Seakan-akan menghabiskan waktu berlibur hanya saja kali ini ia berlibur bukan dengan manusia tapi dengan makhluk gaib.
Damar dibangunkan oleh suara gemerisik dari telinga kiri dan kanannya. Ia tergagap bangun seraya kesal dan mengumpat dalam hatinya, "gak sopan ya kalian!"
Matanya sudah terbuka sempurna dan melihat sekeliling, rupanya ia telah sampai di desa yang dituju lalu menoleh ke arah sopir dan bertanya, "Sudah ketemu pasar cagar, Pak?"
"Sebentar lagi belokan depan, Pak," jawab sang sopir dengan ramah.
"Baiklah," ujar Damar mempersipkan diri untuk turun dari mobil dan belanja keperluanya.
Memasuki pasar, Damar tidak perlu bertanya kepada orang-orang mengenai tujuannya. Secara otomatis dia tahu kemana langkah kakinya harus ia bawa dan ia akan berada di tujuan dengan kualitas barang yang terbaik.
Berdiri menjulang di depan sebuah kios kecil yang menjual berbagai bunga dan perlalatan klenik, sangat biasa bagi pasar-pasar selalu ada kios seperti itu, bahkan mereka juga menjual kelapa muda hijau yang dipercaya sebagai obat.
Damar memilih cepat dengan matanya tujuh jenis bunga yang masih segar, tidak lupa membeli dupa dan kemenyan wangi termahal. Setelah di rasa cukup, ia meraih bungkusan tersebut dan pergi meninggalkan pasar.
Mobil yang ditumpanginya telah sampai ditujuan, di samping area pemakaman umum, terdapat sebuah rumah tua berhalaman luas dan banyak pohon-pohon berusia ratusan tahun yang besar-besar.
Seketika Damar merasa sesak dengan penghuni yang tidak kasat mata di sana, karena sangat penuh seperti sebuah komunitas yang menginduk pada satu kerajaan.
"Bapak kalau mau cari makan, silakan Pak, saya mungkin berada di sini sekitar satu jam," ujar Damar kepada sopir seraya memberikan uang dua lembar seratus ribuan.
Terlihat kilatan senang dari mata sang sopir saat matanya menangkap uang tersebut, dia melempar senyum kepada Damar, "Baik, Pak. Saya akan jemput di sini," sahutnya mengambil uang dari tangan Damar dan memutar balik kendaraannya, mencari warung makan.
Seorang lelaki tua melongokkan kepalanya dari pintu rumah tersebut. Matanya yang tertutup kabut akibat katarak, melihat tiga sosok makhluk halus dan tersenyum lebar, memperlihatkan beberapa giginya yang sudah tanggal. Rona bahagia tampak di wajah renta itu.
Damar menghampiri lelaki tua itu sambil menyapa dengan ramah dan sopan, "Selamat siang, Mbah," ucap Damar.
Lelaki tua itu menatap Damar lekat-lekat, lalu ia berujar, "Kamu yang membawa mereka kembali?" tanyanya kepada Damar.
"Iya, Mbah. Mereka yang meminta pulang kesini dari tempat yang baru saja saya sewa," ujar Damar.
"Harus ada sedikit upacara ...," sahut sang kakek.
"Saya sudah siapkan," jawab Damar seraya memberikan bungkusan yang tadi ia beli di pasar.
"Ayo masuk," ajak lelaki tua tersebut, mempersilakan Damar masuk ke dalam rumah yang tidak mempunyai kursi tersebut.
Damar masuk ke dalam ruangan dengan terlebih dahulu menanggalkan sepatunya di teras kayu. Nyaris tidak ada perabotan selain tikar yang membentang serta perapian yang diperkirakan oleh Damar, perapian itu untuk memasak makanan.
"Beginilah rumah ini, kakek sudah tinggal di sini lebih dari lima puluh tahun," ujar sang kakek bercerita tanpa diminta.
Ia mengajak Damar terus ke dalam, memasuki ruang kedua yang di dindingnya penuh dengan poto-poto tokoh dan syekh dari Arab. Ia juga mengoleksi keris berbagai jenis dan ukuran. Damar merasa terhimpit berada di sana. Ia duduk di lantai beralaskan tikar mengikuti lelaki itu.
"Lepaskan kalau merasa sesak, tidak apa itu adalah wajar bagi orang punya kesaktian seperti dirimu," ujar lelaki tua itu kepada Damar.
Wajah Damar tampak tersentak merasa terkejut, 'dari mana dia tahu tentang kesaktianku, apa karena aku membawa pulang mereka' pikirnya.
"Tarik napas dan hempaskan napasmu sekuat mungkin, maka kamu akan merasa lega, Nak," ujar sang kakek menatap Damar dengan ramah.
Seperti kerbau di cocok hidung, Damar mengikuti saran lelaki tua itu, ia menarik napas kuat-kuat, mengosongkan paru-parunya lalu menghempaskan napas dengan keras dan dalam satu kali tarikan. Seketika kepalanya agak pusing, tapi setelahnya, ia merasakan kenyamanan dan kelegaan luar biasa.
Lelaki tua itu terkekeh sambil terpejam, menampakkan gusi-gusi merah tua yang sudah tidak bergigi di beberapa tempat.
"Terima kasih, Mbah ...," ujar Damar sedikit membungkuk dalam duduknya.
"Panggil saya Mbah Kukung atau Mbah Kung," ujar lelaki itu memperkenalkan dirinya.
"Oh, iya, saya Damar. Damar Rahit, Mbah," sahut Damar dengan sikap takjim. Ia menghormati Mbah Kung.
"Ayo kita mulai, Damar," ujar Mbah sambil membuka bungkusan yang telah diletakkan di hadapannya.
Tangan tua berkeriput itu menyusun bunga tujuh macam dan menyiapkan dupa pembakaran, lalu melepaskan bungkusan kemenyan dan memerasnya hingga kemenyan itu hancur menjadi butiran-butiran kecil.
Damar tersentak, merasa terkejut dan heran dengan tenaga yang dipunyai oleh Mbah Kung. Tidak lama terdengar suara sebuah mangkuk kecil yang terbuat dari aluminium, bergeser dengan cepat ke arah Mbah dan berhenti tepat di depan bunga yang sudah tersusun.
Damar lebih heran melihat air putih bening yang berada di dalam mangkuk tersebut, tidak bergerak sama sekali seakan telah berubah menjadi benda padat saat mangkuk itu dipanggil untuk mendekat.
Melihat tamunya yang terheran-heran, kembali kakek itu terkekeh, "Kamu sangat bisa melakukan hal itu, hanya butuh konsentrasi sedikit saja," imbuh sang kakek kepada Damar.
Mendengar hal itu, Damar terperangah, jujur saja ia belum pernah mencoba melakukannya. 'Apakah aku benar-benar bisa' pikirnya.
"Nanti sebentar kita latihan setelah upacara ini selesai," sahut Mbah Kung sambil menciprat air ke atas bunga yang telah tersusun.
"Kita akan lakukan serah terima, silakan kamu menyerahkan tiga makhluk itu kepada saya dalam hati saja," ujar Mbah seraya mulai memejamkan matanya dan menaruh kedua tangan keriputnya di atas pangkuan.
Damar ikut memejamkan matanya dan berucap, "Salam, Mbah. Saya mengantar tiga makhluk yang atas keinginannya sendiri untuk kembali pulang ke tampat asalnya dari tempat bekerja yang baru saja saya sewa. Saya menyerahkannya kepada Mbah Kukung, mohon diterima." Di dalam hatinya.
Terdengar oleh hati Damar, Mbah Kung membalas, "Terima kasih atas kebaikan Nak Damar, dengan senang hati saya menerima kembali keluarga saya di tempat ini."
Lalu terdengar suara-suara dan wangi dupa di depan Damar, ia memicingkan matanya merasa penasaran. Mbah Kung masih memejamkan matanya seraya komat kamit dan ia melihat sesuatu tidak kasat mata yang melakukan semua hal di depannya termasuk menyalakan dupa.
Damar kembali memejamkan matanya, bagi lelaki muda itu, ini adalah pengalaman pertamanya, segala sesuatu yang berbau klenik dan tidak masuk akal bagi manusia normal tapi ia mengalaminya bahkan menerima kesaktian begitu saja dari pulau mistis.
Sepuluh menit berlalu, Mbah Kung membuka matanya dan berkata, "Nak, sudah selesai, ketiganya mengucapkan terima kasih padamu."
Seketika Damar membuka matanya dan mengangguk. Semua benda yang tadi berada di depannya telah lenyap tanpa bekas. Kembali ia merasa heran. Mbah Kung tersenyum, "Masih mentah sekali anak ini." ujarnya dalam hati.
"Sekarang kita akan asah kemampuanmu, semuanya bisa dilakukan asal mau berlatih." Mbah Kung tidak mau membuang waktu.
"Panggil mangkuk itu kemari tanpa menggoyang airnya, lakukan sekarang, konsentrasi pada mangkuk dan air," ujar Mbah Kung.
Damar mengikuti perkataan kakek itu, lalu ia berkonsentrasi dan mangkuk itu terbayang nyata di benaknya, "Kemarilah tapi jangan menggoyangkan airnya."
Tidak ada sesuatu terjadi. Mbah Kung terkekeh. "Kamu perintahkan mangkuk bergerak tapi tidak perintahkan airnya supaya tidak bergoyang. Ada dua benda di sana, satu sama lain tidak bisa mewakili sifat masing-masing," papar Mbah Kung.
Damar memahami hal itu, maka ia kembali berkonsentrasi sampai bayangan mangkuk dan air terpampang di benaknya, lalu ia mulai memerintahkan mereka, "Kalian berdua kesinilah dengan cepat tanpa bergoyang sedikitpun!" perintah Damar kepada mangkuk dan air.
Sreeeekk.
Suara mangkuk bergeser menghampirinya dan berhenti tepat di depannya tanpa membuat air di dalamnya bergoyang. Hal itu membuat Mbah Kung terkekeh dengan nikmat dan Damar yang merasa surprised.
"Datanglah ke sini dalam waktu luangmu, untuk berlatih banyak hal. Sekarang, pulanglah. Kamu sudah berjanji pada sopir itu hanya membutuhkan waktu satu jam. Jadilah seorang ksatria yang selalu menepati janjimu," ujar sang kakek menatap Damar sambil tersenyum.
"Terima kasih, Mbah Kung, saya pamit," sahut Damar seraya meraih tangan sang kakek dan menciumnya lalu berdiri dan segera pergi dari sana.
Sungguh pengalaman luar biasa bagi Damar yang lahir sebagai manusia biasa-biasa saja, tiba-tiba punya kesaktian dan bertemu dengan Mbah Kukung yang akan jadi penolongnya ke depan.