Elard tersentak, saat seseorang menepuk pundaknya. Mengangkat pandangan dari ponsel yang sebelumnya menyita perhatian. Pria itu mendongakkan kepala, dan bertemu pandang dengan seseorang yang tak disangkanya, bisa bertemu di tempat ini.
"Oy, Bos, gue kira salah orang, beneran lo ternyata." Mengempaskan tubuh di samping Elard, Dika terkekeh, "sama siapa?"
"Lo ngapain di sini?" Alih-alih menjawab, Elard justru berbalik melempar tanya.
"Biasa, nemenin cewek gue. Pegel dari tadi ngekorin dia pilih-pilih baju. Gue suruh sendiri aja, pant*t gue udah nggak tahan pengen cari tempat duduk."
Mendengkus, Elard melirik salah satu sahabatnya itu, "bukannya lo baru putus empat hari yang lalu? Balikan lagi?"
"Kagak, ini baru lagi," ucap Dika dengan suara berbisik, sebelum kemudian terkikik setelah mengamati sekitar. Takut wanita yang baru menjadi pacarnya beberapa jam yang lalu itu tiba-tiba muncul.
Memutar bola mata dengan wajah jengah, Elard hanya bisa geleng-geleng kepala. "Cepet banget lo nyantol sama yang baru."
"Nggak enak jomlo lama-lama, Bos. Gue bukan lo, yang bisa bertahan hanya dengan perhatiin si dia secara diam-diam."
"Ck! Kok jadi ke gue?"
"Lo kan panutan Bos. Sayangnya, gue nggak sanggup kalau harus ngikutin lo dalam persoalan cinta."
Elard baru saja akan membalas ucapan Dika, tapi suara seseorang sudah lebih dulu menginterupsinya.
"Kak El, aku sudah selesai."
Tak hanya Elard yang menoleh, Dika yang duduk di sampingnya pun ikut mengalihkan perhatian, mendengar suara lembut yang menginterupsi percakapan mereka.
Menaikan satu alis mata, Dika memberi seringai menggoda dan bersiul menyebalkan. "Akhirnya, ada kemajuan nih?"
"Ck! Sono liat cewek lo, jangan sampe digondol orang nggak tau."
"Ah, elah, cewek gue bukan kucing, Bos. Santai aja, kalau udah pegel dan dapetin semua yang dia mau, nanti juga nyari gue."
Tak mengindahkan ocehan Dika, Elard memilih untuk meletakan atensi pada Anin yang berdiri canggung. Terlebih, gadis itu sudah mengenakan gaun yang sebelumnya dipilihkan olehnya.
Menganggukkan kepala, dengan tatapan yang memindai penampilan Anin, Elard menggumam, "benarkan, can—ekhm! Cocok."
"Cantik juga Bos, bukan cuma cocok." Sela Dika yang tiba-tiba ikut nimbrung dan sudah berdiri di samping Elard.
"Iya, gaunnya cantik."
"Dih, sok-sokan bilang gaun, padahal di hati perhatikan ora—" Dika tak sempat menyelesaikan ucapannya karena Elard sudah lebih dulu membekap mulutnya.
"Diem lo, berisik terus dari tadi." Beralih pada Anin yang hanya diam memerhatikan, Elard berdeham untuk meluruhkan rasa canggung, "gimana? Suka? Atau mau pilih yang lain?" Tanyanya pada Anin yang menggelengkan kepala.
"Nggak Kak, ini aja."
"Oke," melepas bekapannya, Elard kemudian menatap Dika. "Gue cabut duluan," ucapnya singkat, sembari menepuk pundak sahabatnya itu. "Ayo Nin."
"Nggak ganti baju dulu Kak?"
"Nggak usah, langsung pake aja, nanti tinggal kasih lihat price tag ke kasirnya."
Tak lagi membantah, Anin mengangguk dan mengekori Elard setelah pria itu berpamitan sekali lagi pada Dika yang mengangguk, dan melambai singkat pada keduanya yang berlalu pergi.
Selesai mengurus p********n baju yang mereka beli, keduanya sudah berada di dalam mobil. "Untung gue ikut." Ucap Elard sembari mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
Mengerutkan kening, Anin yang sebelumnya menikmati pemandangan yang berada di luar jendela, beralih menatap Elard. "Memangnya kenapa, Kak?"
"Lo tau nggak, tempat yang Mbak Saras jadiin sebagai pesta ulang tahunnya?"
Menggeleng, Anin tampak tertarik sekaligus penasaran. "Kak El pernah ke sana?"
"Sekali, pas ketemu sama temen-temen zaman kuliah dulu."
Ber'oh panjang, Anin menganggukkan kepala, merasa tenang karena itu berarti, Elard cukup familiar dengan tempat yang akan mereka datangi.
Setelah berkendara beberapa lama, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan.
Ada dua petugas yang menjaga pintu masuk. Jika tak ada undangan, maka tak diperbolehkan masuk. Hal yang sempat menahan Elard, tapi beruntung pria itu bisa bernegosiasi. Beralasan jika ia datang bersama Anin yang memiliki undangan. Hingga akhirnya diperbolehkan untuk masuk ke dalam.
Anin meringis, dentuman suara musik yang begitu keras membuatnya merasa tak nyaman. Belum lagi, kerumunan orang-orang yang memenuhi sebuah club yang menjadi acara pesta ulangtahun Saras membuatnya gatal ingin berbalik pulang.
Tanpa sadar, salah satu tangan Anin mencengkram erat kemeja bagian pinggang yang Elard kenakan. Sadar keresahan yang gadis di belakangnya rasakan, Elard melepas cengkraman tangan Anin, dan berganti menggenggamnya erat tapi tak sampai menyakiti.
"Mau langsung nyari Mbak Saras?" Karena suara musik yang begitu mendominasi, Elard harus berbicara di dekat telinga Anin, atau dengan suara yang cukup keras, agar tak teredam kebisingan musik. "Mau setor muka aja, terus balik?"
Menggigit bibir bawah, Anin tampak bimbang. "Enaknya gimana ya Kak?" Tanyanya meminta pendapat Elard.
"Bagusnya sih, kita nikmati aja dulu sebentar pestanya. Baru abis itu ke yang punya acara buat setor muka. Tapi terserah kamu, maunya gimana? Kalau nggak betah, yaudah, langsung balik aja abis kasih selamat sama Mbak Saras."
Sejenak, Anin dan Elard saling menatap satu sama lain, di tengah hiruk pikuk orang-orang yang tenggelam menikmati kemeriahan pesta. Sebelum kemudian Elard yang tak lagi bisa menahan degup jantungnya berdeham canggung, lalu memalingkan muka.
Anin sendiri masih berpikir. Jika boleh, sejujurnya dia ingin segera pulang. Tapi, sepertinya itu terasa kurang sopan. Belum lagi, ia merasa kasihan pada Elard yang belum sempat beristirahat. Lokasi acara Saras cukup jauh. Mereka baru saja sampai, jika langsung pulang, itu artinya, Elard harus kembali menyetir dan pria itu pasti kelelahan.
Menyingkirkan ragu, Anin menatap Elard yang berusaha menyibukkan diri dengan mengedarkan pandangan ke sekitar, meski tetap mencuri-curi tatapan kearah Anin.
"Kita cari minum aja dulu Kak, sekalian istirahat sebentar, baru abis itu cari Mbak Saras buat kasih selamat."
Mengangguk setuju, Elard kemudian mengajak Anin untuk mencari tempat duduk.
"Kamu di sini aja, aku cari minum." Usai menyilakan Anin duduk di sebuah sofa yang letaknya tak begitu dekat dengan keramaian, Elard bersiap pergi. Tapi salah satu lengannya ditahan Anin, "kenapa?"
"Hm ... A—aku ikut ya Kak?" Sejujurnya Anin malu, dia seperti bocah yang merengek karena takut di tinggal sendirian. Tapi mau bagaimana lagi? Dia memang takut di tinggal Elard, di tengah orang-orang yang tak ia kenal. Cukup menggelikan karena Elard sendiri hanya pamit untuk mengambilkan minuman, bukan bermaksud meninggalkannya.
"Aku nggak lama, kamu di sini aja, nanti di tempati orang lain." Bujuk Elard, bukan sekadar untuk mengamankan tempat duduk yang cukup strategis. Tapi tak mau Anin kelelahan. Terlebih, dia tau gadis itu tak nyaman dengan keramaian.
Mengela napas panjang, Anin mengangguk, dan secara perlahan, melepas genggamannya pada lengan Elard. Membuat pria itu bisa melanjutkan kepergiannya untuk mencari minuman.
Selagi menunggu Elard kembali, Anin berusaha menyamankan diri, menatap orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tampak seru berbincang, berjoged menikmati entakan musik, atau berlalu lalang di sekitar tempat yang kian penuh.
"An!"
"Astaga!" Tubuh Anin berjengit, saat seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya. Menolehkan kepala, gadis itu mengerjap, mendapati pria yang sudah cukup lama tak ditemui, mengambil duduk di sampingnya.
"Kamu datang?"
Tersenyum canggung, Anin mengangguk. "I—iya, Kak."
"Tau gitu, tadi kita bareng aja ke sininya. Ck! Kok aku bisa lupa ya, kalau kamu juga ada kemungkinan di undang sama Mbak Saras."
Menggaruk pipi dengan kikuk, Anin hanya bisa memberi senyuman kecil sebagai respon untuk ucapan pria itu.
"Sama siapa?"
"Sama—"
"Sama gue!" Anin yang belum menyelesaikan ucapannya, terpaksa kembali mengatupkan bibir saat Elard tiba-tiba datang dengan dua gelas yang berada di tangan kanan dan kirinya. Pria itu kemudian menempatkan pant*tnya di tengah-tengah antara Anin dan David yang terpaksa bergeser untuk memberi ruang.
"Heh! Lo cari tempat lain bisa kali? Ngapain nyempil diantara gue sama Anin?"
Mendengkus, Elard mengabaikan kekesalan David dan memilih menyerahkan minuman pada Anin yang menggumamkan terima kasih. "Ini capitan gorengan datang juga?"
"Heh, serok wajan, lo jangan sembarangan!" Sewot David yang merasa kesal dengan sikap menyebalkan Elard padanya.
"Apasih ngikut-ngikut aja? Cari tempat lain sana."
"Dih, ngatur? Terserah gue mau di mana. Sama-sama cuma tamu undangan, nggak usah belagu ya lo."
"Wih, ada apaan nih? Rame banget?"
Anin mendongak, menatap sosok Saras yang entah sejak kapan datang, karena terlalu fokus melihat perdebatan Elard dengan David, membuatnya tak menyadari kedatangan wanita itu.
"Mbak Saras," Anin bangkit dari duduknya, memberi ucapan selamat pada sang pemilik acara. "Maaf ya Mbak, aku nggak pakai gaun yang Mbak kasih." Sesalnya yang merasa tak enak hati, takut Saras kesal dan menganggapnya tak menghargai pemberian wanita itu.
"Ck! Nggak apa-apa, santai aja, Nin. Lo datang aja gue senang kok." Mengibaskan tangan tak acuh di depan wajah, Saras terkekeh geli melihat raut penyesalan di wajah Anin. "Lagian, baju yang gue kasih, emang terlalu terbuka sih untuk lo. Pasti pawang lo langsung ngamuk ya?" Tanyanya dengan tatapan yang diarahkan pada Elard yang masih sibuk saling sindir dengan David.
"Mbak, lo undang makhluk ini juga?" Tanya David sembari mengedikkan dagu kearah Elard yang mendengkus.
Mengabaikan David, Elard memilih bangkit dari tempat duduknya untuk menyelami dan memberi ucapan selamat pada Saras. "Sorry gue dateng padahal nggak lo undang, Mbak."
"Nah, kan, bener feeling gue? Jadi lo cuma tamu ilegal di sini? Mbak, usir aja dia, menuh-menuhin pesta lo doang."
"Ck! Dav, nggak usah bocah deh." Memutar bola mata, jengah pada sikap David yang kekanakan jika sudah bertemu dengan Elard, Saras bersikap santai. "Nggak masalah El, gue justru seneng lo datang. Thanks ya?"
Menganggukkan kepala, Elard hanya diam memerhatikan Anin yang kembali terlibat perbincangan dengan Saras. Gadis itu bahkan menyerahkan sebuah kado berupa tas rajut cantik yang Saras terima dengan senang hati. Meski Anin merasa sungkan karena memberi hadiah sederhana.
"Gue pinjam Anin dulu ya? Mau ajak ke tempat anak-anak kantor agensi. Itung-itung reuni dadakan."
Meski enggan, Elard dan David menganggukkan kepala. Sepeninggal Saras dan Anin, David menatap Elard dengan sorot permusuhan yang ditanggapi tatapan malas dari Elard. "Lo nggak usah ikut-ikutan, bukan anak agensi jadi jangan nimbrung ke sana." Peringat David sebelum berderap menyusul Anin yang tengah di bawa Saras.
Mendengkus, Elard meneguk minumannya. Memilih bermain ponsel dan mengabaikan kemeriahan pesta di sekitarnya.
"Hai, sendiri aja?"
Suara seseorang membuat Elard mengangkat pandangan, pria itu mengerutkan kening pada seorang wanita bergaun kuning yang tiba-tiba menyapanya.
"Gue juga suntuk dari tadi sendiri, gimana kalau gue gabung di sini?" Tanyanya meski mendapat reaksi dingin dari Elard yang tampak tak tertarik menanggapinya.
"Sorry, tapi gue sama cewek gue ke sini. Dan dia ... Pencemburu. Jadi, lo cari temen ngobrol yang lain aja. Sebelum kepala lo, dibotakin sama dia. Kalau kesel suka jambak rambut orang kayak cabut rumput depan halaman rumah."
Mendengkus, karena mendapat penolakan mentah-mentah, wanita itu berlalu pergi meninggalkan Elard dengan wajah masam.
Baru saja mengela napas lega, selang sepuluh menit, Elard kembali di datangi oleh wanita lainnnya, yang sama seperti sebelumnya. Menawarkan diri untuk menemaninya yang tampak sendirian. Tapi, seperti yang Elard lakukan pada wanita sebelumnya, ia memberi penolakan tanpa basa-basi. Pria itu nyaris kesal dan beranjak pergi jika saja tak mengingat tengah menunggu Anin. Tapi dia mulai merasa risih karena di datangi beberapa wanita yang menawarkan diri untuk menemaninya yang—astaga! Apa dia tampak seperti pria kesepian yang menyedihkan?
Nyaris setengah jam Elard sibuk dengan ponsel dan mengabaikan beberapa wanita yang berusaha menarik perhatiannya, sebelum Anin tiba-tiba duduk di sampingnya. "Kak, maaf, lama ya?" Dengan raut penuh rasa bersalah, Anin menggumamkan maaf pada Elard yang bersikap santai.
"Nggak kok, udahan ketemuannya?" Anin mengangguk, "mau ... Pulang?" Tanya Elard ragu, bukannya tak mau berlama-lama, tapi dia mulai merasa tak nyaman. Syukurnya, Anin kembali menganggukkan kepalanya.
"Iya Kak, kita pulang aja. Aku udah pamitan sama Mbak Saras tadi."
"Oke, ayo kita pulang." Bangkit berdiri di ikuti Anin, keduanya memutuskan untuk pulang, meski pesta justru kian semarak saat waktu semakin malam.
Tak di sangka, rupanya di luar hujan deras. Membuat Elard berusaha mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Karena, selain jalanan yang licin, jarak pandangnya juga jadi terbatas.
Setelah berkendara beberapa lama, akhirnya sampai di gang kontrakan Anin.
"Makasih banyak ya Kak, maaf merepotkan."
"Aku yang menawarkan diri, jadi nggak perlu sungkan."
Mengangguk, Anin mengelus belakang lehernya dengan gerakan canggung, "aku ... Pamit ya, Kak El."
"Eh, tunggu!" Pergerakan Anin yang hendak membuka pintu terhenti karena Elard mencegahnya. "Hujannya deras banget, aku antar sampai ke kontrakan kamu."
"Hah? Ng—nggak perlu Kak."
"Ck! Nggak ada payung lagi." Tak memedulikan penolakan Anin, Elard justru sibuk mencari-cari payung yang sayangnya, tak berhasil ia temukan di dalam mobil. Jadi, pria itu meraih jasnya yang baru saja dibeli tapi tak dikenakan tadi.
Keluar dari mobil lebih dulu, Elard berputar sembari berlari ke tempat Anin dengan jas yang ia gunakan sebagai pelindung.
"Kak, aku bisa sendiri kok. Kak El pulang aja."
"Buruan, nanti makin basah." Memayungi kepala Anin dengan jas miliknya, tak memedulikan dirinya sendiri yang kuyup terjamah hujan. Elard tetap bersikeras mengantar Anin setelah mengunci mobilnya.
"Kak El, basah." Anin benar-benar tak enak hati, tapi dia terus mengikuti langkah cepat Elard yang tengah memayunginya dengan jas milik pria itu.
"Namanya hujan, ya basah Nin." Ucap Elard santai dan fokus memayungi Anin.
Akhirnya, mereka sampai di kontrakan Anin dan di sambut oleh Ningrum. "Wah, kehujanan?"
"Iya Bi, maaf ya." Ucap Elard sungkan usai menyalami tangan wanita paruh baya itu.
"Aku yang harusnya minta maaf Kak, bikin Kak Elard basah kuyup begini."
"Santai aja, Nin."
"Masuk dulu Nak Elard, Bibi buatkan minuman."
"Nggak perlu Bi, saya pamit langsung pu—"
"Loh, Bu Rika baru balik?" Perhatian Ningrum tiba-tiba saja teralihkan pada tetangga kontrakannya.
"Iya Bu, tadi ada pohon tumbang di jalan dekat sini, untung aja, udah dekat kontrakan, soalnya ojek yang saya tumpangi nggak bisa melintas." Jelas wanita paruh baya yang sibuk membuka jas hujannya.
"Wah, pohon tumbang Bu?"
"Iya Bu, mana besar banget, kayaknya baru bisa diurus besok, sekarang kan lagi hujan deras dan sudah cukup malam."
"Syukurlah udah sampai rumah ya Bu."
"Iya, kalau begitu, saya permisi ke dalam ya Bu, mau bersih-bersih, mandi air hangat, nggak tahan ini badan udah menggigil."
"Oh, iya Bu, silakan." Usai tetangga kontrakannya masuk ke dalam, perhatian Ningrum kembali tertuju pada Elard. "Ada pohon tumbang," lapornya, meski tau, Elard pun pasti mendengarkan percakapannya tadi. "Kayaknya kamu nggak bisa balik."
"Saya ... Cari jalan alternatif aja, Bi, nanti."
"Duh ... Jangan, ini sudah sangat malam, mana hujan deras. Udah, kamu nginep aja ya. Masalah mobil mah, tenang, daerah sini aman kok."
Elard mengerjap, menginap? Yang benar saja? Bukan, bukannya Elard keberatan menginap di kontrakan sederhana Anin, tapi ... Ia merasa sangat sungkan.
Sayangnya, Elard tak berkutik, saat Ningrum, menggiringnya masuk. Sementara Anin, hanya bisa meringis dan mengekori sang Bibi yang sudah menarik Elard.
Dalam hati, Elard kebingungan. Entah harus senang, atau justru sebaliknya sekarang?