Part 01

1210 Words
Ayin menuruni tangga rumahnya, setelah dipanggil oleh sang ayah untuk menemui ayahnya di bawah. Ia sebenarnya enggan untuk bertemu dengan ayahnya yang super sibuk dan selalu meninggalkan dirinya sendirian. Semenjak ibunya meninggal, Ayin tinggal bersama sang ayah yang jarang pulang. Lebih memilih untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Ayin kesepian, kesepian meratapi nasibnya tak ada yang menyayangi dan memerhatikan lagi. Dahulu, ibunya masih hidup, Ayin akan mempunyai ibunya untuk berbagi cerita dan bercanda tawa, sekarang? Dirinya merasa sendirian. "Ada apa, Yah?" Ayin mengambil duduk di samping ayahnya, menatapi pria paruh baya itu dengan kening berkerut. Ridwan—menatap putrinya dengan penuh kasih. Ia mengelus rambut hitam panjang dari sang putri, setelah mendengar kabar tak mengenakan—kalau Ayin kembali di-bully membuat Ridwan segera pulang, dan menemui anaknya. "Kamu di-bully lagi?" tanya Ridwan lembut, menatap ke arah lain, ia merasa Ayin sangat mirip dengan mendiang istrinya. Rambut panjang, mata, senyuman, dan semuanya mirip sekali dengan mendiang istrinya. Ridwan tak berani menatap anaknya lama-lama, ia merasa rindu berat pada mendiang istrinya. Ayin menunduk saat ditanya ayahnya, ia tidak sanggup menjawab karena memang benar dirinya di-bully. Ntah apa kesalahannya, sehingga menerima perlakuan tak baik terus menerus dari temannya. "Ayah mau pindahlan kamu ke sekolah yang sudah Ayah pilihkan, kamu pasti betah di situ. Juga kamu akan menetap di rumah Tante Dewi, kamu tahu? Tante Dewi kesepian semenjak meninggalnya suami dan anaknya, ia merasa kesepian." Ridwan menatap putrinya menanti jawaban dari anaknya. Ia sebenarnya tidak mau Ayin pindah ke Jakarta menetap di rumah Dewi, tapi mau bagaimana lagi? Ini yang terbaim untuknya dan untuk Ayin. Ayin menatap ayah dengan sendu, sebegitu tidak maukah ayahnya berdekatan dengan dirinya, sehingga ia dikirim ke Jakarta ke rumah tante Dewi, adik dari mendiang ibunya. Ayin juga merasa sedih melihat tante Dewi yang kesepian. Ayin sebenarnya tidak keberatan tinggal bersama dengan tante Dewi, lagian tante Dewi sangat menyayangi dirinya dan memerhatikan dirinya setiap saat. Ayin mengangguk pelan, memberi jawaban untuk ayahnya tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Ia masih merasa ayahnya tak mau mendekati dirinya, seperti ayah-ayah lain, yang menyayangi putrinya dan memeluk putrinya setiap pulang bekerja. Ridwan tersenyum mendapati anaknya mau pindah ke Jakarta, ia berharap Ayin akan bahagia bersama Dewi daripada dengannya. Selama ini, Ridwan tak pernah memberikan kasih sayang pada Ayin, melihat Ayin saja dirinya tak sanggup. Ayin hanya mengingatkan dirinya pada mendiang istrinya. "Besok kamu sudah berangkat ke Jakarta, semua barang-barang kamu biar Bibi yang kemas, sekarang Ayin tidur dan bangun pagi-pagi," Ridwan nenyuruh Ayin untuk tidur, karena mereka akan berangkat ke Jakarta besok pagi. Ridwan harus menahan rindu kepada putrinya, saat Ayin di Jakarta nanti, dirinya akan menahan segala kerinduan kepada anaknya. Tapi, Ridwan kembali mengatakan dalam hatinya, kalau ini adalah yang terbaik. "Ayin ke kamar dulu, Yah," pamit Ayin, mencium tangan ayahnya lalu berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Ridwan memerhatikan setiap langkah anaknya, ia meraup mukanya secara kasar lalu menatap foto mendiang istrinya yang tergantung di dinding. Istrinya meninggal karena kecelakaan, saat itu istrinya sedang menuju ke kantor Ridwan untuk membawakan makanan siang untuk Ridwan, namun malang dinasib, istrinya ditabrak oleh truk yang melaju sangat kencang saat menyeberang jalan. Nyawa istrinya tak tertolong. "Sayang, kamu lihat, Ayin makin cantik seprti kamu," Ridwan menitikkan air matanya, mengusapnya secara kasar tak sanggup meratapi nasibnya selama tujuh tahun ini. Ridwan bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai bawah. Ia ingin meratapi kesalahannya, karena dirinya, istrinya meninggal dunia. Seandainya saja, Ridwan menjemput istrinya, seandainya saja, Ridwan tidak menyuruh istrinya mengantar makan siang, semuanya hanya seandainya saja, istrinya tidak akan kembali. "Aku mencintaimu," Ridwan menatap foto istrinya  sebelum memasuki kamar. Kamarnya memang terletak di sebelah dinding kamarnya, lalu Ridwan melangkah memasuki kamarnya menahan rasa sedih mengebu. Ayin yang memerhatikan dari atas, menatap ayahnya dengan sedih. Pria yang menjadi pria pertama dicintainya itu, sedang berkalut dalam luka. Ayin tahu betul, ayahnya sangat mencintai ibunya, sampai Ayin dahulu merasa keluarganya adalah keluarga paling lengkap sedunia. "Bunda, kami merindukanmu," Ayin menghapus air matanya, lalu berjalan menuju kamarnya dengan senyuman kepedihan. *** Dewi menyambut kakak ipar dan keponakannya dengan sebuah senyuman manis. Mendengar Ayin tinggal bersama dengannya, membuat Dewi merasa senang karena ada teman. Ia berusaha tetap tersenyum walau dalam hatinya berduka karena kehilang anak beserta suaminya. Dewi masih mengingat, tragedi yang menimpa keluarganya saat setahun yang lalu, dimana mereka sedang berlibur ke puncak dan sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi menabrak mobil mereka dan membuat anak dan beserta suami Dewi meninggal. Hanya Dewi yang selamat. "Tante!" teriak Ayin senang, langsung memeluk Dewi dengan penuh kerinduan. Semenjak kehilang sang ibunda tercinta, Ayin sudah menganggap Dewi sebagai ibunya yang selalu merawat dirinya setelah ibu Ayin meninggal dunia. Dewi membalas pelukan Ayin dengan rasa rindu yang sama. Ia sangat menyayangi Ayin seperti anak kandungnya sendiri. Ayin adalah harta berharga yang ditinggalkan oleh sang kakak, Dewi akan menyayangi Ayin penuh hati dan memberikan kebahagiaan untuk keponakannya ini. "Dewi, Mas nitip Ayin, ya?" Ayin dam Dewi melepaskan pelukan mereka, menatap ke arah Ridwan yang berdiri di depan dua perempuan yang berarti dalam kehidupannya. Dewi yang sudah dianggap sebagai adik sendiri oleh Ridwan, selalu menanyakan kabar Dewi setiap bulannya. Apalagi, mengingat Dewi kini sendirian. "Mas nggak masuk dulu?" Dewi bertanya, pasalnya Ridwan sudah berbicara pada supir untuk pulang ke Bandung segera. Ridwan menggeleng, "Nggak usah. Masih banyak urusan di Bandung, kamu jaga diri dan maaf kalau Mas merepotkanmu, dengan menitip Ayin." Ridwan menoleh ke arah putrinya sebentar. Dewi menggeleng, "Ayin bukan merepotkan, malah Dewi senang ada Ayin di sini menemani Dewi," Dewi mencium pipi Ayin gemas. Keponakannya sangat cantik mirip sekali dengan mendiang ibunya yang mana Dewi dan kakaknya adalah keturunan orang Ukraina, sehingga mereka mempunyai bentuk tubuh dan wajah seperti orang bule. "Makasih, Dew. Ayin, Ayah pergi dulu, kamu jaga diri baik-baik, mulai besok pagi kamu sudah bisa bersekolah di sekolah baru kamu," Ridwan melangkah mendekati anaknya, memeluk Ayin sekilas lalu melepaskannya. "Ingat pesan Ayah, harus jadi anak baik dan jangan nakal." Ridwan mencium puncak kepala anaknya. Ayin memeluk ayahnya dengan menumpahkan tangisannya. "Ayah jangan terlalu kerasa bekerja, jaga kesehatan, jaga pola makan, dan jangan begadang." pesan Ayin, menatap ayahnya penuh dengan cinta. Ridwan mengangguk, "iya, Ayah pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik." Ridwan melangkah menjauh dari pekarangan rumah Dewi, berjalan menuju mobilny tanpa menatap ke belakang lagi. Ridwan tidak sanggup meninggalkan putrinya di sini, padahal dirinya di Bandung. Namun, dengan segala pertimbangan akhirnya Ridwan mau menitipkan putrinya ada Dewi, demi kebaikan Ayin yang harus mendapatkan kebahagiaan. Bukan dirinya yang memberikan Ayin kebahagiaan, ada Dewi sebagai seorang ibu untuk Ayin. "Maafkan, Papa, sayang," Ridwan menghapus air matanya, lalu masuk dalam mobilnya menyuruh supir untuk melajukan mobilnya meninggalkan rumah Dewi. Ayin menatap kepergian ayahnya dengan kesedihan mendalam. Namun, tak urung dirinya berdoa agar ayahnya baik-baik saja dan bisa menjaga kesehatan. "Ayo, sekarang kita masuk. Pakaian kamu sudah disusun sama Bibi, jadi kamu tinggal tidur dan nanti Tante bangunin kalau sudah mau makan malam," ucap Dewi dengan nada lembutnya. Ayin menoleh ke arah Dewi, tersenyum melihat wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu. "Iya, Tante," ujarnya lalu memgikuti Dewi memasuki rumah. Ayin memulai kehidupan barunya di Jakarta, sekolah baru, teman baru, dan mudahan tidak ada yang mem-bully dirinya lagi. "Ayo, Ayin!! Kamu harus semangat!!" kata-kata yang selalu menjadi penyemangatnya, ketika ia merasa sendirian dan kesepian. Hidup itu adalah anugerah, bagaimana manusia itu sendiri menjalaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD