Zoya menaruh kacamata miliknya, mengurut pangkal hidung nya. Matanya berat, mengantuk. Sayangnya, pekerjaannya masih banyak.
Ah, sial. Dia malah terjebak dengan kertas-kertas menyebalkan di atas meja. Lagian, bos nya kok makin hari makin menyebalkan ya?
Baru sampai Jakarta, dia sudah disuruh lembur di rumah. Arrgghh… bos menyebalkan.
Kalau ngirim santet nggak dosa, sudah jauh-jauh hari Zoya lakukan.
Anda sangat beruntung tuan Oscar, otak warasku masih berfungsi walaupun tinggal sepuluh persen saja.
Drrtt… drrtt…
Suara deringan di iringi getaran dari benda mati di atas rak kecil, mengalihkan perhatian Zoya.
Dia bangkit menerima panggilan dari unknown yang entah siapa, hanya dia yang tahu.
"Halo," setelah itu helaan nafas terdengar, Zoya menyisir rambutnya kesal.
"Belum bisa janji, pak Oscar belum membuka untuk penerimaan startup lagi. Bisa nggak santai aja? Iya aku tau, tapi, aku cuman sekertaris bukan siapa-siapa. Terserah, aku capek ladenin kamu yang emosian gini. Kamu kira jadi sekretaris dia enak? Nggak say. Whatever." Zoya memutuskan panggilan tersebut, lalu duduk di pinggir kasur.
"Shit." Zoya menaruh ponselnya kasar. Dia dituntut melakukan hal di luar kemampuannya, sementara ia sendiri harus mengubur mimpinya.
"Hufff… tenang, tenang." Zoya mengusap dadaa dan kepala seperti yang selalu ia lakukan untuk menenangkan dirinya.
Zoya tinggal sendiri di apartemen sederhana, hidupnya yang mewah dulu hilang dalam sekejap mata setelah kejadian masa lalu.
Dengan hilangnya kemewahan, orang tua sering bertengkar hingga salah satu dari mereka kecelakaan dan meninggal.
Saat ini tanggung jawabnya sebagai anak tertua menuntut dirinya untuk agar tidak lemah meski mimpinya lenyap bagai angin lalu.
Zoya membuka laci meja mengambil foto waktu SMA dulu. Tatapannya tertuju pada Oscar di sebelahnya.
"Kukira kita tidak akan bertemu lagi, si paling perfeksionis." Sudut bibir nya mengulas senyum tipis mengusap wajah Oscar.
Sementara di tempat lain, Oscar menuruni anak tangga, air minum nya habis.
"Dek,"
Ia menoleh, tersenyum melihat sang bunda berjalan ke arahnya.
Wanita cantik kesayangan Logan kini mengapit lengangnya.
"Belum istirahat?"
"Belum mom, masih ada yang perlu di cek."
Abi mengangguk.
"Kuliah kamu gimana? Sini mommy ambilkan." Abi mengambil alih tempat air minum Oscar, membiarkan anaknya duduk saja.
"Emm.. lancar kok."
"Tidak mau masuk kelas sekali-kali biar dapat temen, nggak di kantor terus."
"Gak deh, males. Mending ambil kelas zoom, sama aja perasaan. Lagian kalo temen juga, banyak kok yang ambil kelas zoom."
"Tetep aja, gak leluasa kamu nya sayang."
Ascar tersenyum, dia tau mommy khawatir dirinya terus berkutat dengan pekerjaan. Tapi, dia suka berada di posisi ini. Karena, Daddy dan mommy nya bisa bersama terus.
"Kondisi nenek gimana? Tadi mau cek, udah bobo duluan." Katanya.
"Udah mulai agak baikan, gila rendahnya juga udah mulai aman. Produk dari Tante Soraya beneran bisa dapat hasilnya."
"Syukurlah." Oscar tersenyum melihat sang mommy. Dimata nya, wanita ini tidak pernah berubah.
"Kapan jadwal mom sama Daddy keluar lagi? Sekarang kalian bisa kemana aja lho tanpa harus memikirkan perusahaan."
Abi menghirup nafas panjang sebentar, dan tersenyum. "Kasian nenek kalau di tinggal. Banyak pelayan sih, ada mbak juga, cuman… mom rasa merawat beliau tugas mom sebagai anak dan menantu."
"Daddy gimana?"
"Nggak setuju. Dia mau nepatin janji buat bawa mom keliling dunia. Makanya, mukanya sering masam kalau mom lebih perhatian sama nenek." Abi terkekeh, begitu juga Oscar mengingat wajah di tekuk Elvano si bucin akut.
"Oyah, gimana sama sekertaris kamu Zoya. Anaknya baik,"
"Khem," Oscar berdehem, bola matanya menghindari tatapan Abi. "Baik kok. Nggak aneh juga orangnya."
"Cantik, 'kan?"
"Cantikan mommy."
"Heleh, mommy mah udah tua beda sama dia masih ranum-ranum nya kalo kata Daddy mah."
"Bentar, kalian sering bahas dia? Ngapain coba."
"Idih sewot. Dia cantik, anaknya pinter, baik lagi. Senyumnya itu loh dek, bikin hati mommy—"
"Good night, mom." Oscar bangkit, mengecup pelipis sang mommy setelah itu meraih wadah air minumnya dan melenggak pergi.
Abi terkekeh geli melihat muka merah padam putranya.
Ia melihat jam dinding, jam sembilan malam. Kata Adelia, dia bakal nginap disini. Tapi, sampai sekarang belum pulang.
Apa dia nggak jadi ya?
Tidak lama kemudian, pintu terbuka ia pun bangkit berjalan ke luar dari dapur.
"Mom," panggil Adelia.
"Hai bestiee.. " sapa Oscar berhenti di anak tangga melihat sang kakak pulang dalam keadaan lesu.
"Hai bro. Lembur?"
"Nggak, habis ini tidur."
Adelia mengangguk. Ia beralih menatap sang mommy. Senyum Abi membuat lelahnya hilang.
"Mommy.." rengeknya memeluk Abi.
"Ululu, anak gadis mommy. Mau makan nggak?"
"Oscar mau."
"Idih, bukan kamu yang di tawarin ya," sinis Adelia.
"Biarin. Wleee."
"Mommy… adek tuh."
"idih manja."
"Udah-udah, mommy masakin kalian deh." Abi tertawa menggelengkan kepala melihat keduanya kini saling mengacungkan jempol.
****
Suara teriakan Ruby menggema di dalam kamar ruangan Joshua.
"Huaa… mamaa.. Beeby di culik. Mama… papa.. tolongin Bee." Suara itu terasa mendorong kesadaran Joshua yang tengah berbaring di sofa untuk segera bangun.
Joshua mengerjapkan mata, mengucek-ucek kelopak matanya agar terbuka lebar.
"Mama, hiks, jangan-jangan mama sama papa udah punya dedek baru ya, makanya Bee dibarin di culik. Kalau gitu.. hueee… kok adeknya bisa ada?" Suara Ruby melemah memeluk kedua lututnya memikirkan kedua orang tuanya punya anak lain.
Ia mendongak mendengar suara pintu didorong. Takut terjadi apa-apa padanya, Ruby meraih lampu tidur dan melemparnya begitu saja.
Yang di tuju dengan cepat menutup barangnya yang hampir saja menjadi korban.
Dengan muka melotot kaget, Joshua memekik. "Masa depan saya, woi." bukan apa-apa, takutnya nanti diledek seumpama alat tempurnya cacat sebelum meledak di sarang lebah.
Khem, kata abang-abang nya yang udah pada nikah sih gitu, sarang lebah nya bakal ngengat-ngengat minta lagi.
Penasaran sih, tapi, belum waktunya.
"Shh.. ma-maaf. Kirain bapak siapa." Ucap Ruby, matanya bergerak melihat gadis itu merangkak di kasur lalu turun mendekat ke arah nya yang mematung masih kaget mas bro.
Mau ngapain lagi dia?
Deg!!
"Mana masa depannya, coba Ruby lihat."
What the hell shot.
Apa-apaan anak ini?
Dengan santainya seorang Ruby berjongkok tepat di hadapan Joshua, posisi yang benar-benar membuat Joshua kelimpungan buru-buru tersadar segera memutar badannya berbalik hingga tidak sengaja miliknya kepentok gagang pintu.
Trak!
Bukan main sakitnya. Telurnya menetas sebelum waktunya dan itu benar-benar menghentikan aliran darahnya.
Urat-urat leher Joshua menjalar semakin mencuat, wajahnya memerah seolah aliran darah tengah berkumpul di area muka.
"Pak, mau pipis ya? Eh, tapi, bapak bos ngapain di sini? Apa jangan-jangan kamu penculiknya!? Papaaa!" Jerit Ruby lantang melompat kembali ke atas kasur, menarik selimut lalu bersembunyi di sana.
Apalagi ini ya Tuhan…
Tidak tahu kah gadis itu, korban nya sekarang sedang menangis dalam hati, memegang miliknya dan harus tetap kalem seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Joshua duduk di sofa, terpaksa menjauhkan tangannya dari sela paha menariknya pelan lalu menyilang kaki menjepitnya otongnya di bawah sana.
"Ruby,"
"No. I ha-hate you." Nada suara Ruby berubah, Joshua yakin gadis itu takut padanya.
Related sih, siapapun akan takut bangun-bangun di tempat asing, bersama seorang laki-laki lagi. Gimana mau normal kagetnya.
"Hufff.. nona Ruby,"
"Apa apa apa, hah!" Ruby mengibas selimut, meraih bantal guling sebagai senjata.
Anjir, galaknya bikin candu.
"Saya—"
"Udah tua bukannya tobat ingat dosa malah nambah dosa." sambar Ruby memotong kalimat Joshua, tidak peduli pria yang tengah melotot tajam tersinggung.
Gini-gini calon kamu, Ruby.
Joshua gemas pengen guyur Ruby pake air panas biar agak cair pikirannya yang terlalu pendek itu. Mana kalau ngomong nggak dipikir, rasanya Joshua ingin menggigit bibir mungil nya itu.
Tahan Hua, tahan. Itulah yang harus kamu lakukan, menahan sampai dia luluh padamu. Bisa saja, anak ini bucin padamu.
Benar. Jadi, semangat.
"Tidak ingat semalam kenapa?" Tanya Joshua terdengar mengintimidasi, sayangnya Ruby tidak memperhatikannya.
Gadis itu hanya diam menggaruk tengkuk bola matanya bergerak kesana-kemari mengingat kejadian semalam.
Joshua menutup matanya lelah, ternyata dia benar-benar ekstra sabar menghadapi seorang Ruby.
Tiba-tiba Ruby bangkit dari kasur, menunjuk ke arahnya jangan lupakan mata cantiknya mendelik tajam seakan tengah mengintrogasi nya.
"Bapak mau ngerjain saya? Melimpahkan kesalahan nya sama saya. Iya kan, ngaku aja deh."
"Hah?"
"Hah heh hah heh lagi, nggak mempan pak. Cih, dasar bos tidak berperikemanusiaan. Mulai hari ini, saya—"
"Saya apa, Hem?" Joshua bangkit, menaikkan dagu mendekati Ruby. Menantang gadis di hadapannya.
Gadis itu perlahan menciut, kakinya mundur selangkah.
"Coba, mulai hari ini kamu mau apa? Jawab. Punya mulut, 'kan?" Joshua memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.
"Jadi nona Ruby,"
Ruby menaikkan pandangan menatap Joshua, matanya berkaca-kaca.
Haish, kenapa malah nangis. Apa dia terlalu kejam? Padahal natapnya biasa saja, masa takut? Tadi saja tidak kok.
"Kamu,"
"P-pak, kalau mau nyulik saya, boleh nggak saya pamit sama mama papa dulu bentar lima menit aja. Saya nggak akan ngadu kok, janji. Mau saya kasih info tidak? Jadi, mata saya itu jernih masih sehat, ginjal juga aman, hati masih polos kok, paru-paru sehat juga di lingkungan saya nggak ada perokok jadi aman buat di jual. Tapi, pleasee.. boleh ya, telepon mama?"
"What?" Seketika pikiran Joshua buntu. Termenung, tak percaya. Bibir bawahnya jatuh, mulutnya menganga.
"Kenapa kaget gitu," Ruby mengusap pipinya. Lalu jari telunjuknya mendorong naik dagu Joshua. "nggak percaya saya sehat? Lagian, saya lagi takut lho ini. Hiks, mamaaa.. " Ruby berjongkok menangis memanggil sang mama. Melihat hal itu, Joshua menghela nafas panjang.
Bunuh diri dosa nggak ya?