Aku mematung saat memasuki kamar bernuansa biru yang ditempati Cello sekarang, bagus sekali. Apalagi kalau lampu dimatikan, dalam keadaan gelap dinding dan langit langit kamar ini berubah seperti galaksi bintang yang indah.
"Ini semua Abi yang memilih. Katanya Cello menyukai bintang, jadi dia menyuruh orang untuk mendesign khusus untuk anakmu." jelas bunda.
Aku diam membisu, terlalu bingung untuk berkata apa. Iya, Cello memang menyukai bintang dan sepertinya Bang Abi sangat tahu apapun tentang anakku.
"Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu pada Abi, dia tulus menyayangi Cello."
Aku tersenyum getir menatap anakku yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Mencoba memutar kembali ingatanku tentang senyum bahagianya saat berada di gendongan laki laki itu.
"Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati, Bun?! Aku hanya berusaha melindungi anakku dari siapapun itu yang berpotensi menyakiti Cello, termasuk Bang Abi."
Bunda menggandeng tanganku keluar menuju ke kamar sebelah, kamar baruku. Besar dan indah, didominasi warna putih dan biru dongker kesukaanku.
"Kalau kamu sekarang tiba tiba menjauhkan mereka berdua, bukankah sama juga sudah menyakiti Cello dan Abi?" ucap bunda.
Aku duduk di tepi tempat tidur, kepalaku berdenyut pusing karena jet lag setelah sembilan belas jam lebih duduk di pesawat.
"Ini Indonesia, Bun. Kalau kami masih tinggal di London, mungkin aku tidak perlu memusingkan hal ini. Di sana tidak ada yang akan mempermasalahkan status kami."
"Tapi di sini berbeda, Bunda sendiri tahu pandangan dan penilaian seperti apa yang akan mereka berikan pada orang seperti kami."
"Sha ..."
"Cukup saat masih di perut saja anakku ditolak dan dihina, sekarang aku tidak akan memberikan kesempatan pada siapapun untuk menyakiti kami lagi."
Bunda melangkah menghampiriku dan memelukku erat, tangannya mengelus lembut punggungku.
"Tidak semua orang sejahat mereka, Sha. Abi salah satunya."
"Bukankah dari awal dia sudah tahu semua? Nyatanya Abi bukannya menjauh, tapi justru semakin dekat dan menyayangi Cello."
"Bun ..."
"Kamu bukan Sasha yang dulu lemah, sekarang kamu sudah jadi wanita yang kuat dan hebat. Kalau yang kamu takutkan itu benar benar terjadi, Bunda yakin kamu lebih dari mampu untuk melindungi Cello."
"Jadi Sha, jangan lagi mendorong pergi orang sebaik Abi. Bukankah dia salah satu orang yang paling berjasa pada kalian?"
"Bun ..."
Aku tersentak, lidahku kelu saat bunda dengan berlinangan air mata menatapku sedih.
"Abi sudah menceritakan semua pada Bunda tentang awal pertemuan kalian enam tahun yang lalu."
"Maaf Bun, waktu itu aku sudah hampir kehilangan akal. Aku cuma terlalu sakit hati dan tidak ingin mejadi aib bagi Bunda."
"Kenapa pikiranmu bisa sedangkal itu, Sha? Bagaimana jadinya seandainya Abi tidak datang menyelamatkanmu waktu itu?"
"Maaf."
"Itulah kenapa kemudian Bunda bisa dekat dengan Abi. Bukan hanya kalian, Bunda juga merasa berhutang nyawa padanya. Kalau bukan karena pertolongannya, Bunda sekarang sudah hidup sebatang kara."
Aku menangis terisak saat mengingat semua kebodohanku dulu. Apakah memang harus membiarkan mereka berdua dekat? Apakah tidak apa apa Cello menganggap Bang Abi seperti sosok ayah untuknya?
"Bagaimana kalau keluarganya tidak terima dengan kedekatan mereka, Bun? Bunda sendiri juga tahu, keluarga Bang Abi bukan dari kalangan biasa. Bisa jadi mereka juga sama seperti keluarga Pradipta."
"Kamu sepertinya lupa, kita sekarang juga bukan lagi keluarga biasa yang bisa jadi bulan bulanan orang orang seperti mereka. Apa yang sudah kamu pelajari selama ini, bisa kamu jadikan sebagai senjata untuk melawan mereka."
Mau tidak mau akhirnya aku mengangguk juga, mungkin memang benar kalau ketakutanku terlalu berlebihan. Kalaupun terpaksa harus melawan dengan cara kotor, aku masih punya seseorang yang bisa aku andalkan.
Sering bergelut dengan banyak perkara hukum, aku sudah banyak belajar cara bertahan, melawan dan menyerang. Kalau tiba waktunya, paling tidak aku tahu caranya bermain dengan orang orang seperti mereka.
***
Aku terbangun saat mendengar suara tawa keras Cello. Jam berapa sekarang? Kepalaku masih sedikit pusing karena semalam tidur terlalu larut. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan lagi dengan matang sebelum memulai segalanya di sini.
"Bun, Bunda!"
Anak itu sudah berteriak dan menggedor pintu kamarku, dia kemudian berlari masuk menyusul naik ke tempat tidurku.
"Bangun Bun! Bunda sudah janji mau membelikan piano baru buat Cello."
Demi Tuhan, dia baru sehari hidup tanpa piano dan sudah kelabakan seperti ini. Cello dan piano adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Sejak kecil dia sudah terbiasa melihat sepupuku yang suka sekali bermain piano di rumah. Terima kasih untuk Bang Rey yang sudah mengajarinya piano, hingga sekarang dia begitu lihai memainkankannya sendiri.
"Sebentar lagi Cello, kepala Bunda masih pusing."
Tak ingin menyerah, dia mulai menarik narik selimutku. Bibir kecilnya itu tak berhenti terus mengomel.
"Tidak mau, ayo bangun Bun! Nenek bilang ini sudah siang, Bunda harus bangun dan makan."
"Iya, ini Bunda sudah bangun, ok!"
Aku menarik kembali selimutku. Sumpah, mataku masih sulit untuk diajak melek.
"Tuh kan, tidur lagi! Bangun Bun, Cello mau piano!"
Aku menarik tubuh kecilnya dan memeluknya erat. Mataku mengerjap ngerjap, mencoba membuka lebih lebar lagi.
"Besok saja ya pianonya? Besok pasti Bunda antar, kamu boleh pilih sendiri piano yang kamu suka. Sekarang biar Bunda tidur sebentar, kepala Bunda pusing Cello."
"Bunda sakit?" tanyanya mulai cemas.
Tangan kecilnya terulur menyentuh keningku, wajahnya tampak khawatir memperhatikanku dengan seksama.
"No, Bunda cuma masih capek dan sedikit pusing. Cello main dulu sama nenek di bawah ya?"
"Ok," sahutnya cepat.
Aku bernafas lega saat bocah itu melompat turun dan berlari keluar dari kamarku. Sayangnya belum sempat aku kembali terlelap, sekarang ganti suara ponsel di atas nakas yang berdering mengganggu tidurku. Sial! Tidak bisakah mereka membiarkan aku tidur sebentar saja.
"Hallo," sapaku.
"Kapan kamu bisa datang ke kantorku, Sha?"
"Ya ampun Bang! Aku bahkan baru datang kemarin, harus banget ya langsung diuber uber suruh kerja lagi? Aku masih mau rehat beberapa hari dulu."
"Aku lagi butuh bantuanmu, Sha. Ada case penting yang perlu segera diselesaikan, aku kewalahan kalau harus menanganinya sendiri. Please ya?"
"Berani bayar berapa? Feeku tidak murah lho Bang," ucapku sambil mengulum senyum.
"Iya tahu, sombong banget. Yang mentang mentang jebolan pengacara luar negeri."
"Bang Andre kan tahu sendiri biaya kuliah disana mahalnya selangit."
"Jangan sok drama! Kamu kuliah juga pakai bea siswa, belum lagi selama mengambil magister kamu masih sambil kerja. Sebenarnya niat kamu ke sana mau kuliah apa nyari duit?"
Tawaku pecah saat mendengar omelan Bang Andre di seberang sana, ternyata dia masih saja berjiwa pengungkit seperti dulu.
"Anakku butuh makan Bang, kayak tidak tahu saja aku ini single parent. Nggak kasihan apa?"
"Salah situ juga diajak nikah tidak mau!"
"Ya mana mungkin aku mau, pacar kamu saja seminggu sekali pasti ganti baru. Sudah macam ganti baju saja, parah tahu!"
"Tapi kalau sama kamu aku kan serius Sha, kalau tidak mana mungkin aku mengajakmu nikah."
"Untung kamu sekarang jauh Bang, kalau tidak sudah aku tabok beneran."
Ngomong sama manusia satu ini selalu sukses bikin aku gregetan setengah mati. Namanya Andre Sadewo, anak sulung pemilik firma hukum Sadewo And Patner. Dia adalah kakak tingkatku saat kuliah dulu.
"Jadi kapan kamu ke sini, kalau bisa secepatnya ya?"
"Besok aku usahakan, sudah kan?! Kalau sudah aku mau tidur lagi, Bang Andre meganggu orang lagi tidur saja!"
"Dasar kampret kamu, Sha! Ini sudah hampir jam sebelas siang dan kamu masih enak enakan molor."
"Berisik! Kalau masih ngomel mending besok aku batalin saja rencana ke kantormu."
"Ck, tambah judes saja kamu. Ya sudah kalau begitu, besok aku tunggu ya. Awas kalau kamu sampai mangkir!"
Niatku melanjutkan tidur sudah berantakan, gara gara mendengar ocehannya sekarang kantukku jadi hilang entah kemana.
***
"Cello mana Bun?"
Aku celingukan mencari keberadaan Si Bocil yang tadi merecoki tidurku, tapi nihil. Sama sekali tidak terlihat batang hidungnya di seluruh penjuru rumah.
"Di rumah sebelah."
"Sebelah mana? Rumah siapa?"
Aku mengernyit bingung. Cello belum kenal siapa siapa di sini, terus kenapa bisa sampai ke rumah sebelah dan bunda kelihatannya tidak khawatir sama sekali.
"Rumahnya Abi."
"Rumah Bang Abi? Kok bisa bersebelahan dengan kita?"
"Abi kan sudah hampir tiga tahun tinggal di sini. Rumah ini sebenarnya punya adiknya, tapi setelah menikah dia ikut suaminya pindah ke Singapura."
"Jadi?"
"Jadi waktu Bunda bilang kamu mau pulang dan menetap di sini, Abi menawarkan rumah ini ke Bunda."
"Pasti ada maunya."
"Iya, katanya biar dia bisa dekat sama Cello."
Tuh kan, bener! Apa sih maunya Bang Abi sampai sebegitunya ke Cello?
"Aku mau cari Cello ke sebelah dulu Bun."
"Kalau begitu ajak Abi sekalian kesini makan siang."
Aku menggeleng pelan, lama lama mereka sudah makin mirip seperti ibu dan anak saja.
"Dengar nggak Bunda ngomong?!"
"Iya Bun, iya."
Selama berjalan menuju rumah sebelah, mataku menatap sekitar pemukiman di sini. Semua rumah berdiri megah dengan halaman luas dan pagar tinggi.
Pintu masuk utama juga dijaga ketat, tidak sembarangan orang bisa masuk. Pantas saja bunda setuju pindah kesini, Cello dijamin lebih nyaman dan aman di sini.
Aku terpaku di depan pintu besar rumah ini, dari dalam terdengar dentingan suara piano. Celloku ...
"Saya mau nyari Cello, Bi."
"Non Sasha ya, anaknya Bu Ambar yang kemarin baru pulang dari luar negeri?"
"Iya."
"Masuk Non, Den Abi sama Cello lagi di ruang keluarga."
"Makasih ya Bi."
Aku masuk menuju ruang keluarga, di sana mataku di suguhi pemandangan dua orang yang sedang duduk berdampingan memainkan piano bersama. Aku mendengus kasar. Pantas saja mereka bisa cepat akrab, hampir semua kesukaan mereka sama.
"Bunda."
"Lho Sha, kamu datang kok malah cuma diam saja di situ, ayo duduk!"
Bang Abi menghampirku yang masih berdiri di samping sofa. Pandanganku kini tertuju pada sebuah foto besar yang dipajang di tembok dekat televisi.
Aku memang sudah tahu kalau dia dulu pernah menikah, tapi istrinya meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu. Hanya itu, aku tidak pernah berminat mencari tahu apapun tentang Bang Abi.
"Tidak usah, aku cuma mencari Cello."
"Cello bilang besok kamu mau beli piano buat dia?"
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Bang Abi terdiam menatapku, dia seperti ragu ragu ingin mengatakan sesuatu padaku.
"Bagaimana kalau piano yang itu buat Cello saja, kalian tidak usah beli lagi."
"Jangan! Piano itu punya Bang Abi, biar aku beli sendiri buat Cello."
"Tapi piano itu sudah jarang sekali aku pakai. Daripada dibiarkan nganggur, kan mending buat Cello saja."
Aku menggeleng keras, mana mungkin aku menerima secara cuma cuma piano berharga ratusan juta itu. Big no!
"Aku tahu itu piano mahal, terlalu berlebihan kalau diberikan pada Cello begitu saja. Aku masih bisa membelikannya sendiri."
"Heii, bukan begitu maksudku! Justru karena harga piano itu mahal, jadi sayang kalau hanya untuk pajangan."
"Aku tahu gajimu tinggi, pasti mampu membeli piano mahal untuk Cello. Tapi kalau ada piano yang nganggur di sini, kenapa mesti buang buang duit kamu untuk beli yang baru. Iya kan?!"
"Tapi bukan berarti harus secara cuma cuma kan?"
Aku masih berusaha menolak secara halus keinginan Bang Abi, tapi sayangnya dia belum mau menyerah begitu saja.
"Kalau begitu aku boleh kan minta tiga permintaan khusus sama kamu sebagai ganti piano itu, bagaimana?"
Aku mengernyit bingung, permintaan macam apa yang diminta laki laki ini sebagai ganti piano mahalnya.
"Tidak usah mikir macam macam, kamu kira aku cowok apaan?!"
Tawaku pecah melihat wajah lucunya yang senewen seperti tadi.
"Deal."
Dia tersenyum lebar menyambut uluran tanganku.
"Deal."
"Ok. Sebagai ucapan terima kasih, ayo makan siang di rumahku sekarang!"
"Kok aku merasa murahan banget ya, kamu mengajakku makan cuma bermodal masakan bunda di rumahmu."
"Ya sudah kalau tidak mau, lagi pula aku juga cuma sekedar basa basi kok. Cello, ayo pulang!"
"Yaaa, kok kamu begitu sih?!"
Aku mengangkat bahuku, kemudian menggandeng tangan Cello dan melangkah pergi.