Part 02

1760 Words
Ayin sudah seminggu bersekolah di sekolahan barunya, ia merasa sedikit lega walau masih terasa tak menyenangkan. Disebabkan seluruh murid di kelasnya menghindari Ayin, menyuruh Ayin untuk duduk dipojokan sendirian. Ayin keluar dari gerbang sekolah, sembari mengendong tasnya ke depan, ia hari ini tidak bisa dijemput oleh tante Dewi, karena wanit itu sedang menghadiri rapat penting yang tidak bisa ditinggalka. "Huftt... semangat Yin! Jarak sekolah dan rumah nggak jauh amat," Ayin tersenyum semangat, kebetulan sekali dirinya lupa membawa dompet tadi pagi, sehingga mau tak mau dirinya harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh dari sekolah, namun cukup melelahkan bila jalan kaki. Jarak sekolah dan rumahnya, bila ditempuh melalui kendaraan akan memakan waktu sepuluh menit, namun bila berjalan kaki, Ayin tidak tahu berapa waktu yang ditempuh olehnya. Selama seminggu ini, Ayin selalu dijemput oleh tante Dewi. Namun, hari ini dirinya harus rela berjalan kaki. Tidak mungkin Ayin memaksa tante Dewi untuk menjemputnya, mengatakan kalau Ayin tidak bawa dompet dan tidak bisa naik ojol, angkot, taksi. Ayin menyeka keringat yang mengalir di keningnya, ia menatap nyalang pada langit yang begitu cerah dengan matahari yang begitu terik memancarkan sinarnya ke bumi. "To-long." Ayin menatap ke arah pria yang sedang duduk di tepi jalan, dengan pakaian yang begitu kotor, tangan memegang kakinya yang terlihat berdarah. Ayin berlari menghampiri pria itu dengan tergesa-gesa, melihat bagaimana pria itu merintih kesakitan sembari memegang kakinya. Ayin yang memiliki hati selembut kapas, ia tidak tega melihat orang kesakitan di depan matanya. "Mas, Mas kenapa?" tanya Ayin, menatap ke arah kaki pria itu. Ayin membekap mulutnya, menatap luka yang begitu parah dari kaki pria itu. Ia tidak sanggup melihatnya, namun tetap berusaha menolong pria itu. Pria yang sedang kesakitan itu menatap Ayin dengan tatapan sulit diartikan. Baru sekali ini, ada orang yang mau menolongnya, dirinya terkapar saja tak ada yang mau menolong, jangankan menolong, mendekat saja tidak mau. Gadis di depannya ini dengan beraninya menghampiri dirinya, lalu bertanya ia kenapa? Keanu Harrison, nama pria yang ditanya oleh gadis memakai kacamata yang terlihat khawatir itu tersenyum menatap gadis yang memakai kacamata itu. Kean tidak menyangka, masih ada orang baik di dunia ini, yang mau menolong dirinya dan khawatir akan keadaannya. "Saya... tidak sanggup berdiri..." Kean berucap kesakitan sembari memegang kakinya yang mengeluarkan darah begitu banyak. Ayin menatap kepada kaki Kean, ia mencari kendaraan yang akan membantunya membawa Kean ke rumah tante Dewi, tak mungkin Ayin membiarkan di sini. Membawa ke rumah sakit, Ayin tidak punya uang. Kalau pakai taksi sampai di rumah Ayin bisa mengambil dompetnya dan menyuruh tukang taksi menunggunya sebentar. Ayin meringis dalam hatinya, kenapa ia tidak kepikiran sampai ke situ tadi. Ayin memang pintar dalam pelajaran, namun rada bodoh saat situasi yang seperti ini. "Taksi!!!" Ayin berteriak, ketika melihat taksi yang lewat, sehingga supir taksi menepi dan berhenti tepat di samping Ayin dan pemuda yang sedang kesakitan itu. "Mas, Mas ikut sama aku, ya?" Ayin memegang lengan Kean, membantu Kean untuk berdiri agar mau ikut dengannya. Kean menuruti kemauan gadis di yang memakai kacamata ini, Kean melihat name tag di seragam Ayin, Ayinda Rahmawati Kean membacanya dalam hati lalu tersenyum. "Kita mau ke mana?" tanya Kean, menatap Ayin yang menyuruh supir taksi untuk menjalankan taksinya, Ayin mengatakan sebuah alamat pada supir taksi tersebut. Ayin menoleh ke arah Kean, lalu tersenyum. "Ke rumah aku, soalnya kalau ke rumah sakit, Ayin nggak punya uang." jawab Ayin jujur. Kean menahan senyumnya, mendengar gadis itu mengatakan tidak memiliki uang. Padahal uang dalam dompet Kean lumayan banyak. "Udah sampai, Dek." Bapak supir taksi tersebut melihat dibalik kaca dalam taksi, mengatakan kalau sudah sampai dialamat yang dikatakan oleh Ayin. Ayin menatap ke arah luar lalu tersenyum, "Pak, tunggu sebentar, ya. Saya mau ambil uang dulu." Ayin hendak turun namun ditahan oleh pemuda yang duduk di sampingnya. "Nggak usah, biar aku saja yang bayar." Kean mengeluarkan dompetnya, menyodorkan uang seratus ribu pada Bapak supir taksi tersebut. "Ambil saja kembaliannya,  Pak." Kean membuka pintu taksi dan keluar, menyuruh Ayin juga segera keluar. Ayin menurut saja, ia tersenyum menyusul Kean keluar, dan segera memapah Kean untuk masuk ke dalam rumahnya. "Mas tunggu sebentar." Ayin berlari menuju kamarnya, setelah mendudukan Kean di sofa ruang tengah. Kean menatap kepergian Ayin dengan senyumannya, ia tidak menyangka kalau Ayin akan membawa dirinya ke rumah gadis itu. Padahal sangat bahaya, membawa seorang pria yang tidak dikenal ke rumah yang kelihatan sepi ini. Rumah yang lumayan besar dan tidak mungkin Ayin tinggal sendirian. "Maaf, lama Mas." Kean menoleh ke arah Ayin dan menahan napasnya, melihat gadis yang memakai celana pendek, baju yang sexy, kacamata sudah tidak ada, rambut tidak dikepang lagi. Cantik. Itu yang terpintas dalam pikiran Kean saat melihat Ayin yang melepaskan seragam, rambut kepang, dan kacamata. "Mas, sini buka celananya, biar Ayin obati lukanya." Kean termenung mendengar ucapan dari Ayin, buka celana? Jangan bilang Ayin modus dengan mengobati luka padahal mau lihat aksesnya. Kean tersenyum menggoda pada Ayin. "Siap, kamu mau buka celana dalam saya juga?" tanya Kean, mendapatkan tatapan bingung dari Ayin. "Maksud Mas apa?" tanya Ayin tak mengerti. Kean menggeleng, lalu membuka celana yang masih tersiksa bokser di dalamnya, saat Kean membuka celananya, tanpa sengaja pisau lipat keluar dari saku celana Kean, menarik perhatian dari Ayin. Ayin beringsut menjauh. Takut melihat pisau lipat yang berlumur darah tersebut. Ia memandang ke arah Kean dan memandang ke arah pisau lipat itu secara bergantian. Apakah ia menolong seorang kriminal? Pencuri? Pencopet? Psikopat? Atau preman pasar? Ayin merutuki perbuatannya, karena membawa orang sembarangan ke rumahnya padahal bibi dan tante Dewi sedang tidak di rumah. Bik Inah sedang pulang kampung dan baru balik besok pagi, sedangkan tante Dewi akan pulang malam. Kean yang menyadari ketakutan dan tingkah Ayin yang ingin beranjak, dengan cepat Kean menghampiri gadis itu tanpa memikirkan lukanya. Ia harus menahan Ayin agar tidak berteriak atau meminta tolong. "Hei! Kau obati lukaku atau kau akan kuperkosa!" Kean mengancam Ayin, membawa tangan gadis itu secara kasar untuk duduk kembali di sisinya. Badan Ayin bergemetar, mengambil kotak P3K lalu mulai mengobati luka Kean sengan perasaan was-was. Ia salah menolong seseorang, ia telah membawa penjahat ke rumahnya, ia telah mengantarkan nyawanya, ia takut Kean akan membunuhnya atau benar-benar memerkosa dirinya. Tante cepat pulang! Ayin berteriak dalam hatinya.  Kean menatap ke arah pundak Ayin yang tidak tertutupi oleh baju gadis itu. Meneguk salivanya, melihat pundak yang sangat putih nan menggoda baginya. Tahan Kean, tahan. Anak orang tidak boleh dirusak. Kean berucap dalam hatinya agar tidak memberikan tanda kepemilikan pada pundak Ayin, apalagi belahan p******a Ayin saat gadis itu menunduk. Kampret! Kean ingin berteriak dan menarik Ayin dalam pelukannya, membuka baju Ayin dan mengulum p******a gadis itu, yanh diyakini Kean sangat menggoda. "Mas, sudah." ucap Ayin, setelah mengobati luka menganga pada kaki Kean yang menuju paha pria itu. Luka yang sangat parah dan daging yang terlihat di dalamnya. Sebenarnya Kean ngapain sehingga memiliki luka itu? Kean tersadar dari tatapan kagumnya pada pundak dan belahan p******a Ayin, ia menoleh ke arah lukanya dan tersenyum melihat sudah diperban. "Makasih," Kean memajukan tubuhnya dan menarik tengkuk Ayin, tanpa aba-aba Kean melumat bibir Ayin, menghisapnya, dan menjelajahi rongga mulut gadis itu. Ayin terlihat shock merasakan perasaan lain, ketika Kean menciumnya begitu panas. Namun, akal sehatnya masih berjalan. Ayin mendorong Kean sekuat tenaga dan menatap Kean dengan takut. Pria ini bahaya. Sangat bahaya. Ayin meringis dalam hatinya, hanya ia dan pria ini dalam rumah. Kalau saja di rumah ayahnya, Ayin tidak akan ragu meminta tolong karena banyak pelayan di rumah ayahnya. Ini rumah tante Dewi! Tante Dewi hanya punya satu asisten rumah tangga. Yaitu, bibi Inah. "Apa yang kamu lakukan?" Ayin beringsut mundur dan ketakutan pada pria yang menatapnya dengan tajam. Apalagi tatapan pria itu mengarah pada pundak dan payudarnya, membuat Ayin menyilangkan tangannya ada area terbuka tubuhnya. "Kean, panggil aku, Kean." ucap Kean tenang tanpa menjawab pertanyaan Ayin. Kean menyandarkan tubuhnya pada kursi, lalu menyeringai menatap Ayin. "Lain kali, kalai ada pria yang meminta tolong ditepi jalan jangan dibawa ke rumahmu," ucap Kean mengangkat sudut bibirnya. Gadis ini sangat bodoh. Begitu bodoh. Ayin tidak menghiraukan ucapan Kean, malah ia meraba saku celananya mencari ponsel yang ia letakan pada saku celananya. Tapi benda pipih itu tidak ada. "Cari ini?" Kean mengangkat ponsel dengan case berwarna pink bergambar boneka beruang. Ayin membelalak. Menatap ponselnya berada di tangan Kean, ia menghampiri Kean kembali, untuk mengambil ponselnya agar bisa menelepon tante Dewi. Kean menyembunyikan ponsel tersebut di belakang tubuhnya, sebelah tangannya membawa pinggang Ayin untuk mendekat padanya. "Gadis manis, kau ingin ponsel ini?" Kean bertanya misterius. Ayin mengangguk. "Iya. Iya." jawab Ayin cepat. Kean menyeringai. "Cium aku, puaskan bibirku dengan bibirmu," ucap Kean, lalu menyambar bibir ranum Ayin, tanpa menanti jawaban dari gadis itu. Ayin terkesiap saat Kean menciumnya, ia menahan desahannya yang akan meluncur ketika tangan Kean sudah meraba dadanya dan meremasnya. Kean menyeringai dalam ciumannya bersama Ayin, menatap gadis itu dengan tatapan memuja. Kean melepaskan ciumannya sebentar, merasa kalau ia kehabisan napas dan membiarkan Ayin mengambil napas sebanyak-banyak, ketika Ayin ingin berbicara kembali, Kean langsung mencium bibir Ayin tanpa membiarkan gadis itu mengucapkan satu patah kata pun. Ayin merasa kepalanya pening. Ia menangis dalam ciumannya bersama Kean, bibir yang tidak pernah tersentuh oleh pria mana pun sekarang sedang dilumat, dihisap, dikulum, oleh pria yang ditolong olehnya ditepi jalan. Drtt... Drttt... Drtt... Kean melepaskan ciumannya, mengambil ponselnya di saku celana yang ia lepas tadi. Menatap nama yang menelepon dirinya, Gary temannya berulang kali menelepon dirinya. "Halo," jawab Kean kesal. Pasalnya Gary mengganggu kesenangannya bersama Ayin. "Woy! Lo di mana k*****t?! Lo nggak pa-pa, 'kan?" Kean memutar bola matanya malas, "Gue nggak pa-pa cuman luka sedikit aja." jawab Kean acuh. Ayin menatap pada luka Kean, tidak apa-apa? Lalu luka separah itu apa? Ayin bertanya dalam benaknya. "Lo di mana sekarang? Biar gue jemput. Anak-anak udah nanyain lo, katanya lo menghilang kayak hantu." Kean menatap Ayin sebentar, lalu melepaskan gadis itu, sehingga Ayin berdiri dan menjauh dari Kean. Kean memakai kembali celananya, menyebutkan alamat rumah Ayin pada Gary, dan mematikan sambungan teleponnya. Kean menatap ke arah Ayin, setelah memasang kembali celananya. Pria itu mendekat pada gadis yang menunduk takut. "Gue pergi dulu, makasih sudah nolong gue. Lain kali, jangan sembarang nolong orang." Kean berlalu dari hadapan Ayin, melangkah menuju pintu rumah. Oh ya? Disaat Kean mengatakan tidak bisa berdiri, hanya bualan saja. Luka seperti ini tak ada artinya untuk Kean. Ia meminta tolong ditepi jalan, hanya ingin ada seseorang mau mengantarkan Kean pulang, malah gadis yang menolong dirinya membawa ia ke rumah gadis tersebut. Ayin menatap kepergian Kean dengan takut. Ayin segera mengambil ponselnya di sofa dan menelepon tante Dewi, untuk disuruh cepat pulang. Alasan Ayin, karena sedang sakit perut. Agar tante Dewi tidak curiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD