4. Kekesalan Elard

1726 Words
Seusai pertemuannya dengan Gavin, Elard memilih menyambangi restoran miliknya. Tenggelam dalam pekerjaan hingga langit berubah petang. Mengabaikan tubuh yang berteriak lelah dan meminta untuk di istirahatkan. Pria itu justru melajukan kendaraannya kearah yang jelas-jelas bukan apartemen atau pun rumah orangtuanya. Memarkirkan motor, Elard membuka kaca helm, dan ... Kedua matanya seketika terbelalak, mendapati sosok yang berdiri canggung di seberang jalan tengah menundukkan kepala, sibuk dengan benda pipih yang berada di tangan. Apa-apaan itu?! Secepat yang Elard bisa, ia melepas helm dan bergegas turun dari motor. Nyaris jatuh karena terlalu terburu-buru saat turun hingga kehilangan keseimbangan. Beruntung, tak sampai tersungkur bersama motor besarnya. Mendapati jalanan yang lengang, Elard segera menyebarang jalan. Berderap cepat hingga bisa berdiri di depan gadis yang masih tak menyadari keberadaannya. Hal yang membuat Elard kian geram. Bukan karena keberadaannya yang terabaikan. Tapi ... Bagaimana bisa gadis di depannya ini abai pada keadaan sekitar? Apa jadinya jika yang sekarang mendekatinya adalah orang yang berniat jahat? Dengan keadaan yang sepi, sendirian, bukankah itu perpaduan yang sangat berbahaya? "Ngapain?" "Astaga!" Anin berjengit saat suara seseorang tiba-tiba saja tertangkap pendengarannya. Fokusnya yang sejak tadi tersita pada ponsel membuatnya tak sadar jika ada yang berdiri menjulang di hadapannya. Mengangkat wajah, ia kian dibuat heran dengan keberadaan Elard yang ... Entah sejak kapan kedatangannya?  "Ngapain di sini?" Ulang Elard melempar tanya karena Anin tak juga menjawab. "Kak El yang ngapain di sini?" Tanyanya balik. Berdecak, alih-alih menjawab, Elard bergegas melepas jaket yang dikenakannya dan dipakaikan pada Anin yang kebingungan. "Loh, Kak?" "Pake! Dan jangan pernah pakai pakaian kayak gini lagi, apalagi sendirian di saat keadaan sepi kayak sekarang."  Awalnya, Elard hanya iseng mendatangi gang kontrakan Anin. Tapi siapa sangka? Ia justru dikejutkan dengan keberadaan gadis itu yang berdiri sendirian dengan dress merah yang terlalu terbuka. Menggigit bibir bawah, Anin meringis canggung. "I—ini ... Pemberian dari Mbak Saras. Dia ... Undang aku ke pesta ulangtahunnya hari ini." "Kenapa nggak bilang?" Tanya Elard dengan suara yang terdengar menuntut. Mengerutkan kening dengan kepala yang sedikit di miringkan ke satu sisi, Anin mengerjap memandang Elard yang berdeham canggung, usai mengingat sesuatu.  Si*l! Kenapa dia terdengar seperti kekasih yang posesif? Lagipula, Anin tak memiliki kewajiban untuk melaporkan apa pun padanya. Tapi ... Akh! Mengacak rambut hitamnya hingga kusut masai, Elard mengela napas panjang, "terus ngapain berdiri di sini dari tadi?" "Oh, itu ... Aku udah pesan taksi online. Tapi tiba-tiba dibatalkan, jadi sekarang, lagi nyari yang lain. Cuma ... Dari tadi nggak dapat-dapat." Merogoh saku celananya, Elard meraih ponsel miliknya. Menekan tombol panggil pada seseorang dan segera menempelkannya di telinga kanan saat panggilannya diangkat pada dering pertama. "Bawa mobil gue, nanti gue kirim alamatnya."  Klik! Usai mematikan sambungan, Elard fokus mengetikan sesuatu, setelah selesai, ia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana, sebelum kemudian bersedekap tangan dengan tatapan yang terus mengawasi Anin, hingga gadis itu merasa jengah. "Kak—" "Bibi nggak protes sama pakaian yang kamu pakai sekarang?" Menggeleng kaku, Anin berusaha untuk tak merasa ciut di bawah tatapan Elard yang mengawasinya dengan intens.  Menunggu selama lima belas menit, sebuah mobil tampak berhenti tak jauh dari keberadaan mereka berdua.  Elard bergegas menghampiri dan memberikan kunci motornya. "Lo bawa motor gue," ucapnya yang segera diangguki anak buahnya yang segera undur diri. Sementara Elard, kembali mendatangi Anin, "ayo," ajaknya pada gadis yang masih mematung di tempatnya berdiri sejak tadi. "Kemana, Kak?" "Lah, katanya mau ke acara ultahnya Mbak Saras kan?" "Hah? O—oh, iya sih, tapi ...." Berdecak tak sabaran, Elard menuntun gadis itu agar bergegas masuk ke dalam mobilnya.  "Kak El, di undang juga?" "Iya," jawab Elard sekenanya, karena tengah membantu memasangkan seat belt pada Anin. Usai memastikan gadis di sampingnya duduk nyaman. Dia memasang seat belt untuk dirinya sendiri, sebelum kemudian melajukan mobilnya. "Acaranya di mana?"  Mengerutkan kening, Anin menoleh pada Elard, "loh, katanya Kak El di undang juga? Masa nggak tau di mana tempatnya?" Berdeham, Elard mengedikkan bahu tak acuh, "ya ... Aku kan juga kenal sama Mbak Saras. Jadi, tanpa undangan fisik pun, kayaknya bakal boleh kok sama dia." Tak lagi mendebat, Anin akhirnya memberitahu lokasi acara.  Sepanjang perjalanan, tak begitu banyak percakapan. Anin lebih banyak diam dan memerhatikan pemandangan yang berada di luar jendela mobil. Sementara Elard, selain sibuk menyetir, sesekali menyempatkan diri untuk mencuri pandang pada sosok Anin. "Loh, Kak, mau kemana?" Anin menegakkan posisi duduknya, melihat mobil Elard berbelok ke tempat yang jelas-jelas bukan tujuannya. Tak segera menjawab, Elard masih fokus memarkirkan mobilnya. Setelah berhenti dan membuka seat belt, baru kemudian meletakkan atensi pada sosok Anin. "Kita cari baju." "Kita?" "Iya, aku nggak mungkin datang ke acara formal pake celana robek dan kaus buluk kesayangan aku ini kan?" Tanyanya sembari menarik ujung lengan kaus hitamnya. "Hm ... Ya, tapi ... Aku kan udah pakai gaun pemberian Mbak Saras. Jadi nggak perlu—" "Ganti," tegas Elard. "Hah?" Mengerjap, Anin kebingungan dengan wajah Elard yang tampak masam. "Ganti gaunnya sama yang lain. Jangan pakai gaun itu." "Kenapa? Ini dari Mbak—" "Iya, tau, dari Mbak Saras kan?" Tanya Elard yang diangguki Anin dengan wajah bingung yang belum juga meluruh. Mengela napas panjang, ia memiringkan duduknya agar bisa lebih menghadap Anin, "yakin mau pake gaun itu ke sana? Bakal ada banyak orang, bukannya sibuk nikmatin pesta, kamu bakal ngabisin waktu buat narik-narik turun gaun pendek kamu itu, terus kamu tarik-tarik lagi bagian atasnya supaya nggak terlalu merosot turun. Dan itu jelas-jelas hal yang percuma." Terdiam sejenak, Anin tak memerhatikan Elard yang sudah turun dari mobil dan berjalan memutar untuk membukakan pintu untuknya. "Ayo turun, ada banyak gaun lain yang bisa kamu pake. Dan yang pasti, jauh lebih nyaman." Mendongak menatap wajah Elard, Anin tampak disergap bimbang. "Tapi Kak, ini pemberian Mbak Saras, kalau—" "Nanti aku bantu ngomong sama Mbak Saras. Supaya nggak tersinggung kamu nggak pake gaun yang dikasih." Menelan ragu, Anin akhirnya mengangguk. Ikut keluar dari dalam mobil dan mengekori Elard. Memasuki sebuah butik yang cukup ternama, keduanya disambut ramah oleh seorang pegawai wanita.  "Mama sering belanja di sini. Kadang, kalau mau kondangan suka nyeret aku atau Gavin kalau Papa lagi nggak bisa nemenin." Ungkap Elard pada Anin yang tampak canggung. "Kamu pilih aja mana yang cocok. Tapi—" menjeda sejenak, Elard menatap lekat, "jangan terlalu terbuka. Aku nggak su—hm ... Maksudnya, nanti kamu masuk angin pakai gaun kurang bahan kayak yang Mbak Saras kasih." Berdeham sembari menggaruk pelipis, Elard berpamitan pada Anin karena dia pun akan memilih pakaiannya. Sepeninggal Elard, Anin kemudian meminta dengan sungkan pada pegawai yang menawarkan bantuan, untuk memberinya ruang sendiri, melihat-lihat koleksi terbaru di butik tersebut, "maaf ya, Mbak." "Oh, nggak apa-apa kok, Mbak. Silakan. Nanti, kalau butuh sesuatu, jangan sungkan panggil saya atau pun rekan saya yang lain." "I—iya, Mbak." Usai pegawai wanita itu berlalu pergi meninggalkannya. Anin mengela napas panjang, dan kembali melihat-lihat deretan gaun cantik yang terpajang. Sejujurnya ... Hal ini membuatnya merasa deja vu, sewaktu dulu untuk pertama kalinya, jalan bersama Gavin. Dan pria itu, langsung mengajaknya berbelanja pakaian begitu banyak, karena rupanya, akan diajak bertamu ke kediaman pria itu. Hal yang membuatnya juga kembali bertemu dengan Elard setelah cukup lama tak melihat, usai insiden penyekapan. Menggeleng-gelengkan kepala untuk mengembalikan fokusnya. Anin kembali melakukan pencarian. Memilih gaun yang sekiranya cocok untuk dikenakan ke acara ulangtahun Saras. Sejujurnya, gaun yang wanita itu berikan padanya sangat cantik dan ... Meski tak tau harganya, ia yakin itu mahal. Hanya saja, terlalu terbuka dan membuatnya tak nyaman. Elard benar, jika memaksakan diri memakai gaun itu ke pesta nanti, ia tak akan fokus pada acara, tapi gaun yang dikenakannya. Setelah melihat-lihat dengan rasa bingung yang bergelayut di kepala, mendapati ada begitu banyak gaun cantik yang tersuguh di depan mata. Anin tiba-tiba meletakkan atensi pada sebuah gaun hitam dengan kerah sabrina. Panjangnya di bawah lutut, jadi tak perlu membuatnya repot menarik-narik ke bawah karena terlalu pendek.  Merekahkan senyuman, Anin memantapkan hati memilih gaun tersebut. Saat mengulurkan tangan dan menyentuh gaun tersebut, ia dapati tangan lain dengan kuku terawat berkuteks merah, mendarat digaun yang sama. Kedua wanita itu sama-sama menoleh dengan ekspresi yang berbeda. Anin yang mengerjap bingung, sementara wanita asing di sebelahnya menaikan satu alis mata dengan wajah penuh penilaian. "Saya mau gaun ini." Ucapnya tanpa basa-basi. "T—tapi, saya duluan, Mbak." Anin tak tau, seharusnya ia memilih untuk mencari gaun lain alih-alih berdebat dengan wanita yang menatapnya penuh intimidasi itu. Hanya saja, dia merasa cukup kesal dengan nada perintah yang wanita itu ucapkan padanya. Padahal, sudah jelas, dia yang lebih dulu menyentuh gaun itu. Aneh, dari mana datangnya? Karena sejak tadi, saat mengamati gaun tersebut, tak ada siapa pun sebelumnya.  Berdecih, alih-alih mengalah usai mendengar keberatan yang Anin ajukan, wanita itu justru menyetak gaun yang tengah mereka perebutkan, hingga tangan Anin tak lagi bisa menyentuh gaun tersebut. Gadis itu terkejut, tentu saja, tapi belum sempat buka suara, wanita itu sudah lebih dulu menginterupsi ucapannya. "Dan anda pikir, saya peduli?" Tanyanya dengan tatapan yang memindai penampilan Anin. "Saya tidak suka, apa yang saya suka, diusik orang lain." Ucapnya menyebalkan, sebelum kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Anin yang terbengong di tempatnya berdiri. Menoleh, Anin melihat wanita itu melemparkan gaun yang tadi mereka rebutkan pada salah seorang pegawai yang sudah memegangi setumpuk pakaian, mengekori wanita itu yang berjalan lenggak-lenggok menuju kasir dengan tergopoh-gopoh. "Wanita aneh," gumam Anin yang masih dibuat terkejut, dengan sikap menyebalkan wanita asing itu. "Siapa yang aneh?" "Astaga!" Mengelus dad*, Anin berbalik dan mendapati Elard yang ... Sudah mengganti pakaiannya. Tak ada lagi kaus dan celana jeans belel. Berganti dengan kemeja panjang berwarna dongker yang sudah digulung hingga bagian lengan. "Disuruh pilih gaun malah melamun, ck!" Meringis, Anin menggumamkan permintaan maaf. Sebenarnya, dia sudah nyaris dapat tadi. Kalau saja, wanita asing tak datang dan menyerobot gaun pilihannya. "Semuanya bagus Kak, aku ... Jadi bingung."  Mengela napas panjang, Elard kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar. Menatap deretan gaun-gaun cantik, tapi belum ada satu pun yang berhasil di pilih Anin. Jadi ... Baiklah, biar dia saja yang memilihkan. Tatapannya kemudian tertuju pada sebuah gaun merah muda. Tampak cantik dan anggun, serta memiliki model yang tak terlalu terbuka. "Coba yang ini, sepertinya kamu bakal can—ekhm! Cocok pakai yang ini." Tak ingin membuang waktu lebih lama, karena harus segera menghadiri pesta Saras, Anin mengangguk patuh, mengambil gaun pilihan Elard dan masuk ke dalam ruang ganti. Elard sendiri memilih menunggu di sebuah sofa yang di peruntukan bagi pengunjung. Bermain ponsel, sebelum seseorang menepuk bahunya tiba-tiba hingga membuatnya terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD