Perhatian kecil

1085 Words
Joshua kembali ke kantor ingin tau Ruby masih di sana atau sudah di jemput. Takut anak itu malah ketiduran kalau memang belum di jemput. Joshua mendongak setelah keluar dari kemudi. Hmm.. sepertinya sebentar lagi akan hujan. Pikirnya. "Eh, kok balik? Nggak langsung pulang?" Miho kaget melihat Joshua. Ia dengan cepat mencegat Joshua. "Ckh, kenapa sih. Ingat kita masih di lingkungan kantor," tutur Joshua, menyingkirkan Miho. Dasarnya tidak mau Joshua bertemu Ruby, ia dengan cepat menarik lengan Joshua. "Hua, temenin aku makan malam ya, please…" ajak Miho tatapan memohon agar Joshua mau ikut dengannya. "Miho, dengar. Saya harus mengecek sesuatu di dalam." "Anak baru itu maksudmu? Aku tau kok, tatapanmu padanya terlihat berbeda. Kenapa, ada hubungan apa kalian sampai kamu terlihat perhatian padanya." Miho melepas pegangan, terpancar raut kekecewaan di wajah cantiknya. Sayangnya, Joshua hanya terfokus pada Ruby sampai tidak punya waktu memperhatikan gadis lain termasuk Miho sahabatnya. "Hh.. bukan seperti itu. Saya hanya–" "Anak baru itu sudah pulang." "Kamu yakin?" Miho tersenyum remeh, Joshua jadi salah tingkah ketahuan. "Khem," "Jadi benar, kamu kemari hanya ingin bertemu dengannya?" "Apa salahnya, Ruby sekretaris pribadi saya sudah pasti harus diperhatikan bagaimana cara dia bekerja." ujar Joshua berhasil mengendalikan diri nya. "Benarkah? Kalau begitu, biar aku yang urus dia. Bagaimana? Aku bisa mengajarinya, tentang apa yang kamu suka dan tidak suka. Deal?" Joshua menggeleng. "Tidak perlu, ada bang Hyung Sik yang melakukannya. Lagi pula, pekerjaanmu disini sebagai ketua tim pemasaran harusnya jangan ikut campur urusan lain, apalagi urusan sekretaris." "Apa? Kamu bilang apa tadi?" Betapa tercengangnya Miho mendengar ucapan Joshua seolah persahabatan mereka selama ini tidak berarti apa-apa. "Hu-hua.." Joshua meringis, dia salah lagi. "Ayo, saya antar." "Nggak perlu." Miho mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes, terlalu kecewa dengan sikap Joshua. "Ckh. Ayo masuk." Suruh Joshua, suaranya begitu tegas tak membuat Miho naik malah diam bergeming di tempat. "Hhh… Na Miho." Suara dalam Joshua terdengar menakutkan bagi siapapun termasuk Miho. Gadis itu segera masuk ke samping kemudi, duduk dengan tenang menunggu Joshua masuk. Kalau berharap Joshua membuka pintu untuk nya atau menutup pintu setelahnya, itu sama sekali tidak terjadi. Joshua hanya melakukan hal itu pada keluarganya, tidak untuk orang lain meskipun sahabatnya sendiri. Bagi Joshua, setelah wanita dari keluarganya, ada orang yang ia cintai harus menjadi selanjutnya. Jika diingat-ingat lagi, dia pernah melakukan hal itu pada Arumi waktu perjalanan dulu. Ahh, sahabatnya itu sedang apa ya? Sudah lama dia tak saling berkabar selain Kookie yang sesekali datang ke kantornya sekedar membawa Aeri jalan-jalan. Jalan-jalan kok ke kantor, aduh bukan main bapak dua anak itu. Joshua nengok ke dalam kantor, perasaannya mengatakan dia tidak boleh pergi dari sini. Pipp! Ia tersentak mendengar klakson dari Miho. "Kenapa lama, bentar lagi hujan." Perasaan Miho membaik, terlihat dari sudut bibir senyumnya mengembang melihat Joshua di sebelahnya. "Mau mampir nggak?" "Saya harus memeriksa laporan." Miho mengangguk kecil. Tak apa, setidaknya dia bersama Joshua dan anak baru itu… pfftt… rasanya menyenangkan mengerjainya. Tak lama hujan pun turun dengan derasnya. Melihat hujan begitu deras, Joshua jadi gelisah tidak tahu karena apa. Aku kenapa? Di samping itu Arumi sedari tadi mondar-mandir menghubungi Ruby, adik nya belum pulang tanpa kabar. "Honey, ada apa? Belum ada kabar juga dari Ruby?" Kookie turun setelah menidurkan Aeri. Arumi menoleh, menggigit ujung kukunya. Membuat Kookie menghela nafas meraih kedua tangan Arumi dan menariknya untuk duduk. "Siapa tau dia lembur sama Joshua, sayang." "Ya, setidaknya dia ngasih kabar sayang. Kalau dia nggak ngabarin seperti ini, siapa yang tidak khawatir coba." "Ssstt… " Kookie menarik Arumi, memeluk istri tercintanya. "Tenang ya, nanti aku telpon Joshua." "Sekarang uncle." Rengek Arumi, tak ayal Kookie tertawa geli mendengar rengekan istrinya. "Asyiaaap, madam." "Ish." "Hehe. Bentar ya," Arumi mengangguk, membiarkan Kookie meraih ponselnya dan mencari kontak Joshua. Keduanya saling tatap mendengar guyuran hujan terdengar keras dari luar. Arumi beranjak berjalan ke jendela melihat ke luar. Hujan kali ini benar-benar lebar. Arumi kembali khawatir sama Ruby. "Uncle, diangkat nggak? Ruby takut geledek uncle." Tanya menolehkan wajahnya melihat Kookie. "Bentar honey." Kookie bangkit, berkacak pinggang menarik nafas dalam-dalam. "Angkat Hua," bisiknya melihat wajah khawatir Arumi. Sementara di tempat lain, Ruby tengah meringkuk dibawa meja kerja Joshua dan menutup mata serta telinganya. Saat hujan deras menerjang Seoul, Ruby yang takut geledek itu mencari tempat untuk dia bersembunyi dan hanya ruangan Joshua yang bisa meredam suara geledek. "Ma-mama, hiks, Bee takut ma. Hiks," isakan ketakutan Ruby mengiringi setiap tetesan hujan di luar sana. Dia benar-benar takut biarpun petir dan geledek terpantul masuk, tetap saja ketakutannya tak dapat dihindari. Bibir pink alami Ruby memucat, nafasnya pun terasa berat sekedar menghirup udara. Tak lama pintu terbuka lebar, tepat saat petir besar menyambar di luar sana. Membuat Ruby memekik keras memanggil sang papa. "Papa!!" "Ruby!" Joshua berlari mencari keberadaan Ruby, berjongkok di samping meja dan melihat ke bawah sana. "Papa, hiks, tolongin Beeby pa. Mama hiks, Beeby takut mam. Kalian dimana, hiks.." "Hei," Joshua tidak tega melihat baru Ruby bergetar ketakutan. Ruby pelan-pelan menaikkan pandangan, bibirnya bergetar, air matanya mengalir deras. "Ta-taakut, hiks," ucapnya sesenggukan. "Sstthh.. maaf, maaf. Ayo keluar." Ajak Joshua. "Gapapa, janji nggak akan marah. Ayo," menarik pelan Ruby keluar membantu gadis itu berdiri. Sebelum benar-benar berpijak dengan baik, tubuh Ruby limbung tak sadarkan diri. "Astaga! Ruby! Hei, cantik. Bagaimana ini," Joshua dengan cepat membopong Ruby ke dalam kamar yang berada di ruang kantornya. Pria itu perlahan membaringkan Ruby, menyelimuti tubuh mungil lalu duduk di pinggir kasur. Dokter harus datang, namun kondisi di luar sana siapa dokter yang mau kemari. Apa dia perlu membawa Ruby pulang saja? Kanton jas hitam nya bergetar, Joshua buru-buru merogohnya. Ia mengacak rambut melihat nama Kookie di layar. Kalau bukan karena sahabatnya ini, dua mungkin akan menyesal membiarkan Ruby peringkuk sendirian dalam ketakutan. "Halo, bang." "Ruby mana?" Suara khawatir Arumi terdengar jelas oleh nya. "Hhh… sorry, Ruby… " melihat muka pucat Ruby lalu menunduk. "...dia pingsan." "b******k. Katamu bakal jagain dia. Tapi, kenapa malah biarin dia lembur, bajingan." "Maaf, saya tidak–" "Aku tidak peduli. Kembalikan adikku sekarang. Aku-" "Please.. jangan kayak gini Arumi, maafkan saya. Saya.. menyesal." Panggilan terputus, secara sepihak. Hhh… baru segini aja Arumi sudah marah, bagaimana seumpama Jayden dan Lintang tau, bisa mati berdiri dia. Joshua bangkit, membuka jas kantornya dan berjalan ke arah pantry yang tersedia di sana dan mengambil air dingin dan juga kain kecil. Ia duduk di kursi kecil, memeras kain kecil di tangannya setelah itu menaruhnya di dahi Ruby. "Maafkan aku cantik." bisiknya meraih tangan Ruby dan mengecupnya. Bukan bermaksud mengambil kesempatan, cuman… dia hanya ingin terus merasakan denyut nadi Ruby di pergelangan tangan gadis berpita merahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD