Gairah

1213 Words
Mobil yang membawa Damar kembali ke kota melesat cepat membelah jalan raya, pengalaman batin yang didapatnya dari Mbah Kukung merupakan pengalaman lain dari sejak dirinya mendapatkan ilmu dan kesaktian. Ia terus memikirkan jalan hidupnya yang akan semakin cerah. Hanya satu yang sangat mengganggu dan membelenggunya yaitu, dendam tetua pulau yang bernama Renta. Ia ingin menolak keras dalam misi tersebut dan ia kini telah menemukan guru yang kemungkinan sangat tepat untuk dirinya. Damar menghitung hari, akan lebih baik jika semua ia laksanakan dalam waktu dekat. Tapi urusan pekerjaannya juga penting, terutama kasus korupsi itu dimana ia berhadapan dengan sebuah instansi raksasa yang sangat kuat. Tekad Damar sudah kuat ingin membela gadis yang tidak bersalah itu. Pukul sepuluh malam, Damar telah sampai di apartemennya. Ia menyelesaikan administrasi penyewaan mobil dengan sang sopir dan memberikan tips yang cukup besar. Ia tahu anaknya sang sopir belum membayar biaya sekolah bulanan. "Pak, ini tolong titip untuk putra Bapak yang harus bayar sekolah. Terima kasih ya, Pak," ucap Damar seraya membuka pintu mobil. Sang sopir tergugu, cepat-cepat ia menjawab, "Ma'af, Pak. Tahu dari mana tentang sekolah anak saya?" tanya sopir heran. "Pokoknya saya tahu, putra Bapak belum bayar SPP tiga bulan. Tidak usah banyak pikiran, bayarkan saja," sahut Damar seraya melompat turun dari mobil, lalu bergegas memasuki lobi dan keluar lewat belakang, ia sangat lapar membutuhkan makanan. Cafe di area taman apartemennya buka selama dua puluh empat jam. Damar mengarahkan kakinya ke sana, ia akan memesan makanan dan membawanya ke atas, ke unit apartemannya. Telepon Damar berdering, tertera di layar sebuah nama, 'Ronald Gila' lalu ia mengangkatnya, "Hi, Bro. Gua udah di lobi apartemen nih, lu di mana?" tanya Ronald kepada Damar. "Di belakang lobi, lagi pesan makanan," jawab Damar kalem. "Gua ke sana!" seru Ronald dan memutuskan sambungan. Dia meminta tolong pada satpam di sana untuk membukakan pintu masuk menuju Cafe. Ronald menepuk pundak sahabatnya itu, "Bro, sekalian pesen gua lapar juga nih," ujar Ronald dengan mimik serius. Damar hanya mengangguk sambil memesan makanan yang sama untuk dibawa pulang. "Wuiihh, Bro, cewek-cewek sini cakep-cakep juga ya, apa sebaiknya gua pindah aja ya ke unit lu?" bisik Ronald seraya mengedarkan pandangan ke seputar cafe itu. "Anak-anak kecil masa lu mau embat juga," bisik Damar menimpali perkataan Ronald. "Tapi bodynya sudah matang semua, Bro," ujar Ronald tidak peduli pemikiran Damar. "Ayo ah," ajak Damar sambil mengambil bungkusan makanan dari tangan kasir cafe itu. Mereka beriringan melangkah menuju lift bagian dalam dan berhenti di lantai unit Damar berada. Damar meminta laporan dari Ronald mengenai segala hal sambil menyiapkan piring, sendok dan gelas untuk mereka. "Uh, kantor semua sibuk, banyak yang mengundurkan diri, yang tinggal hanya anak-anak magang yang mau netas doang, praktis tidak ada pengacara yg siap untuk beracara, Bro," jawab Ronald. "Serius?" tanya Damar merasa heran. "Serius, gua dan yang lain barengan ngajukan resign. Mereka semua cuma dapat gaji bulan ini tanpa bonus." Ronald meraih gelas yang disiapkan Damar lalu mengisinya dari dispenser. "Alasannya?" tanya Damar lagi, tidak menyangka kalau pemecatan dirinya dari lembaga itu berpengaruh banyak kepada rekan seprofesinya yang lain. "Semua satu suara, tidak menerima dengan pemecatan lu yang sepihak, hanya karena lu belum bisa dihubungi, plus, protes kita gak ditanggepin," sahut Ronald sambil memulai suapan pertamanya. "Yang lain?" tanya Damar kepada Ronald. "Tenang, Bro. Minggu depan semua turun, kita sudah bisa mulai beraksi," jawabnya menyeringai merasa senang. "Ok, kalau gitu, besok pagi lu ke kantor, banyak yang harus diinterview untuk admin, operator dan office boy." Damar menghela napas, "masalah hantu, sudah aman." "Ah, yakin lu?" tanya Ronald terperanjat. "Lihat sendirilah besok," sahut Damar. Mereka menghabiskan makan bersama sambil terus mengobrol hingga Ronald pamit pulang dan Damar segera membersihkan diri lalu tidur karena sangat merasa kelelahan. ◇◇◇ Di sebuah rumah besar dengan banyak kamar-kamar berudara sejuk, Aku merasakan gairah yang teramat sangat. Gadis itu begitu membakar seluruh hasratku terdalam, seakan-akan sulit untuk kuselami. Namun, raganya telah pasrah ke dalam dekapku, aku memeluknya dan menyatukan diri padanya, merasakan kenikmatan dari tubuh seorang wanita eksotis sampai tetes yang terakhir. Nikmatnya menghentikan waktu. Damar mengerang panjang dalam tidurnya seraya mengigau, "Ferin ... ooh," lalu kembali lelap sampai pagi. Terbangun dengan perasaan segar dan merasakan sesuatu yang mengeras pada sela-sela pahanya. Ia tersenyum, teringat mimpi basahnya semalam. Mimpi paling nikmat dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. "Ferin ... begitu nikmatkah kamu?" bisiknya menyeringai. Rasanya ia ingin kembali bermimpi dan mengulang rasa semalam. Tapi, dia yakin tidak akan menemukan mimpi yang sama. Sambil meregangkan tubuhnya ia bangun beranjak ke kamar mandi, bibirnya tersenyum tipis, merasakan gairah dan tiba-tiba sangat merindukan Soferina. "Ah, lupakan, janjiku padanya adalah besok. Hari ini, aku harus konsen pada kantor baruku," sanggah Damar pada dirinya sendiri. Ia segera menyelesaikan mandinya dan bersiap-siap menuju kantor baru, orang baru dan tentu saja semangat baru, juga gairah dan hasrat baru. Sepanjang jalan di dalam taksi, ingatannya terus pada mimpi semalam, ia begitu terpesona atas keindahan tubuh wanita itu, kehalusan kulitnya dan kekenyalannya juga rasa nikmat yang memabukkan itu. Ia duduk dengan gelisah karena mendadak celananya sesak, keringat mengintip pada setiap pori ditengkuk dan lehernya. Wajah tampan itu memerah menahan gairah yang tiba-tiba saja muncul. Ia begitu merindukan Soferina dan ingin mengecapnya secara nyata. Alhasil, sepanjang pagi, dirinya tidak mampu berkonsentrasi penuh saat mewawancarai calon pegawai. Damar menyerah. Berlari ke depan mencari Ronald dan menginstruksikan dia untuk mewawancarai beberapa orang lagi dan memberikan wewenang kepada Ronald untuk memutuskan siapa saja yang diterima untuk bekerja dengan mereka. Dia juga menyerahkan seluruh tugas menerima barang-barang kebutuhan kantor yang akan berdatangan hari ini serta menyuruh Ronald belanja air mineral galon, kopi, gula teh lengkap dengan peralatan minumnya. Ronald terdiam melihat tugasnya yang sangat menumpuk itu, seperti biasa ia terus menerus melancarkan protes dengan fasih, "Itu tugas cewek, kenapa harus gua yang jalan?" Begitulah selalu, Ronald berkelit dan mencari-cari alasan. Namun, Damar tidak pernah menerima suatu bantahan. Ia telah menulikan telinganya dari segala bentuk protes Ronald. Belanja, ya harus belanja apapun yang terjadi. Damar merogoh dompet pada celananya dan mengambil kartu kredit dari sana, ia mengambil yang berwarna gold, tapi ragu-ragu memberikannya pada Ronald. Akhirnya dia menukar kartu dengan yang berwarna silver dan menyerahkan kepada Ronald. "Belanja kebutuhan pantry, termasuk gelas atau cangkir khusus untuk tamu." tegas Damar dengan tatapan tajam. Ronald menerima kartu tersebut dengan wajah masam dan cemberut. "Lu mau kemana sih? Masa gua harus tertanam sendirian di sini dan seharian?" protes Ronald lagi. "Jadwal penerimaan barang-barang sampai jam empat sore, setelah itu lu bisa ke mal trus bawain kesini semua barangnya, langsung lu tata dengan rapi," perintah Damar tidak mendengarkan protes sahabatnya itu. Merasa diabaikan, Ronald teriak, "Trus elu mau kemana?!" tanyanya persis wanita yang sedang histeris kesal. "Gua harus menemui seseorang, duh ... sesak terus celana gua, gak tahan," sahut Damar menunjuk ke arah celananya bagian depan yang menonjol sebelum lari terburu-buru menghindari jawaban Ronald. "Damaaarr ...!" teriak Ronald dengan kesal sambil menepuk keningnya sendiri. Dia melihat punggung Damar sampai menghilang, baru kali ini dia melihat sesuatu yang menonjol begitu besar dari bagian tubuh sahabatnya itu, "Perempuan mana yang bisa bikin elu gila kaya gitu?" gumamnya tidak mengerti. Dengan kesal, Ronald menghempaskan bokongnya pada kursi dan bersedekap tangan di dadanya. Ia terpaksa harus menyelesaikan tugas yang tiba-tiba saja menjadi tugasnya dan sangat banyak. "Awas kau, Damar!" serunya sangat kesal. Melontarkan ancaman kejam di benaknya, tapi bak kucing manis di depan Damar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD