Bab.5 Pulang

1863 Words
Aku tersenyum melihat Celloku yang sudah tidak sabaran lagi untuk keluar dari bandara. Berbeda dengan anakku yang sejak turun dari pesawat terlihat begitu antusias, aku justru semakin was was dan tidak tenang. Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi setiap kali menapakkan kembali kakiku di sini, berbagai pikiran buruk selalu hinggap di kepalaku. Selamanya mereka akan jadi ancaman tersendiri buat kami. Entah hal kotor apa lagi yang akan mereka lakukan ketika mengetahui keberadaan anakku di sini. "Kenapa Bunda lambat sekali? Ayo Bun, aku mau keluar!" Lihatlah! Si Cerewet kecil itu mulai lagi. Entah sudah berapa kali dia mengatakan itu padaku dengan bibirnya yang mencebik lucu. Aku bahkan sampai kewalahan mendorong troli koper bawaan kami, karena berusaha mengejar Cello yang terus saja berlari menuju pintu keluar di depan sana. "Jangan lari nanti jatuh!" Aku menghela nafas lega melihatnya berhenti, dengan tangan bersedekap dan wajah cemberut dia berdiri menungguku datang ke arahnya. "Sabar sedikit dong, kan kita sudah sampai. Kenapa dari tadi kamu tidak sabaran begitu?" "Rahasia," sahutnya. Aku tertawa pelan, sejak kapan bocil satu ini punya rahasia dariku, ada ada saja. "Kan sudah Bunda bilang berulang kali, jangan lari! Nanti kalau Cello sampai menabrak orang lain bagaimana coba?" Baru saja melangkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah panggilan berhasil mengejutkanku. "Cello." "Om Abi," seru anakku keras. Aku melongo, anakku berlari menghambur ke pelukan laki laki yang sudah membungkukkan tubuhnya dengan kedua tangan terentang lebar itu. Kenapa dia bisa di sini, padahal aku tidak pernah memberitahu tentang kepulangan kami hari ini. "Jadi karena ini kamu sudah tidak sabaran keluar dari bandara sejak tadi?" tanyaku. Aku seperti bicara dengan angin, Cello terlihat tertawa lebar di gendongan Om Abinya tanpa peduli lagi padaku. "Wellcome home Sasha! Cello bilang ingin kasih kejutan buat kamu, jadi aku sengaja tidak memberitahumu akan menjemput kalian di bandara," ucapnya dengan senyum merekah. Aku melirik anakku yang masih nyaman berada di gendongan laki laki ini. Kedua tangan kecilnya memeluk erat leher Abimanyu, ternyata mereka memang sedekat itu. "Tidak, aku yang seharusnya minta maaf sudah merepotkan. Cello sudah keterlaluan memintamu menjemput kami ke sini, maaf." "Aku sendiri yang ingin menjemput kalian, jadi berhenti lah menyalahkan Celloku." "Celloku?" ulangku. "Iya, Celloku. Kamu dilarang keras untuk protes, karena ini sudah menjadi kesepakatan kami berdua. Iya kan Cello?" Bang Abi yang melihatnya mengangguk mantap tampak dibuat gemas. Dia tersenyum lebar sambil mencium pipi gembul anakku. "Turun Cello! Om Abi bisa capek kalau kamu minta gendong terus." "Tidak mau, Cello masih kangen." Bang Abi tertawa sambil membetulkan gendongannya, lalu mengajakku pergi ke tempat mobilnya di parkir. Kadang aku tidak habis pikir, kenapa anakku bisa sedekat ini dengannya. Padahal kan mereka berdua ini jarang sekali bertemu. Hanya saja sejak pertemuan kami di London waktu itu, mereka memang sering mengobrol lewat video call. Sangat sering malahan, sampai Cello selalu merajuk kalau Om Abinya sulit untuk dihubungi. Bukannya tidak suka dengan keakraban mereka, aku hanya takut Cello melampiaskan kerinduannya akan sosok ayah yang tidak pernah dia miliki pada laki laki ini. Itu jelas jelas salah. Selama di perjalanan pulang mereka masih menempel dan tidak berhenti berceloteh. Ada saja yang mereka bahas, mulai dari soal basket, piano, kartun atau game. Sesekali tangan Bang Abi mengusap pelan kepala Cello yang sedang terbaring nyaman berbantal pahanya. Mataku terasa panas melihat pemandangan di depanku. Semua semakin menyadarkan aku kenapa Cello begitu menyukai Abimanyu. Anakku seperti menemukan sosok seorang ayah pada diri laki laki ini. Aku tahu, seberapapun kerasnya usahaku selama ini untuk menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk Cello, tetap tidak akan bisa mengganti arti kehadiran ayah yang tidak pernah anakku miliki. Aku menoleh menatap ke luar jendela ketika air mataku mengalir begitu saja. Ini sangat menyakitkan, aku seperti tertampar kenyataan yang baru saja aku sadari. Bolehkah mereka sedekat ini? Bang Abi jelas punya kehidupannya sendiri dan aku tidak ingin anakku akan jadi sumber ketidaknyamanannya suatu saat nanti. "Tunggu dulu! Ini bukan arah jalan ke rumahku," ucapku bingung. Bagaimana tidak, mobil yang kami tumpangi justru melaju ke jalan yang berbeda dengan arah rumah kami. Jangan jangan sopir Bang Abi salah jalan. "Benar kok, ini memang arah jalan ke rumah Tante Ambar, bundamu." sahutnya santai. Aku menoleh menatap bingung laki laki ini, tapi raut wajahnya biasa saja seperti memang tidak ada yang salah. "Bukan, Bang Abi lupa ya rumahku di mana?" Aneh, dia hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Aku semakin bingung lagi saat mobil kami memasuki gerbang masuk sebuah komplek perumahan mewah. "Kita mau mampir ke rumah siapa, Bang?" tanyaku lagi semakin penasaran. "Ke rumah kamu lah." Aku mendengus kesal, badanku sudah luar biasa capek dan dia malah sengaja membuatku jengkel. "Ayo turun, Tante Ambar sudah menunggu dari tadi!" ajaknya. Tanpa menunggu jawabanku, Bang Abi membopong tubuh Cello yang sudah tertidur pulas. Aku melangkah pelan mengikutinya dari belakang memasuki teras rumah ini. "Sampai rumah juga kalian, ayo masuk!" "Bunda, kok Bunda ada di sini?! Ini rumah siapa?" "Ya rumah kita lah, masa iya rumahnya Abi. Lucu kamu, masuk!" Aku mengikuti mereka masuk. Mungkin aku terlalu lelah, otakku masih belum bisa mencerna maksud perkataan mereka. "Cello tidurkan saja di kamarnya, Bi!" Aku seperti orang dungu yang hanya diam duduk di sofa dan memperhatikan mereka yang mondar mandir memindahkan barang barang bawaanku. "Bun, ini sebenarnya rumah siapa?" Bunda menonyor kepalaku pelan, lalu duduk di sampingku. "Rumah kita, Bunda membelinya dua bulan yang lalu." "Haa ..." "Ck, kamu kok kayak orang bego yang nggak mudeng diajak ngomong sih Sha. Ini rumah kamu, rumah kita." "Bunda beli rumah dan pindahan kok nggak bilang bilang? Bikin aku celingukan kayak orang bodoh saja." "Bunda sengaja beli rumah ini supaya kamu sama Cello nyaman tinggal di sini. Dan lagi keamanan di sini terjamin, kita tidak perlu khawatir dengan keselamatan Cello." Aku menghambur masuk ke pelukan bunda, demi kami bahkan dia rela pindah dari rumah kami yang lama. Padahal di sana penuh kenangannya bersama mendiang ayahku. "Terima kasih ya, Bun." "Aku juga mau dipeluk dong, Tante." Ada yang salah, aku duduk menatap bunda dan Bang Abi bergantian. "Kok kalian bisa akrab? Bang Abi kok tahu Bunda pindah ke sini? Sejak kapan hubungan kalian bisa sedekat ini?" "Aku tahu kamu pengacara, tapi jangan perlakukan kami seperti terdakwa di pengadilan. Ok!" Bunda tertawa melihat Bang Abi yang menatapku lucu. Aku cuma bingung kenapa mereka sekarang bisa terlihat seakrab itu. "Bukan begitu, tapi bukankah kalian tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan juga baru bertemu sekali waktu menjenguk Bunda di rumah sakit." "Nggak sopan kamu! Abi yang bantu Bunda cari rumah ini dan mengurus semuanya." "Ck, aku tanya sejak kapan kalian jadi sedekat ini, kok malah membahas soal rumah. Nggak nyambung, Bun!" "Bodo ah, repot ngomong sama kamu kalau mode pengacaranya lagi on begitu. Bunda mau lihat Cello dulu, masih kangen sama cucuku." Aku mengernyit menatap pria yang masih cengengesan duduk di depanku. Sumpah, aku penasaran apa yang sudah terjadi setelah kejadian menjenguk di rumah sakit waktu itu. "Matanya biasa aja kali Sha, melihatnya jangan kayak lagi introgasi penjahat begitu dong." Aku berdecih pelan, dia sengaja berbelit belit untuk membuatku semakin kesal. "Setelah kamu balik ke London waktu itu, aku memang sengaja beberapa kali mengunjungi bundamu. Aku cuma ingin memastikan keadaannya baik baik saja. Biarpun ada pembantu, tapi bundamu belum benar benar pulih." Aku terdiam, kata katanya seperti telak menamparku. Bahkan aku yang anak kandung satu satunya justru pergi sejauh itu. Seharusnya aku yang di samping bunda dan menjaganya, bukannya malah Abimanyu yang hanya orang lain bagi kami. "Harus banget ya Bang Abi perhatian sampai segitunya?" "Karena dia bundamu dan neneknya Cello. Maaf kalau apa yang sudah aku lakukan membuatmu tidak nyaman." Aku mengusap wajahku pelan, terlalu bingung harus ngomong apa. Dari dulu laki laki ini sudah terlalu baik pada kami, aku hanya tidak ingin lebih banyak lagi berhutang budi padanya. "Bang Abi tidak perlu merasa kasihan pada kami." "Heii, kenapa kamu malah berpikiran seperti itu? Kalian adalah wanita wanita yang hebat yang tidak butuh belas kasihan dari orang lain, apalagi dariku." "Tapi Bang Abi juga punya kehidupan sendiri. Jangan sampai karena sikap Abang pada kami yang terlalu baik, justru akan membuat keluarga Bang Abi tidak suka." "Apalagi Cello, aku merasa kalian terlalu dekat. Aku tidak ingin anakku berharap lebih. Aku juga takut dia melihat keberadaan Bang Abi sebagai sosok ayah yang selama ini tidak pernah dia miliki. Ini salah, jelas salah." Laki laki yang sejak tadi diam mendengarkan aku bicara itu kini tampak menghela nafas panjang. Mata tajamnya menatapku penuh perhitungan. "Kamu keberatan aku dekat dengan Cello?" Aku menggeleng keras, bukan itu maksudku. "Aku sudah menyukai Cello sejak pertama ketemu kalian di bandara setahun yang lalu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa." "Keberadaan Cello ataupun kalian sama sekali tidak mengganggu hidupku. Justru aku akan sangat kehilangan kalau kamu berusaha menjauhkan Cello dariku. Jadi bolehkah aku tetap berada dekat di sampingnya?" Aku menatap lekat wajah pria ini, apa dia tidak tahu resikonya terlalu dekat dengan kami. "Bang Abi tahu sendiri kan keadaan kami seperti apa? Apa kamu tidak khawatir kalau suatu saat ikut terseret dalam situasi yang rumit?" "Cepat atau lambat mereka akan menyadari keberadaan kami dan entah apalagi yang akan mereka lakukan untuk menyingkirkan kami nantinya. Aku hanya tidak ingin kamu kena imbasnya, orang seperti mereka itu terlalu picik dan juga tidak punya hati." Bang Abi mengangguk mengerti, tapi bukannya khawatir, dia malah kelihatan tersenyum lega. "Kamu tidak usah khawatir, selama ada aku, tidak akan semudah itu bagi mereka untuk menyakiti kalian lagi." Aku menunduk berusaha menyembunyikan air mataku yang tiba tiba saja merembes keluar. Dia ini bodoh atau gimana? Aku sudah memperingatkan untuk jangan mengambil resiko dekat dengan kami, tapi dia justru dengan suka rela menawarkan diri menjadi tameng bagi kami. "Bagaimana kalau justru Bang Abi sendiri yang beresiko melukai Cello nantinya?" "Apa maksudmu?" "Cello menyukaimu, dia merasa nyaman bersamamu. Aku hanya takut dia begitu karena merasa menemukan sosok ayah dari Bang Abi." Laki laki di depanku ini menatapku gamang. Bibirnya berkali kali terbuka seperti ingin bicara, tapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. "Aku tidak ingin anakku terluka. Kehidupannya selama ini baik baik saja meski tanpa sosok ayah kandungnya ataupun kehadiran Bang Abi." "Cello masih terlalu kecil untuk mengerti, dia bisa saja menyalahartikan perhatian yang Bang Abi berikan padanya. Aku takut kalau pada akhirnya dia tidak siap menerima penolakan." "Sejak masih di dalam kandungan semua orang menolak kehadirannya, bahkan ayahnya dan keluarganya menginginkan kematiannya. Anakku bagi mereka dianggap tidak lebih sebagai aib yang harus disingkirkan." "Sasha ..." "Bagaimana kalau suatu saat keluarga Abang juga akan bersikap demikian? Bukan tidak mungkin suatu saat kedekatan Bang Abi dengan kami akan menyulut masalah baru." "Tolong pikirkan dulu baik baik. Tidak apa apa kalau hanya aku yang terluka, tapi kalau sampai anakku yang tersakiti, aku tidak tahu hal gila apa yang akan aku lakukan selanjutnya." Laki laki ini mulai kelihatan gusar, berkali kali dia menghela nafas kasar. Bang Abi sepertinya kurang setuju dengan apa yang baru saja aku katakan panjang lebar padanya. "Berpikirmu terlalu jauh Sha, kamu hanya merasa ketakutan. Mana mungkin aku menyakiti Cello?" "Semoga saja memang begitu. Cello itu hidupku, jadi kalau ada yang berani menyakitinya, aku sanggup melakukan apapun untuk membalasnya." Aku beranjak bangun dan pergi ke kamar yang di tempati Cello. Bukannya aku bermaksud jahat melarangnya dekat dengan anakku, tapi aku hanya mencoba membuat batas aman. Jangan sampai ada siapapun itu yang akan menyakiti Celloku, termasuk Abimanyu sekalipun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD