Dalam pesawat Oscar melirik Zoya, gadis yang tengah duduk menopang kepala sesekali tersentak.
Zoya mau pejamkan mata biarpun semenit, cuman.. dia tidak boleh melakukan hal itu sebelum si bos kurang asem ini lelap.
Sudah punya bos bocah, apa apa harus diperhatikan. Belum lagi, dia harus sikat gigi.
Ah, sial. Zoya hampir saja terlena memejamkan mata, melupakan tugasnya sebagai sekretaris bapak Pacar yang Ter…menyebalkan.
"Khem." Zoya berdehem, punggungnya kini tegak melihat sekitar dan Oscar masih sibuk dengan laptopnya.
Ya Tuhan, ini orang apa robot? Ya setidaknya… pikirkan orang yang bersamanya masih sanggup apa tidak.
Zoya pernah memuji Oscar seperti ini. "Bapak CEO yang sangat sangat tampan. Mata anda terlihat berbinar-binar, hidung mancung, bibir merah terang, anda juga terlihat seperti pria manis, tempramen baik, baik hati, terus...tubuh? Ah benar, tubuh anda begitu proporsional, jangan lupakan otak sudah pasti cerdas. Yang terpenting kepemimpinan yang hebat bisa setara dengan presdir sebelumnya. Iya, 'kan pak?"
Hahaha sekarang Zoya menyesal melontarkan semua pujian itu, nyatanya Oscar baginya tak ayal terlihat seperti psikopat berkedok tampan.
Ingin rasanya Zoya menelan kembali kalimat keramat itu, sayangnya semua sudah terlanjur.
Dah lah, pasrah.
Tik tik tik…
Alarm di jam tangan Zoya berbunyi, dia pun merogoh tas khusus perlengkapan Ascar.
"Pak," mengulurkan pouch back kecil ke arah Oscar, di sambut dengan baik oleh pria itu.
Oscar pun ke WC, Zoya melihatnya dengan seksama punggung tegap, lebar, terlihat seperti peluk humble.
"Semoga pak bos dapat pacar yang bisa merubah semua kebiasaannya yang menyebalkan itu."
"Beneran deh, siapapun perempuan itu, dia pasti orang nya sabaran harus ngadepin orang macam dia."
"Dah lah, ngapain juga ngurusin dia, urusan hidup aku aja udah kaya rolling coaster kok sibuk ngurusin tentang orang."
Zoya sedari tadi nyerocos menggeliat di tempatnya dan perlahan memejamkan mata kembali tidurnya. Tugas menunggui sudah selesai, saat menuju pulau kapuk di lautan Sumatra menenangkan.
Ngomong-ngomong… si bos kenapa selalu menggosok gigi setiap jam ya?
"Bodo amat."
"Apanya?"
"Astagaaaa, pak! Bisa nggak jangan ngagetin orang." Kening Zoya mengkerut mengusap dadanya, kaget tiba-tiba Oscar nongol.
"Oh."
Sret.. bola mata salju menyejukkan itu mengkilat penuh gairah pengen ngelempar Oscar dari pesawat.
Namun sekali lagi, dia harus sadar diri kalau bukan Oscar mana bisa keliling dunia tanpa repot memikirkan segala tiket serta akomodasi selama perjalanan.
"Marah?"
Zoya tersenyum lebar, matanya sampai hilang ditelan pipi chubbynya.
"Tidak pak, santai."
"Oke."
Kudorong dari sini mau nggak pak? Hufff… sabar Zoya, sabar. Orang cantik harus kalem tidak boleh bar-bar.
"Tidur?"
"Ini mau tidur, capek."
"Capek? Emang situ melakukan apa sampai capek?"
Ya Gusti, apa artinya dia selama bekerja dengan orang ini?
"Pak,"
"Hem?"
"Gelut yuk?"
Gelut?" Oscar akhirnya mengalihkan perhatian ke Zoya. Gadis itu mengangguk.
"Iya gelut, emosi saya lama-lama sama bapak."
"Yakin mau gelut?"
"Yakin? Saya tenaga kuli kok. Pilih aja mau di banting ke atas apa–"
"Yakin tidak meminta tanggung jawab seumpama kamu kenapa-kenapa?"
"Yakin."
"Biarpun dia lahir tanpa ayah?"
"Eh, bangsat."
"Heh, mulutnya! Dasar kurang ajar kamu ya sama saya."
"Situ yang mulai setan. Otak woi, otak jangan kotor bisa gak, kerja sonoh. Mending bapak sumpelin tuh laptop ke jaringan-jaringan otak bapak biar mampus sekalian di lalap berkas."
Andai saja Zoya mampu mengeluarkan kata-kata itu, dunia nya akan terasa damai meski hanya sepersekian detik.
"Pak, sehat? Mau saya jadwalkan pemeriksaan kalau sampai nanti?"
"Makasih, tidak butuh."
"Yes, sir."
Nirwana? Pria itu tidak peduli apapun selain tidur. Mau bos kecilnya bergulat dengan rekan nya Zoya pun bodo amat yang penting dia bisa istirahat tenang selama ada Zoya yang menemani Oscar.
Asem memang, bos sama sekertaris sama saja kalau kata Zoya mah.
***
Ruby membereskan berkas-berkas di meja miliknya. Hari ini Joshua ada pekerjaan di luar, dan hanya Hyung Sik yang ikut, otomatis Ruby jadi sasaran empuk Mi Ho.
"Mau kemana?"
"Pulang lah, yakali saya mau tidur disini. Ngapain, ada rumah kok saya." Ketusnya. Masih kesal disuruh-suruh terus selama Joshua keluar.
Iya, pesan makan siang lah. Iya, beli minuman di luar lah. Iya, segala foto kopi pun harus dia.
Belum lagi berkas-berkas, yang bahkan dia tidak tahu itu apa dia harus salin kembali.
Kata Mi Ho sih, Joshua yang suruh biar ada pengalaman untuk kedepannya bisa membantu Joshua.
Ogah sebenarnya, but, demi kontrak untuk keluar dari sini dia harus menerima nya.
"Eits.. siapa yang minta kamu pulang? Kamu lembur hari ini."
"Siapa?"
"Kamu lah, siapa lagi."
"Saya peduli gitu? No." Biarpun dia sering dikatain polos, ples bego, apa gunanya n****+ dan drama kalau tidak belajar dari mereka?
Jangan sesimpel itu say, dimanapun kita bisa mengambil pelajaran untuk sesuatu yang menurut salah sama sepertinya sekarang.
Ruby tidak akan membiarkan siapapun menindasnya kecuali Joshua, sebab pria itu mengancam akan memberitahu sang papa kalau dia berani melawan.
"Oh, sudah mulai berani. Hem?"
"Pak Jo, sama sekali tidak memberitahu saya kalau saya perlu lembur. Dan lagi,"
"Mau kontraknya cepat selesai nggak?" Mi Ho tersenyum miring melihat Ruby terdiam setelah mendengar ucapannya.
Gadis itu pernah mendengar Ruby menggerutu ingin segera menghabiskan kontraknya di sini. Jadi, ini kesempatan bagus untuknya mengerjai Ruby.
Tatapan Ruby kini berseri-seri menatap Mi Ho.
"Memangnya kalau kita lembur, bisa cepat selesai kontraknya?" Tanya nya polos.
Kena kamu bodoh.
"Yes, of course. Kamu liat di sana, mereka semua lembur karena ingin kontrak kerja selesai." Miho menunjuk beberapa karyawan tampak masih sibuk di meja kerja masing-masing. Dan sekali polos, akan tetap polos.
Ruby melihat muka tertekan mereka, membuatnya meringis. Ternyata bukan cuma dia yang ingin keluar dari penjara ini.
"So, mau apa tidak nih? Kalau nggak mau ya, saya bisa melempar semua pekerjaan ini ke–"
"Oke, biar Ruby aja. Hehe. Makasih nona, selamat malam. Hati-hati di jalan, sampai jumpa besok." Ruby kembali duduk tidak jadi pulang, pikirannya terus tertuju pada berkas di atas meja dan juga kontraknya yang akan cepat selesai jika dirinya lembur.
Ah, sepertinya Ruby harus lembur terus biar bisa keluar dari perusahaan ini. Pikirnya tersenyum lebar meraih berkas dan kembali menghidupkan laptop.
Tok tok tok…
Ruby mendongak menatap Miho penuh semangat. Lelahnya di bordir pekerjaan tak terasa lagi selain semangat menggebu-gebu ingin segera menyelesaikan tugas nya.
"Satu lagi,"
"Apa itu?"
Sialan. Kenapa binaran mata lembut Ruby membuat nya tak nyaman merasa tak tega telah membodohi anak itu.
Tidak Miho, dia harus di beri pelajaran pertama jika ingin dekat-dekat dengan Joshua.
"Pak Joshua tidak boleh tau, dia bakal marah kalau kamu punya sesuatu yang bakal mempercepat proses pemutusan kontrak. Paham kan,"
Ruby tampak berpikir, apa benar seperti itu? Tapi, okelah.
"Siap nona."
Dasar bocah, cantik-cantik bodoh.
"Baiklah, sampai bertemu besok." Miho melambaikan tangan, senyumnya tercetak sempurna berhasil membodohi sekretaris Joshua.
Langkahnya begitu ringan meninggalkan Ruby, si gadis polos itu hanya diam menatap kepergiannya.
"Ah, ternyata dia nggak seburuk yang Ruby pikirkan. Jadi cuka deh, hehehe."