang. Rasa takut dan rasa bertanggung jawab sedang perang di dalam dirinya. Dia takut jika membahas Doni justru akan membuat Abira jadi bad mood. Tapi, kalau tidak dibahas, dia lepas tanggung jawab begitu saja, padahal sudah berjanji akan membantu Doni. “Woi! Malah bengong nih anak. Buruan, lo mau ngomong apaan?” Abira menutup buku materinya. Dia berdiri dari kursi, berjalan ke tempat tidur, duduk di samping Gladis. “Gue…,” “Lo mau ngomong apaan, sih?!” Abira geram melihat Gladis yang dari tadi tidak juga mengatakan inti pembicaraannya. Sekarang sahabatnya itu menatap sprei. Masih memainkan kuku jarinya. “Lo gak mau balikan lagi sama, Doni?” Gladis mengatakan kalimat itu dengan nada bergetar. Tidak mudah baginya mengeluarkan kalimat itu. Taruhannya adalah jatah traktiran. “I see.” Abira menganggukkan kepalanya. Hening sejenak. Di luar, angin malam bertiup sedang. Jendela kamar Abira belum ditutup. Gorden melambai-lambai tertiup angin. Bulan terlihat anggun di atas sana. Malam ini bulan purnama. Indah sekali. Abira berdiri, berjalan ke jendela, menutupnya. Kemudian kembali ke tempat semula. Abira menepuk bahu Gladis pelan. “Biasa aja kali. Lo mau ngomong gitu aja kayak mau ngomong sama hantu.” Tidak semua, tapi sedikit-banyak rasa takut Gladis luruh seketika setelah mendengar perkataan Abira barusan. Dia mendongak. Sekarang Gladis sudah berani menatap wajah Abira. “Habisnya gue takut lo marah. Ntar gak ada lagi yang traktirin gue.” “Emang lo kenapa sih nanya begituan?” “Ya, gak ada. Siapa tau lo kepikiran buat balikan.” Abira menyandarkan tubuhnya. “Kalo sekarang sih nggak, Dis. Gue gak kepikiran mau balikan sama anak manja itu lagi. Atau … lebih tepatnya gak akan pernah.” Gladis diam sejenak. Muncul satu nama di kepalanya. “Jangan bilang—” “Yaps. Gue mau dapetin Pak Raka.” Gladis kaget. Sungguh. Sekarang, Gladis tidak lagi ragu untuk memberi label gila pada Abira. “Lo udah gila? Lo mau jadi bahan gosip satu kampus?” Abira mengangkat bahu. “Biarin, gue gak peduli. Terserah mereka mau ngomong apa. Yang penting, Pak Raka jadi milik gue!” Gladis geleng-geleng kepala. “Ya tapi kan gak musti Pak Raka juga yang jadi target baru lo, Abira.” Rasa geram Gladis sudah tidak tertahankan lagi saat ini. Tanpa perlu aba-aba, Gladis menjitak kepala Abira. “Lo gak puas nyakitin hati cowok terus?” Abira memasang wajah songong. “Kan gue udah pernah bilang. Bukan cowok aja yang bisa mainin cewek, cewek juga bisa.” Gladis sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Kalau Abira sudah mengatakan A, maka dia akan benar-benar melakukannya. Sekali lagi, tidak boleh ada campur tangan orang lain. Itulah Abira. Gladis yang tadi benar-benar takut sudah berubah menjadi geram. Di kepalanya sekarang terbayang bagaimana efek yang akan terjadi di kemudian hari nanti. Abira, akan melakukan apa saja demi mendapatkan pria yang menjadi targetnya. Dalam kamus Abira tidak mengenal kata balikan. Jadi, dia tidak mau merusak kariernya menaklukkan banyak pria. Apalagi balikan dengan cowok yang sudah dicap Abira anak manja. Tidak akan! Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD