3. Undangan Yang Tak Diharapkan

1219 Words
Suara dering ponsel mengusik pendengaran Elard. Mengerang kesal, pria itu menutupi kepala dengan bantal. Berusaha meredam suara berisik yang sudah mengusik tidurnya.  Kedua mata Elard masih enggan terbuka, dia masih butuh tidur. Mengingat, pukul tiga dini hari lelap baru menyeretnya. Deringan ponsel miliknya tak lagi terdengar. Membuat Elard mengela napas lega, sayang, itu tak bertahan lama, karena deringan yang memekakkan telinga kembali menginterupsi tidurnya. "Akh! Si*l! Siapa sih?!" Melempar bantal yang sebelumnya menutupi kepala ke sembarang arah untuk menyalurkan rasa marahnya, Elard bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk. Mengulurkan tangan untuk meraih ponsel yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Mengerutkan kening, Elard memandangi nama Gavin yang tertera di sana. Sebelum kemudian mengela napas dan menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan. "Apaan?" Tanyanya langsung yang malas berbasa-basi. Dia ingin segera melanjutkan tidur, tak peduli jika di luar sana, sinar matahari sudah menyengat di atas kepala.  "Ck! Lo baru bangun?" "Hm, kalau lo nggak telepon, gue masih menjelajah alam mimpi." "Astaga ... Ini udah jam sebelas siang, El." Mengedikkan bahu tak acuh, meski Gavin tak melihat pergerakannya, Elard bersikap tak peduli. Bergeser dan memundurkan tubuh agar punggungnya bisa bersandar di kepala tempat tidur. Ia kembali bersuara. "Kenapa? Lo masih di Surabaya kan?" "Gue udah balik." "Kapan?" "Kemarin sore. Cuma nggak kemana-mana dan istirahat di apartemen." Ber'oh panjang, untuk sejenak, keduanya terperangkap senyap. Hingga dehaman Gavin di seberang sambungan, mengoyak keterdiaman mereka. "El?" Panggilnya yang dibalas Elard dengan gumaman. "Ada sesuatu yang mau gue bilang," Gavin kemudian mengajak Elard ke sebuah kafe yang tak begitu jauh dari kantor milik sang Papa.  "Lo udah di kantor? Kenapa nggak ajuin libur? Kerja mulu, nggak bosan apa?" "Ck! Mana ada? Lo ya, gue sama Papa lagi pontang-panting." Mengerutkan kening, Elard yang sebelumnya bersandar santai segera menegakkan tubuh. "Maksud lo?" Terdengar elaan napas berat dari Gavin, sebelum suara pria itu kembali tertangkap pendengaran Elard. "Gue kasih tau nanti. Jadi sekarang, angkat badan malas lo dari kasur, seret ke kamar mandi. Guyur pake air biar sadar seutuhnya terus siap-siap temuin gue, bye!" Tut ... Tut ... Tut .... Elard mengump*t, menjauhkan ponsel dari telinga, dan mendapati sambungannya dengan Gavin sudah terputus. Dia bahkan belum mengatakan apa pun untuk menjawab. Melempar asal ponsel ditangannya ke atas kasur, Elard bergegas turun dari atas tempat tidur dan berderap menuju kamar mandi. Setelah menyelesaikan sesi mandinya dan bersiap, Elard meraih kunci motor dan segera keluar dari apartemen. Berkendara beberapa lama, akhirnya sampai di tempat yang menjadi lokasi pertemuannya dengan Gavin.  Mengedarkan pandangan, Elard mencari sosok saudara tirinya itu. Mata tajamnya kemudian menemukan seorang pria yang tengah menundukkan kepala dengan tangan kanan sibuk pada ponsel, sementara tangan kirinya memegang cangkir sembari sesekali menyesapnya. Berderap cepat menuju meja yang Gavin tempati, Elard menarik kursi yang bersebrangan. Suara derit kursi yang tergeser mengoyak fokus Gavin pada ponselnya. Mengangkat wajah, ia mendapati sosok Elard yang sudah duduk berhadapan dengannya. "Kapan lo datang?" Tanyanya dengan kening mengernyit. Bagaimana bisa tak menyadari keberadaan Elard? Ah, mungkin ponsel yang masih ditangannya benar-benar menyita seluruh perhatiannya. Mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, Elard mengerutkan kening dengan wajah yang tampak berpikir. "Kurang lebih ... Setengah abad yang lalu." Jawabnya asal yang membuat Gavin mendengkus sebal. Meletakkan ponsel ke atas meja, dan menyesap minumannya sejenak, sebelum kemudian meletakkan cangkir itu ke atas piring kecil, Gavin mulai menjatuhkan fokus pada Elard.  Bibir Gavin terbuka, nyaris mengatakan sesuatu, tapi kembali terkatup saat Elard mengangkat tangan kanannya. "Bentar, apa pun yang mau kita bahas, sebaiknya tunda dulu. Perut gue kayak kontrakan baru, belum terisi apa pun." Mengabaikan wajah masam Gavin, Elard memanggil salah seorang pelayan yang kebetulan tengah melewati mejanya. Usai memesan makanan yang menjadi sarapan sekaligus makan siang, pria itu melanjutkan pembicaraannya. "Jadi lo udah selesai urusan di Surabayanya?" Menggelengkan kepala, Gavin menyugar rambut dengan wajah suram. Membuat Elard menaikan satu alis mata. Entah kenapa ... Dia mengendus hal ganjil pada saudara tirinya itu. "Ada masalah?" Pancingnya karena Gavin tak tampak memulai mengatakan apa pun padanya. Menumpukkan kedua lengannya di atas meja, Gavin menatap Elard dengan lekat. "Kalau lo tanya, apa ada masalah? Jawabnya, banyak." "Coba lo kasih tau lebih detail."  "Keadaan perusahaan sedang kurang baik, El." "Kenapa?" Gavin tak segera menjawab karena pesanan Elard datang. Setelah sang pelayan selesai menata di atas meja dan pamit undur diri, baru dia kembali melanjutkan ucapannya yang harus terinterupsi tadi. Mengedarkan pandangan sejenak, Gavin kemudian menatap Elard dengan tubuh yang di condongkan ke depan, "ada yang melakukan korupsi di perusahaan." "Apa?!" Elard memekik hingga beberapa pengunjung menoleh kearahnya. Membuat Gavin berdeham canggung. Seharusnya, ia mengajak Elard bertemu di private room untuk membahas hal yang penting ini. Tapi mau bagaimana lagi? Pikiran Gavin tengah semrawut. "Papa panggil gue buat balik untuk bahas hal itu, padahal, urusan gue di Surabaya sebenarnya belum selesai." Mengela napas panjang, Gavin mengacak rambut, sejujurnya dia kekurangan waktu tidur. Ada banyak hal yang harus diselesaikan. "Kenapa Papa nggak pernah bilang soal ini ke gue?" "Harusnya lo yang sesekali sisihkan waktu berdua sama Papa. Meski nggak pernah bilang dan mempersoalkan pilihan lo yang mengurus bisnis lain, gue rasa, Papa tetap berharap sama lo." Tercenung sejenak, Elard memikirkan perkataan Gavin yang ... Sejujurnya, cukup menohok. "Apa udah ketahuan, siapa si brengs*k yang udah bikin kacau perusahaan?" Seperti sebelumnya, Gavin mencondongkan tubuh dan berbicara dengan suara berbisik. "Dari bukti-bukti sementara, semua mengarah ke Om Beno." "Ck! Gue udah bilang dari dulu sama Papa, jangan percaya sama si penjilat itu." "El, dia Om lo." "Dan gue nggak peduli." Menyandarkan punggung pada sandaran kursi di belakangnya, Elard bersedekap tangan dengan wajah mengeras. Dia akan membuat perhitungan dengan pria paruh baya satu itu, karena sudah berani mengkhianati sang Papa, lihat saja nanti. Janjinya dalam hati. "Semua baru dugaan, belum ada bukti kuat yang bikin Om Beno jadi seseorang yang harus bertanggung jawab atas kekacauan di perusahaan." "Kalau gitu cari bukti itu." "Lo pikir mudah? Ini orang mainnya halus. Papa aja yang lo tau sendiri orangnya gimana? Sangat hati-hati, detail, dan instingnya kuat. Tapi apa? Bisa terkecoh hingga baru sadar saat perusahaan merugi." Berdecak kesal, Elard kian gatal untuk mengoyak semua yang sudah bermain-main dengan perusahaan keluarganya.  "Oya, El, gue bisa minta bantuan lo nggak?" "Apaan?" Gavin tampak meragu, tapi akhirnya, pria itu mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya dan menyodorkannya pada Elard.  "Ini apaan?" "Undangan." "Ck! Itu gue tau, maksudnya, undangan apaan?" "Ya kan lo bisa baca, El." Mengedikkan bahu tak acuh, Gavin justru menikmati raut sebal dari Elard. Mendengkus menahan dongkol, Elard membuka undangan yang Gavin berikan. Keningnya mengernyit saat membaca isi undangan perusahaan tersebut. Sebelum kemudian, menutupnya dan meletakkan lagi ke atas meja. "Terus kaitannya sama gue apaan?" "Papa minta gue buat hadiri acara salah satu rekan bisnisnya karena di hari yang sama, harus pergi ke luar kota sama Mama." Mulai Gavin menjelaskan, "masalahnya, gue harus balik ke Surabaya, dan pas acara itu diadakan, gue belum bisa pulang." "Terus?" Tanya Elard yang membuat Gavin menggeram menahan kesal.  "Ya gue minta lo gantiin." "Rempong banget sih? Tinggal bilang aja nggak bisa datang." "Nggak bisa, El, karena dia salah satu rekan bisnis yang penting. Papa udah wanti-wanti buat datang ke acara itu." Menggaruk pelipis, Elard berpikir sejenak. Mengela napas panjang, ia akhirnya menganggukkan kepala. "Iye, yaudah, gue yang datang." "Nah, gitu dong. Nggak lama juga nggak apa-apa. Yang penting lo setor muka mewakili Papa." Ucap Gavin penuh semangat, sebelum kemudian terkekeh melihat wajah masam dan penuh keterpaksaan dari Elard.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD