Pagi yang sibuk untuk seorang Zoya, sebab harus meninggalkan tempat ternyaman di dunia.
Kasur.
"Aahh…"
Bukan mengawali paginya dengan senyuman indah, Zoya malah mendesah pasrah. Bukan apa-apa, tiba di kantor dia memang harus pasrah apapun keadaannya dia harus bekerja lebih keras lagi untuk tidak mendapat cibiran dari bapak CEO Oscar yang terhormat.
"Hahhh… " lagi-lagi dia menghela nafas. Ternyata waktu bisa mengubah seseorang yang pendiam jadi menyebalkan ketika bawel.
Dia heran, pertama kali bertemu keluarga Oscar saat menghadiri pelaunchingan brand baru DHE STAR yang kini berubah nama Star Group, tidak ada yang aneh sama orang tuanya.
Malah terkesan hebat dan sangat-sangat ramah terutama nyonya Logan. So, tuh cacing kremi kenapa?
Syukurlah banget dia tiba di kantor lebih dulu daripada si bos. Kalau tidak, bisa…
"Wih, tumben pagi." Justin tiba-tiba nongol di sebelahnya yang lagi nunggu lift.
"Oh! Yaaa, seperti yang terlihat." balas Zoya tersenyum kecil.
Justin tersenyum kecil. "Udah sarapan belum?" Tanyanya.
"Entaran deh. Harus cepat naik, soalnya ada meeting yang ada bos datang belum siap kena omel lagi."
"Wkwkwk. Maklumi saja, dia memang seperti itu."
"Ya harus lah, kalo nggak bisa dipecat aing."
"Hahaha. Ayo,"
"Oke."
Keduanya pun masuk ke dalam lift dengan senyum wah, tentunya membakar hati seseorang yang sedari tadi menghentikan langkah dengan sorot mata tajam.
"Panas bro," bisik Nirwana. Membuat Oscar tersentak menjauh dari Nirwana dengan muka kesal.
"Apa sih, nggak jelas." ketusnya, terlihat kesal mengusap rambut ke belakang telinga. Ia mengibas jas kebelakang sebelum melanjutkan langkahnya.
Nirwana hanya terkikik melihat sekitar sebelum berlari kecil mengikuti Oscar.
Kalo kata Nirwana mah bos kecilnya cupu, nama doang Oscar ngalahin gadis seperti Zoya saja tidak bisa.
Khem, tenang itu tidak akan sampai di telinga tuan muda Oscar, takut digantung di jendela kantor.
***
Seoul pagi yang cerah, beda satu jam dari Jakarta, dan Ruby ngambek nggak mau berangkat kerja.
Semalam hujan reda, dipulangkan langsung oleh Joshua, takut anak orang sawan nangis nggak berhenti.
"Dek,"
"Nggak mau, Bee nggak mau masuk kerja kalau mama sama papa nggak datang kesini."
Mampus.
Arumi menutup pintu kamar Ruby, menatap Kookie di tangga. Arumi pun menggeleng, sedangkan Kookie mengangkat bahu tanda tidak tahu.
"Halo Jo, Ruby tidak masuk hari ini."
Joshua menghentikan langkahnya, berkacak pinggang menarik nafas dalam-dalam lalu mengendurkan dasinya.
"Apa perlu saya kesana?"
"Ckh, jangan terlalu nekat lah bro. Yang ada, tuh anak makin nggak suka sama kamu."
"Ya, terus gimana dong."
"Sabar, tetap slay. Jangan maunya sat set sat set doang tanpa usaha yang lebih greget."
"Bang, ngaca gih."
"Setan."
"Dih, kok ngamuk." Joshua mematikan sambungan telepon dari Kookie dan menghela nafas berat.
"Kangen nya kok berat banget ya, hiks, mengsedih diriku."
"Ya emang sih, cinta sepihak itu rasanya makyoss… ada manis pahitnya. Seperti sekarang, rindunya semakin menjulang tinggi. Hahh… " Joshua menghela nafas berat.
"Bos, nona Ruby—"
"Aku tau. Aku sudah tau. Paham." Sembur Joshua sewot melangkah lebar masuk ke keruangannya.
"Begini nih, mainnya kejauhan." Hyung Sik geleng kepala.
"Lho, anak baru nya?" Tanya Miho kini berdiri di depan meja kerja Ruby.
Senyum kemenangan tercetak jelas di sana, namun, segera berlagak sedih.
"Apa dia sakit?" Tanya nya lagi, tadi saja di abaikan sekarang sudah pasti Hyung Sik hanya melongos pergi dari hadapannya.
"Sialan. Cih, mentang-mentang sahabat Hua sok banget." dengus nya keras menghentakkan kaki. Ia menoleh ke ruangan Joshua. Senyum nya kembali mengembung melangkah mendekati pintu.
Tanpa menunggu lagi, dia pun mendorong pintu. Sayangnya terkunci dari dalam.
"Loh kok?" Herannya sekali lagi memutar gagang pintu dan mendorong daun pintu, namun lagi-lagi tak bisa.
Tok tok tok…
"Pak, ini saya Miho. Anda baik-baik saja?" Miho menoleh saat tatapan mengarah padanya.
"Ada apa?" Tanya Nam Sarang sahabatnya.
"Nggak tau. Aku mau masuk pintunya kekunci. Dia baik-baik aja, 'kan?" Miho khawatir terjadi sesuatu pada Joshua.
"Semalam kalian nggak…"
Terhenti saat mendengar deringan telpon kantor di meja sekretaris.
"Sebentar," Miho mendekati meja Ruby, tiba-tiba keduluan sama Hyung Sik.
"Astaga, santai aja dong." kaget nya saat Hyung menerobos nya.
"Halo," Hyung Sik hanya menaikkan sebelah alisnya meledek Miho, membuat gadis itu mendelik tajam padanya.
"Kau…"
"Oke, bos. Jadi, dilarang masuk jika tidak berkepentingan. Oke, nanti saya sampaikan. Siap bos," Hyung Sik menggoyangkan gagang telepon, tidak lupa senyum lebarnya.
Miho benar-benar kesal melihatnya segera pergi dari sana sebelum menarik rambut Hyung Sik.
"Kamu… " Sarang menggelengkan kepala melihat Hyung Sik tidak pernah akur dengan Miho. "Entar cintai, baru tau rasa." ledek Sarang berlalu pergi, tanpa melihat kedua mata Hyung Sik kini membelalak.
"Saya sama nenek lampir? Cih, enak saja." Hyung Sik bergidik ngeri, buru-buru kembali ke tempatnya.
***
Zoya sedang mencatat apa yang Nirwana jelaskan. Di sebelahnya ada Oscar sedang curi-curi catatan gadis itu, seketika matanya membulat.
I kill you Oscar.
I kill you Oscar.
I kill you Oscar.
Semua full satu lembar dengan kalimat yang sama.
Uhukk… Oscar terbatuk mengendurkan dasinya ketika mendapat lirikan tajam dari Zoya. Apa gadis itu masih marah padanya?
Salahnya dimana coba?
Jadi seperti ini, dia hanya meminta Zoya memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proposal penelitian dari pabrik, menurutnya memang perlu.
Lalu masalahnya dimana? Dan jawabannya ada pada Zoya.
Gadis itu kesal, sudah semalam dia lembur sampai lupa makan, sampai kantor dia pun harus mengerjakan tugas yang menurutnya sudah bagus tak ada kesalahan.
Berkali-kali dia harus memeriksa dan mengetik ulang proposal, dan tetap saja menurutnya tidak ada yang perlu dia ubah.
Terakhir dia membawa proposal pertama yang ditolak Oscar, bedanya kali ini diterima. Bukankah itu gila? Itu proposal yang sama, tetapi, pria gila itu malah… aarrgghh, b******n.
"Hufff… pak bos. Bapak tau tidak kalau itu proposal pertama yang anda tolak. Lalu kenapa sekarang—"
"Oyah? Ah, mungkin mata saya bermasalah. Sorry."
"Ah, ha-ha-ha… mata anda bermasalah saya yang kena, begitu kah?"
"Kenapa? Tidak terima? Saya bos—"
"Ya, Anda bos nya. Waah, terima kasih bos, terimakasih banyak. Semoga hidup anda sejahtera dan makmur sudah mempermainkan bawaan anda."
"Nona Zoya,"
"Apa lagi, hah! Mau pecat silahkan. Dasar bos gila." Sayangnya semua itu dalam angan Zoya. Lagipula mana berani minta dipecat, yang ada dipecat beneran gak makan dia.
"Ya pak," Zoya cuma senyum paksa.
"Terimakasih atas doa nya, kamu bisa keluar sekarang." ucap Oscar mengusir nya.
Bangsat! Umpat Zoya dalam hati. Karena itu lah, kekesalan Zoya masih ada sampai sekarang.
"Baiklah, sampai disini pertemuan hari hari ini." sahut Oscar.
"Baik pak."
"Nona Zoya, tetap disini ada yang perlu saya bicarakan." kata Oscar mendapat tatapan bingung dari Zoya.
Gadis itu melirik karyawan yang keluar, ia meringis mendapat tatapan menyelidik dari mereka.
"Ada apa?" Tanya Zoya. Ada perasaan takut melihat Oscar memandangnya dengan tatapan berbeda.
Pria itu juga membuka jas kantornya, lalu menaruhnya di meja kemudian duduk di pinggiran meja.
"Apa salah saya sampai kamu marah seperti itu?"
"Apa!?
***
Kalau bertanya, apa yang dilakukan Joshua di dalam sana, dia sedang menenangkan pikiran dan hati nya dengan meditasi.
Joshua selalu melakukan meditasi saat merindukan Ruby, sebab dengan begini dia bisa menahan dirinya seperti… em, sepertinya sekarang tidak bisa.
Joshua membuka dua kancing kemejanya, membuang nafas kesal. Ia mengacak rambutnya, membuka mata.
Fokus nya benar-benar hilang karena Ruby. Ahh… sial. Tidak bisa seperti ini terus.
Joshua bangun, berdiri meraih kunci mobil dan juga ponselnya lalu berjalan keluar.
"Pak, saya—"
"Oh, Noah, simpan di meja nanti Abang cek ya." Joshua menepuk bahu adik sepupunya yang cengo di tinggal begitu saja.
Baru juga mau cari tau kemana Ruby, udah di tinggal aja.
"Lho, pak bos mau kemana?" Hyung Sik nongol melihat kepergian Joshua santai menyesap kopi nya.
"Entah? Noah aja di tinggal. Untung pas lagi nggak sayang-sayang nya coba kalo iya, atit tuh pasti."
"Curhat?"
"Dikit." Noah nyengir. Tatapannya kini tertuju pada meja kerja Ruby yang tampak kosong.
Sejak kemarin dia tidak punya kesempatan untuk mengobrol lagi dengan gadis cantik berpita merah itu, statusnya sebagai karyawan magang baru masuk jadi harus sabar disuruh senior ini itu walaupun perusahaan sepupu sendiri.
"Nona Ruby hari ini nggak masuk, sakit," Tutur Hyung Sik berbalik kembali ke tempatnya.
"Sakit? Sakit apa?" Tanya Noah mengikuti langkah Hyung Sik.
Noah menghentikan langkahnya, "Wait? Apa semalam dia pulang hujan-hujanan? Eh, tapi, bagaimana mungkin. Dia terlihat—"
"Maksudnya?"
"Oh? Semalam aku lembur, terus liat nona Ruby juga lembur. Pas hujan semalam niatnya mau ngajak pulang bareng, eh, dianya sudah pulang duluan." Jelas Noah melihat apa yang terjadi semalam.
"Sebentar, kamu bilang nona Ruby lembur?"
"Yes."
Hyung Sik mengerutkan kening menggelengkan kepala merasa ada yang aneh. "Sejak kapan saya ngasih nona kerjaan lembur?" cicitnya.
"Bukan dari bang Hyung Sik kok,"
"Lah? Terus?"
"Ketua tim pemasaran."
"What!? Miho? Ngapain?" Hyung Sik kaget mendengar Miho melakukan hal bodoh dengan memberikan pekerjaan lebih para Ruby.
Kalau Joshua sampai tau, Hyung Sik yakin, hubungan sahabat itu akan renggang.