Aku tahu, saat memutuskan untuk kembali lagi ke sini, aku seperti menyambung kembali sebuah kisah lama yang belum usai. Keberadaanku dan Cello suatu saat pasti akan menyulut masalah baru, tapi aku sama sekali tidak menyangka hari itu akan datang secepat ini.
"Pelan pelan Cello, kamu bisa jatuh kalau terus berlari seperti itu!"
Harusnya aku tidak membawanya kemari tadi. Baru juga sebentar kami duduk menunggu bunda yang sedang menjalani cek up rutinnya, Cello sudah mulai mengeluh bosan. Dan di sana lah dia sekarang, berlari sepanjang koridor rumah sakit menuju ke kantin. Semua omelanku sama sekali tidak dia dengarkan.
Aku terperangah melihatnya jatuh terjungkal setelah tanpa sengaja menubruk seseorang di depannya. Setengah berlari aku segera menghampiri anakku yang masih terduduk di lantai sambil meringis kesakitan.
"Tuh kan Bunda bilang juga apa, jangan berlarian di sini. Kamu bandel banget sih."
Aku membantunya bangun dan memeriksa apakah ada yang terluka.
"Maaf Bunda, Cello tidak sengaja."
"No, minta maafnya bukan sama Bunda."
Aku menggandeng tangan Cello untuk meminta maaf pada dua orang yang baru saja ditabraknya, tapi sedetik kemudian tubuhku berubah kaku.
"Sasha?"
Sial sekali, bisa bisanya aku ketemu dengan Rena di sini. Dia tidak sendiri, seorang pria yang berdiri di sampingnya tampak sedang merangkul bahunya. Mataku tak sengaja melirik ke arah pintu di mana mereka baru saja keluar. Jadi ini suami Rena, mereka baru saja dari dokter kandungan.
"Ayo minta maaf sama Om dan Tante!"
"Dia anakmu?"
Pandangan mereka beralih ke Cello, wajah Rena tampak menegang saat bisa dengan jelas melihat sosok kecil di hadapannya.
"Kami bertanya padamu Nona, tidak bisakah kamu menjawabnya?!"
Aku masih tidak menggubris ucapan mereka. Merasa tak dianggap, pria di samping Rena itu mulai terlihat jengah.
"Cello, cepat minta maaf!"
Bukannya minta maaf, Cello malah mulai menangis ketakutan melihat wajah tidak bersahabat pria itu. Aku menghela nafas saat membalas tatapan Rena. Dia sepertinya sama terkejutnya denganku, karena tiba tiba bertemu setelah enam tahun berlalu.
"Maaf, anakku tidak sengaja menabrak kalian."
"Kalian kapan kembali Sha? Kamu tahu, Kak Aksa sudah lama mencari keberadaan kalian."
Tadinya aku berniat segera pergi setelah meminta maaf, tapi emosiku mulai tersulut saat Rena kembali mengungkit tentang kakaknya. Berani beraninya dia menyebut nama kakaknya setelah apa yang mereka lakukan pada kami dulu.
"Tidak usah sok kenal! Siapapun dari keluarga kalian, jangan coba coba mengusik kami lagi. Camkan itu!"
Masih dengan tangan gemetar menahan marah, aku segera menggendong anakku dan pergi dari sana. Cello masih terus menangis, sikap tidak ramah pria itu membuatnya ketakutan.
"Anak lelaki nggak boleh cengeng, masa gitu saja nangis."
"Om itu serem Bun."
"Kan Bunda selalu bilang sama Cello, kalau jalan jangan dibiasakan lari lari begitu. Kalau yang kamu tabrak tadi orangnya sampai terluka gimana coba?"
"Maaf."
Aku mengangkat tubuhnya dan mendudukkan di pangkuanku, sepertinya setelah ini hidup kami tidak akan tenang lagi. Aku tidak tahu kenapa laki laki itu mencari keberadaan kami lagi, tapi mulai sekarang aku harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Tante itu siapa Bun? Kok kenal sama Bunda?"
Aku terdiam sebentar, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan anakku.
"Hm, mungkin dia dulu pernah kenal sama Bunda, tapi sekarang Bunda sudah lupa."
"Besok besok kalau ketemu orang asing, Cello harus jauh jauh ya. Ingat! Tidak boleh sembarangan dekat, ngobrol apalagi sampai ikut dengan mereka. Ngerti?"
"Kayak Om sama Tante yang tadi ya Bun?"
"Iya, kayak mereka tadi itu contohnya."
Katakanlah aku terlalu over protective, tapi mendengar apa yang tadi Rena katakan, sepertinya aku memang perlu super extra menjaga anakku.
"Itu Nenek sudah keluar."
Melihat neneknya yang baru saja keluar dari ruang check up, senyum di wajah Cello langsung tercetak lebar. Bocah ini benar benar sudah jenuh terjebak di sini.
"Ayo Nek kita pulang, di sini ada Om seram!"
Bunda menoleh menatapku meminta penjelasan. Diam bukan pilihan yang tepat, bunda pasti akan terus bertanya sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.
"Tadi ketemu Rena di sini, kayaknya habis dari dokter kandungan sama suaminya."
"Suami?! Memangnya dia sudah menikah?"
Aku mengangkat bahuku. Entahlah, aku juga tidak tahu dan tidak mau tahu apapun tentang keluarga mereka.
"Ayo Bun! Habis ini aku mesti ke kantor Bang Andre. Bunda mau pulang atau ke toko?"
"Ke toko, Bunda mau cek barang barang yang baru datang kemarin."
"Ok."
"Kamu sudah mau mulai kerja lagi?"
Aku mendengus sebal, pertanyaan bunda mengingatkan aku akan kelakuan Bang Andre beberapa hari ini. Manusia kurang ajar satu itu setiap hari membombardir ponselku dengan panggilan dan juga chat yang tak kira kira banyaknya.
"Terpaksa Bun, bisa bisa aku stress tiap hari diteror Bang Andre terus."
Bunda tersenyum sambil menggeleng. Bang Andre salah satu temanku yang bunda kenal dengan baik, termasuk dengan tingkahnya yang super absurd itu. Otaknya boleh saja cerdas, tapi kelakuannya benar benar amit amit.
***
"Thank's God, akhirnya kamu datang juga Sha. Aku sudah puyeng diuber uber sama klien yang satu ini."
"Kalau mau gila tidak usah ajak ajak! Harus banget ya Bang Andre tiap hari menerorku, sampai sampai ponselku mau meledak gara gara berdering terus."
"Ck, lebay kamu."
"Enak saja bilang aku lebay, kemarin saja jam tiga pagi kamu masih menerorku."
"Kalem Sha, kalem. Cantik cantik kok sukanya nyoloy."
"Bodo amat, aku mau pulang saja. Pusing kepalaku lihat tampang kamu, Bang."
"Jangan!"
Bang Andre langsung berlari menghadang di tengah pintu, kedua tangannya terentang lebar berusaha menghalangi jalanku. Aku kadang heran, orang kayak begini kok bisa ya jadi pengacara.
"Cepetan ngomong, waktuku tidak banyak!"
"Good Girl, tapi tunggu sebentar ya, kliennya sudah hampir sampai kok."
Aku mendengus kasar, mau tak mau duduk menunggu di sofa ruang kerja laki laki ini.
"Siapa sih klienmu, Bang? Kenapa kayaknya penting banget?"
"Pokoknya yang ini bukan lagi ikan kakap Sha, tapi ikan paus. Artis terkenal Lena Iskandar, kamu pasti pernah dengar kan?"
Bang Andre melotot tidak percaya begitu melihatku menggeleng. So what, memangnya harus banget ya aku mengenal artis itu.
"Beneran kamu tidak tahu dia siapa?"
"Tidak tahu dan tidak ingin tahu."
Aku tertawa cekikikan melihat Bang Andre yang menatapku gemas. Jadi penasaran, seperti apa sebenarnya ikan hiu yang dia maksud.
"Kalau case Lena Iskandar ini bisa kamu menangkan, percayalah, namamu juga akan ikut melejit seperti roket."
Aku manggut manggut setuju, memang besar kemungkinannya begitu. Ok, anggap saja ini sebagai ajang promosi. Not bad.
Sekretaris Bang Andre masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu. Di belakangnya ada seorang wanita muda cantik yang terlihat anggun dan ramah.
"Siang Len, kebetulan banget Sasha yang kamu cari sudah di sini orangnya."
Aku bangkit dan membalas uluran tangannya. Jadi ini Lena Iskandar yang tadi Bang Andre bicarakan.
"Lena Iskandar."
"Sasha Dewanti, senang bisa ketemu Anda."
Dia duduk di depanku, tidak ada sedikipun kesan sombong dari sikapnya. Dandanannya juga terlihat simple, tapi elegant. Sangat jauh dari penampilan glamour para artis yang biasanya selalu ingin terlihat lebih menonjol. Ok, kira kira seperti itulah penilaianku. Sekarang waktunya untuk mulai bekerja.
"Boleh saya panggil Mbak Lena saja, biar lebih enak ngomongnya."
"Tentu saja boleh, aku juga lebih suka dipanggil begitu. Jadi sekarang kita bisa mulai bicara ke inti masalah kan?"
"Silahkan!"
Aku membetulkan dudukku, di tanganku sudah siap note dan pulpen.
"Tolong bantu aku untuk mengurus perceraian dengan suamiku, sekaligus untuk mendapatkan hak asuh atas anakku."
"Masalahnya apa?"
"Suamiku selingkuh, dia punya hubungan dengan wanita lain di luar. Sebenarnya aku sudah curiga sejak lama, tapi baru sekarang punya buktinya."
Aku menerima amplop coklat besar yang diberikan Mbak Lena. Heran, apa lagi yang kurang dari wanita secantik ini sampai suaminya masih selingkuh di luar.
"Semua bukti yang aku dapat ada di situ, termasuk foto dan data tentang wanita itu."
Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan semua isinya. Deg, jantungku terasa mencelos, berkali kali mataku mengejap untuk memastikan kalau memang tidak sedang salah lihat. Apa lagi ini Tuhan? Kenapa hidupku selalu berputar putar pada keluarga itu.
Untuk beberapa saat yang bisa aku lakukan hanya diam melihat lihat lagi beberapa lembar foto itu. Tidak, aku memang tidak salah lihat. Tapi bagaimana mungkin dia berbuat salah sejauh ini.
"Ini suaminya Mbak Lena? Perempuan ini beneran selingkuhannya?"
Mbak Lena mengangguk mantap, tapi matanya seperti menatapku penasaran.
"Kamu kenal sama suamiku?"
"Bukan, tapi aku kenal perempuan ini. Rena Pradipta, dia itu mantan sahabatku dulu."
"Wah Sasha, kayaknya aku tidak salah pilih orang untuk mengurus perceraianku."
Aku meringis membayangkan sandiwara apalagi yang siap menungguku di depan sana. Tapi terus terang, aku juga penasaran ingin melihat wajah Nyonya Risti Pradipta saat skandal anaknya mencuat nanti.
"Berapa umur anak Mbak Lena sekarang?"
"Lima tahun."
"Cowok apa cewek?"
"Cowok."
"Wah anak kita bisa temenan dong Mbak?"
Wanita ini terlihat terkejut, mungkin dia tidak menyangka kalau aku sudah punya anak yang seumuran dengan anaknya.
"Memangnya umur berapa kamu menikah Sha? Kalau anakmu sudah umur lima tahun, berarti kamu nikahnya muda banget dong?"
Aku kembali tertawa pelan, sepertinya mulai sekarang aku harus terbiasa dengan pertanyaan semacam ini.
"Aku belum nikah kok Mbak, umurku baru menginjak sembilan belas tahun waktu melahirkan anakku dulu."
"Jangan bercanda kamu!"
"Beneran kok, tanya saja Bang Andre yang sering main bareng anakku dulu."
"Boleh, kalau begitu kapan kapan kita ajak anak anak main bareng. Dia pasti seneng punya temen baru."
"Ok, jadi sekarang anak Mbak Lena tinggal sama siapa?"
"Sejak suamiku pergi dari rumah, otomatis anakku ya tinggal sama aku sekarang."
"Memangnya suaminya Mbak Lena sekarang tinggal dimana?"
Wanita ini terdiam, aku dapat melihat dengan jelas rahangnya yang mengeras dan mata yang mulai berkaca kaca.
"Dia tinggal bersama wanita itu di apartementnya."
Aku melongo, bagaimana bisa Rena berubah seperti ini. Sungguh, dia dulu bukan tipe wanita yang bisa bertindak sejauh ini. Tunggu dulu! Aku kembali memperhatikan foto itu, mengamati dengan seksama wajah laki laki di dalamnya.
Bingo! Tidak salah lagi, dia adalah laki laki yang sama dengan yang Cello tabrak di rumah sakit tadi pagi. Itu berarti Rena sekarang sedang mengandung anak pria itu. Kena kalian!
"Mbak Lena sudah mantap untuk bercerai?"
Dia mengangguk sambil mengusap air matanya. Aku menatapnya kasihan, sedikit banyak aku tahu apa yang dia rasakan sekarang.
"Butuh pelukan?"
Saat kepalanya mengangguk, aku berdiri menghampiri wanita itu dan memeluknya hangat.
"Aku pernah berada di posisi yang sama dengan Mbak, jadi aku tahu sekali seperti apa perasaan Mbak Lena sekarang."
Dia menangis terisak di pelukanku, mataku ikut memburam panas. Aku seperti melihat diriku sendiri enam tahun yang lalu. Dicampakkan dan tidak diinginkan, apalagi ada anak yang menjadi korbannya.
"Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk memenangkan kasus perceraian ini. Hak asuh anak juga pasti akan jatuh ke tangan Mbak Lena."
"Terima kasih Sha, aku sangat berharap dengan bantuanmu. Tidak apa apa kalau laki laki itu memilih pergi, tapi aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Tolong aku, Sha."
Air mataku akhirnya mengalir saat mendengar permohonannya. Sesederhana itu keinginannya, anak. Semua demi anak, sama seperti aku yang rela mempertaruhkan hidupku demi Cello.
Mengambil case ini, berarti aku sudah menabuh genderang perang dengan keluarga Pradipta. Mereka pasti tidak akan tinggal diam saat aku mulai mengusik kehidupan anaknya.
Aku bukan semata mata hanya ingin membantu Mbak Lena, tapi juga ingin menunjukkan kalau aku sudah siap membalas mereka.
Kita buktikan, aku yang akan kalah atau mereka yang akan bertekuk lutut.